webnovel

5. Berjuang?

"Bukannya lo yang dari dulu suka sama Sheril? Terus kenapa bukan lo aja yang nikahin dia?" tanya Ais saksama.

Ya, karena Sheril sukanya sama lo, Bang!

Ingin rasanya Aim menjawab sedemikian rupa. Tapi kenyataanya Aim hanya bisa meminum kopinya sambil bersumpah serapah dalam hati.

"Dih! Mana ada. Ya, kali, Bang gue suka sama Sheril. Emangnya lo kira ini sinetron Ind*siar apa di mana Aku menikahi istri kakakku," balas Aim mengelak.

Ais bersedekap dada. Meskipun dia tahu kalau dia ini manusia kurang peka di dunia ini. Tapi intuisinya dapat merasakan kalau adiknya memiliki rasa lebih kepada Sheril. Setidaknya cara Aim memperlakukan Sheril itu berbeda dari wanita-wanita lain yang mencoba mendekatinya. Hanya Sheril saja yang tidak Aim panggil dengan sebutan lo-gue. Terlebih ketika Aim berada di dekat Sheril, Ais merasa kalau Aim suka curi-curi pandang.

"Nggak usah bohong lo. Gue itu Abang lo yang udah hidup sama lo bertahun-tahun lamanya. Jadi wajah lo kelihatan banget kalau lo lagi ngelak dari pertanyaan gue," tambah Ais penuh selidik.

Aim terkekeh, kemudian meletakkan pelan cangkir kopinya di atas meja.

"Orang kayak gue ini mana mungkin Bang ngedapetin Sheril."

Dahi Ais mengerut mendengarnya. "Kenapa gitu?"

"Ya, secara Sheril itu anak kesayangannya Om Sean, Bang. Hidupnya kayak princess di dunia nyata. Dia pengin apa tinggal sebut pasti keturutan."

Ais masih betah mengerutkan dahi. Menurutnya alasan adiknya itu sangat tidak logis.

"Gue sadar diri Bang kalau gue nikah sama Sheril. Gue nggak bakalan bisa ngebahagiain dia," tambah Aim sambil menyandarkan punggungnya pada kursi, pandangannya menerawang lurus ke langit-langit ruangan.

Kenyatannya, meskipun jarak kelahirannya dengan Ais hanya beda setengah jam. Tapi yang pasti kelak perusahaan Abati akan diberikan kepada kakaknya untuk dipimpin. Alasannya karena Ais adalah anak pertama.

Sedangkan dirinya? Palingan hanya akan diberi jabatan manager atau ketua devisi oleh Abati.

Meskipun begitu Aim tidak pernah iri kakaknya. Malahan Aim merasa menjadi pemimpin perusahaan itu tidak enak. Dia yakin pasti bok*ngnya akan panas karena berlama-lama duduk di kursi kerja.

Kembali ke Sheril...

Ah, tidak usah dijelaskan lagi pun semua juga tahu kalau Sheril itu anaknya sultan. Sedari kecil Sheril sudah hidup enak. Apa pun yang dia minta pasti Om Sean berikan. Orang lontang lantung seperti dirinya ini mana bisa membahagiakan Sheril? Membahagiakan secara materi saja Aim tidak bisa, apalagi secara hati? Toh, yang dari kecil disukai Sheril itu Abangnya.

Kalau sudah membahas materi memang sensitif bagi laki-laki.

"Itu artinya lo nggak berjuang buat ngedapetin Sheril! Kalau lo cinta sama dia, harusnya lo bilang ke Abati. Pasti Abati bakalan bantu ngomong ke Om Sean!"

Sekarang Ais merasa kesal dengan penuturan adiknya. Sisi egoisnya menyalahkan Aim. Andai saja waktu itu Aim tidak diam saja pasti yang saat ini dinkahinya adalah Dara!

"Dan lagi, Sheril itu bukan cewek yang mandang seseorang dari hal 'remeh' kayak gitu."

"Lo sendiri gimana? Emango udah berjuang buat cewek yang lo cinta?" Aim membalikkan perkataan membuat Ais kalah telak. Sunggingan senyuman di wajah Aim terlihat mengejek. Tapi apa mau dikata, itulah faktanya.

Fakta kalau dia pengecut.

Fakta dia tidak memperjuangkan Dara mati-matian.

Setelah itu mereka terdiam, lengang menengahi hingga berkonfrontasi tersebut mulai mereda.

Ais menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya lewat mulut. Padahal dia keluar hendak mencari angin segar supaya tidak stress. Tapi berdebat dengan Aim malahan membuat pikirannya semakin keruh.

"Kalau lo nggak suka sama dia, lebih baik lo tinggalin dia, Bang. Mumpung kalian belum jauh," gumam Aim. "Gimana pun juga, Sheril punya perasaan, Bang."

Ais membuka mulut, hendak menjawab, namun terkatup lagi ketika dia melihat dari kejauhan ternyata Hendra dan temannya sudah kembali dari supermarket sambil menjinjing dua kantung keresek penuh berisi camilan yang tadi ia pesan.

Ais merasa lega, ia berdiri dari posisi duduknya.

Akhirnya kecanggungan ini berakhir juga.

"Gue ke kamar dulu. Camilannya buat kalian aja. Plus jangan begadang!" tambah Ais berdiri dari posisi duduknya.

Aim memutar bola mata ke atas. Kakaknya ini cerewet sekali.

"Bang!" Ketika Ais baru berjalan beberapa langkah, Aim memanggilnya sehingga membuatnya berhenti.

"Gue penasaran sama satu hal. Emangnya selama ini lo nggak pernah ngelihat Sheril dari sudut pandang laki-laki, ya, Bang? Lo nggak nafsu gitu sama dia? Secara, kan, dia... seksi."

Aim yang normal saja sampai hampir meneteskan liur ketika men-stalking foto-foto Sheril di Instagram. Apa iya kakaknya itu tidak pernah berpikiran yang tidak-tidak tentang Sheril? Kalau begitu hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, Joni Kakaknya benar-benar bermasalah. Kalau tidak, ya, bisa saja peletnya si Dara alias dada rata Itu ampuh sekali sampai-sampai membutakan kakaknya.

"Kalau lo ngomong kayak gitu lagi, gue beneran bakal ngehajar lo!"

Terkekeh, Aim menggelengkan kepala. Yah, setidaknya kakaknya itu betulan marah dan tidak terima ketika Sheril disinggung seperti itu.

***

Ais tiba di kamarnya yang masih bercahayakan remang. Ternyata Sheril masih tiduran miring ke samping.

Sejenak... ada satu hal yang membuat pipi Ais memanas.

Kenapa Ais tidak melihat garis Bra Sheril dari belakang? Apa iya perempuan ini tidur hanya mengenakan baju setipis itu?

Ais mengambil selimut untuk menutupi tubuh istrinya. Sheril mungkin kedinginan.

Ketika hendak menaikan selimut sampai atas, gerakan Ais terdiam. Kulit bahu Sheril saja putih dan halus. Apalagi kulit lainnya yang tertutup kain?

Ais seolah tergerak sendiri. Dia mendekatkan kepalanya ke arah tubuh Sheril. Matanya terpejam. Indra penciumannya menghirup bau vanilla dari parfum yang Sheril kenakan. Sangat manis. Bahkan hidung Ais hampir menyentuh kulit bahu Sheril.

"Pokoknya kalau kamu cinta sama aku. Kamu harus janji sama aku kalau kamu nggak bakalan tidur sama dia."

Tersentak. Buru-buru Ais menarik diri ke belakang. Layaknya pantangan, Ia teringat perkataan Dara.

Napas Ais kembang kempis. Padahal ini haknya sebagai suami. Tapi kenapa dia seperti orang bodoh yang menahan nafsunya ke pasangan halalnya?

"Bang... Gue penasaran sama satu hal. Emangnya lo selama ini nggak pernah ngelihat Sheril dari sudut pandang laki-laki, ya, Bang?"

Sial! Kini gantian ucapan Aim yang terngiang di kepala.

Yang jelas Ais pernah melihat Sheril dari sudut pandang laki-laki.

Ais memejamkan mata, berharap kantuk meluruhkan pikirannya yang tak karuan. Sampai kapan pun Ais memantapkan diri tidak akan menyentuh Sheril.

Karena itu janjinya. Janji kepada Dara.

***

Chương tiếp theo