webnovel

Teka-teki Dari Gunung

"Perangkap untuk apa?" tanya Matteo yang juga merasa penasaran.

"Untuk kepiting sungai, Kakak," ucap anak yang lain.

"Eh, ngomong-ngomong nama kalian siapa? Kakak, ingin tahu satu-satu coba sebutkan nama kalian." Titah Claretta.

Ia yang merupakan anak semata wayang, selalu senang bertemu anak-anak kecil.

"Saya Imam, Kak. Ini Udin, ini Acep, ini Juju, dan ini Indra," ujar seorang anak bernama Imam yang juga memperkenalkan teman-temannya.

"Oh, okay, perkenalkan saya Matteo, ini Kak Retta, ini Kak Haiden, dan ini Kak Wilder," tutur Matteo memperkenalkan.

"Boleh kami ikut gabung dengan kalian?" tanya Claretta.

"Boleh, Kak. Ayo!" jawab Acep bersemangat.

Claretta dan kawan-kawannya pun berbaur dengan anak-anak desa tersebut. Membuat perangkap untuk kepiting sungai yang akan mereka tangkap hari ini.

Setelah perangkap seperti jala yang diberi umpan siap. Kemudian, perangkap tersebut disimpan di pinggir sungai yang berada di tengah-tengah perkebunan.

Mereka lalu kembali ke kebun untuk mencari kayu bakar. Setelah kayu bakar terkumpul, sambil menunggu jala, mereka bermain layangan.

Canda tawa mengiringi kegiatan mereka. Tak terasa hari telah mulai siang, udara dingin berganti menjadi panas.

"Hei, ayo kita ambil kepitingnya!" ucap Indra kepada yang lainnya.

"Ye ... dapat .... aku hebat, kan ...!" seru Wilder kegirangan karena ada kepiting yang terperangkap di jalanya.

Semua menertawakan tingkah Wilder yang seperti anak kecil.

Mereka kemudian kembali ke sebuah lapang kecil yang tak ditumbuhi rumput liar. Mengumpulkan hasil buruan mereka hari ini, ada kepiting juga ikan-ikan kecil.

Tanpa dikomando anak-anak desa tersebut dengan cekatan mengolah buruan tersebut. Menjadi santapan mereka siang itu.

Claretta dan kawan-kawannya ikut membantu sambil mengobrol dengan anak-anak tersebut. Tak butuh waktu lama, buruan pun disulap menjadi santapan yang lezat.

"Ayo, Kakak-kakak coba ini kepitingnya. Pasti enak, Kak," ujar Imam dengan mimik wajah meyakinkan sekali.

Mereka akhirnya makan bersama.

"Beneran, ini enak banget!" ujar Wilder yang terkesan sekali dengan masakan anak-anak desa itu.

Padahal bumbunya hanya seadanya, garam, penyedap rasa, dan kecap yang mereka bawa dari rumah.

Mereka makan dengan lahap beralaskan daun pisang yang tadi diambil dari salah satu kebun.

Makanan sederhana itu terasa begitu nikmat di lidah Claretta dan kawan-kawannya.

Setelah selesai makan dan bercanda ria dengan anak-anak Desa Cikajang tersebut, Claretta dan kawan-kawannya memutuskan untuk kembali ke rumah Pak Ujang. Rumah yang berada di ujung Desa Cikajang.

Mereka menyusuri jalan setapak yang berukuran hanya dua buah mobil. Warga nampak sepi sepertinya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Rata-rata mata pencaharian di sini adalah bercocok tanam di ladang.

"Tunggu, kawan!" ujar Claretta tiba-tiba yang membuat langkah teman-temannya terhenti.

"Ada apa, Ret?" tanya Matteo.

"Hei, kau! Aku tidak suka hanya dipanggil Ret. Kau pikir aku ini karet!" hardik Claretta ketika mendengar Matteo memanggilnya dengan nama Ret.

"Ups, maaf Claretta cantik." Rayu Matteo kemudian.

"Tidak perlu merayu, aku tak akan terayu oleh kata-kata seperti itu!" ucap Claretta dengan nada sinis.

"Sudah-sudah, kalian bertengkar saja. Jadi, ada apa Retta?" tanya Haiden menengahi.

"Lihat, itu," kata Claretta sambil telunjuknya menunjuk ke sisi gunung sebelah kanan.

Kawan-kawannya pun mengikuti arah telunjuk Claretta dan ternyata ada asap tipis yang mengepul dari sana.

"Jadi?" tanya Wilder.

"Bukankah tak ada lagi pengunjung yang boleh ke gunung itu, lalu mengapa ada asap?" tanya Claretta menjelaskan keheranannya.

"Mungkin terjadi kebakaran hutan," ucap Matteo tanpa pikir panjang.

"Ih, kau! Tidak mungkin, suhu di sini sangat dingin dan ini bukan musim panas," ujar Claretta menimpali dan berasumsi.

"Ya, benar apa kata Retta, memang aneh di tempat dingin tanpa penghuni seperti gunung itu ada asap yang nengepul," tutur Haiden.

 

"Sudahlah, lebih baik sekarang kita lanjutkan perjalanan ke rumah Pak Ujang. Setelah itu, mandi lalu ganti baju. Nanti, kita bahas lagi masalah asap tersebut, bagaimana?" tutur Wilder yang disetujui oleh yang lainnya, mereka lalu meneruskan perjalanan ke rumah Pak Ujang.

Tak butuh waktu lama, menempuh perjalanan meski dengan berjalan kaki Claretta dan kawan-kawannya akhirnya sampai di rumah Pak Ujang.

Rumah nampak sepi.

"Hei, dari mana saja kalian? Dasar, anak-anak nakal!" hardik Stevi dengan gaya seperti seorang ibu memarahi anaknya dan nada bercanda.

Claretta dan yang lainnya hanya terkekeh melihat tingkah Stevi. Tanpa menghiraukannya mereka langsung masuk ke rumah.

"Wilder, kamu belum makan?" tanya Eisha penuh perhatian pada pemuda gagah berkulit sawo matang itu.

"Ekhm, kenapa hanya Wilder yang ditanya. Padahal yang pergi keluar ada berempat," ujar Matteo iseng dan seketika wajah Eisha langsung berona merah pertanda ia merasa malu.

"Maaf, aku hanya bercanda," ucap Matteo sambil cekikikan karena melihat ekspresi Eisha yang lucu dan menggemaskan.

"Kami sudah makan Eisha, terima kasih," jawab Wilder.

"Terima kasih, untuk apa?" tanya Eisha tidak faham.

"Untuk perhatianmu," jawab Wilder dengan senyuman khas yang sangat menawan.

Sukses membuat Eisha tersipu dengan wajah merah merona. Menampakan keanggunan yang terlihat menawan dan memesona.

'Cantik,' gumam Wilder dalam hatinya.

Ia mulai nyaman dengan perhatian-perhatian kecil dari gadis manis itu. Sifatnya yang pendiam, membuatnya tidak begitu mencolok di antara teman lainnya. Tapi ia punya cara tersendiri menunjukan perhatiannya.

****

Ketika matahari tak lagi ada, jangan khawatir. Bulan akan datang menunjukan kasih sayangnya menjadi pelita malam. Menerangi setiap orang yang takut tersesat dalam gulita yang sepertinya menakutkan.

Malam ini Pak Ujang, Bu Neneng, beserta anak-anak muda dari kota itu sedang menikmati makan malam bersama.

Menu makanan yang disediakan oleh Bu Neneng, Eisha dan Stevi. Menu makan malam mereka sebenarnya sederhana. Namun, entah kenapa Claretta dan kawan-kawannya merasa inilah makan malam ternikmat yang pernah mereka rasakan.

Mungkin karena suasana kekeluargaan yang kental disertai dengan obrolan hangat seputar hari ini, menambah nikmatnya suasana malam itu.

Setelah selesai makan malam, Eisha bergegas membereskannya bersama Bu Neneng. Sedangkan yang lainnya asik meneruskan obrolan bersama Pak Ujang.

Saat itu, Claretta keluar, ia duduk di sebuah kursi panjang yang ada di depan rumah Pak Ujang.

Kursi kayu panjang di depan rumah ini biasa digunakan untuk mengobrol santai di sore hari.

Claretta kini duduk sendiri, dengan pikiran yang dipenuhi tanda tanya.

'Kenapa ada asap di siang hari yang dingin?' gumam Claretta dalam hati.

'Pengunjung banyak yang hilang dan tak kembali. Padahal secara fitrah setiap manusia pasti ingin kembali ke kampung halaman.'

'Kenapa juga hewan berkurang drastis? Apakah ini semua ada kaitannya?'

Semua pertanyaan itu silih berganti memenuhi kepala Claretta.

"Apa kau masih marah soal tadi?" sebuah suara mengagetkan Claretta yang sedang sibuk dengan pikirannya.

"Marah kenapa?" tanya Claretta balik kepada seseorang yang kini telah duduk di sampingnya.

Ia hanya melirik sekilas kemudian kembali melihat lurus ke depan.

Chương tiếp theo