Masih tertanam dalam benakku bagaimana pertemuan kami dulu. Dia yang 'cukup' ramah sampai membuat siapa saja dekat dengannya. Dari berbagai belahan negara pun pasti ada yang pernah menjadi teman tidurnya. Meski aku tak begitu mengetahui detailnya, beberapa fakta Doni sembunyikan dariku dan aku pun juga tak merasa keberatan akan fakta itu.
Tapi, di antara mereka semua mungkin hanya aku yang bisa bertahan lama padahal berciuman saja kami tak pernah melakukannya. Mungkin saja karena kami berasal dari negara yang sama jadi dia tak pernah mengajakku neko-neko. Begitulah pikirku dulu, namun beberapa saat lalu aku tersadar bahwa dia memiliki perasaan lebih.
Agaknya Doni hanya ingin menjagaku, atau karena dia terbiasa kehilangan dan tak mau aku tinggalkan. Untuk seseorang yang memiliki kenangan buruk di masa lalu dia cukup lihai menutupi semua itu. aku juga baru mengetahuinya saat tak sengaja melihat Doni terisak di depan nisan kedua orangtuanya sambil mengeluhkan segala masalahnya.
"Ah masa bodoh! Toh dia baik-baik saja, 'kan?" seruku lantas menyembunyikan wajah di balik bantal.
Mataku menatap sekeliling lagi dari bawah. Padahal semua lampu memang menyala, namun entah bagaimana aku merasa bahwa ruangan ini gelap gulita. Mungkin karena suasana hati yang suram? Atau karena malam? Bisa jadi karena aku ingin tidur dalam pelukan Joo.
Konyol, mendadak aku menertawakan diriku sendiri. Biarkan saja semuanya terjadi seperti kehendaknya. Untuk malam ini sebatas ini saja aku akan memikirkan Joo, lagian dia tak akan mencariku meski istrinya ini tak ada di rumah. Karena suamiku itu tak mungkin pulang juga malam ini.
Perlahan, kantuk melanda, membawaku dalam kegelapan yang entah ada dimana ujungnya.
Esok paginya, suara alarm otomatis milik Doni membuatku semakin mendengus sebal. Ah dasar deh bocah ini, bisa-bisanya dia membuatku kesal meskipun masih pagi? Biasanya satu jam sebelum alarm ini berbunyi dia akan mematikannya dan mengatakan bahwa tidurlah lebih lama lewat bisikan merdu.
Namun sepertinya hal itu tak akan berlaku lagi untukku dan dirinya. Dia benar-benar menjaga jaraknya denganku, ya? Menyebalkan sekali sih memiliki teman sepertinya ini!?
Eum ngomong-ngomong sekarang jam ber—
Aku menepuk kening saat sadar bahwa alarm sialan ini hanya akan berdering pukul delapan. Gegas kusibak selimut lantas mengambil kunci cadangan. Tak perlu berteriak ada dimana kunci ini, sekali lagi akau akan menegaskannya bahwa sudah biasa main ke rumah Doni. Dimana dia menyembunyikan uangnya saja aku tahu betul!
Melihat Doni yang terbaring di sofa membuatku merasa 'sedikit' bersalah padanya. Meski megelak namun aku tadi sempat mengumpat lantaran dia tak mencoba mencegah alarm yang berunyi. Kubangunkan dia dengan menendang tubuhnya hingga anak itu terjatuh dari sofa.
"Ta, masih pagi," rengeknya dengan mata yang terpejam.
Uh, tahan banting ya dia sekarang. Padahal jatuh dari sofa pasti menyakitkan. Mengapa hanya erangan yang keluar dari bibir itu bukan hal lainnya saja sih?!
"Udah jam delapan, bisa telat kita kalau kamu tiduran terus. Sana mandi gih biar aku buat sarapan, seenggaknya walau nanti agak asin atau gimana tolong tetap makan," kataku sambil berjongkok di sampingnya.
Ah, aku hanya mengambil ikat rambut kok. Namun tak kusangka dia membuka mata tepat saat wajahku berada di atasnya. Aku tersenyum padanya. Ini bukan apa-apa jadi tak perlu merasa gugup dibuatnya, kami sudah terbiasa. Bukankah begitu?
"Pagi ganteng," godaku.
Dia gegas menjauhkan wajahku dengan telapak tangannya. Duh, bau banget hek!
"Nggak usah macam-macam ya, Ta. Aku mandi duluan jangan masuk kamar!" katanya terburu-buru.
Melihatnya seperti itu membuatku tertawa. Seperti ucapannya, aku tak masuk kamar hingga dia menyelesaikan semuanya. Memasak sarapan seadanya yang nggak tahu kenapa aku bisa memasak lumayan enak juga ternyata. Sarapan telah usai dan aku juga mandi serta berganti pakaian milikku yang tersisa di lemari Doni, lantas pukul sembilan kurang lima belas menit kami berangkat.
Karena lelucon darinya aku yang hendak membuka pintu apartemen terbahak-bahak. Tak kusangka bahwa pagi-pagi dia sudah berubah menjadi pelawak gini.
Begitu pintu terbuka betapa terkejutnya diriku saat ditarik seseorang dan Doni mendapatkan samsak dadakan. Aku ingin menjerit namun suaraku seolah tertahan di tenggorokan dan tak mau dikeluarkan.
"Bajingan!"
Aku memejamkan mata melihat Doni yang tersungkur. Ingin bergerak namun kakiku membatu.
"Joo! Kamu apa-apaan sih?!" seruku yang mencoba membantu Doni namun dia menyeret tanganku.
Sakit, pergelangan tanganku bahkan memerah namun aku memilih diam saja. Kami harus pergi setidaknya Doni tak boleh mendapatkan serangan lebih dari ini. Yang salah aku, jadi saat Joo menyeretku betapa lega hatiku.
"Masuk," suruh Joo yang sudah membuka pintu mobilnya.
"Aku mau bantu Don—awh!" ringisku. Dengan teganya dia mendorongku masuk ke dalam mobil.
Dia masuk setelahnya. Entah mau kemana kami aku tak tahu, meminta maaf pun tak pernah terlintas dalam benakku. Dia bahkan bau alkohol, itu artinya Joo juga baru pulang, 'kan? Ini bukan sepenuhnya salahku dan dia ambil bagian juga!
Lantas dia mau apa? Memintaku untuk menunggunya pulang sambil memikirkannya semalaman seperti halnya wanita bodoh? Maaf, harga diriku terlalu tinggi untuk melakukan hal seperti itu! walau semalam … aku sudah sempat melakukannya.
Joo menepikan mobilnya setelah kami saling diam selama lima belas menit atau bahkan mungkin saja lebih. Rasanya bibirku terkunci, enggan berucap walau hanya sepatah kata saja jika dia masih dalam keadaan seperti ini.
"Nggak mau jelasin?" tanyanya dengan mata yang menatapku tajam.
Aku balas menatapnya, namun masih enggan menjelaskannya karena itu tak penting sama sekali. Dia yang harusnya menjelaskan lebih dulu bukan diriku!
"Bee? Nggak mau jelasin?!" ulangnya lagi dengan nada tinggi.
Mengabaikannya, aku memilih untuk menoleh ke belakang dan menemukan botol air mineral yang masih tersegel. Ku buka lantas menyuruh Joo meminumnya.
"Minum atau aku siram biar kamu sadar?" ancamku padanya.
Tanpa bicara dia meminumnya. "Aku butuh penjelasan, siapa ayah dari anak ini?"
Oh, aku terbahak-bahak menertawakan betapa bodohnya diriku. Kukira dia butuh penjelasan tentang hubungan antara aku dan Doni. Sempat terpikirkan kalau dia cemburu melihat istrinya di rumah laki-laki lain.
Namun sepertinya ucapannya saat pernikahan kami hanya bualan saja. Pantas saja sikapnya seperti ini. Rupanya dia tak percaya bahwa anak ini … benar-benar anaknya.
Bagus, memang seharusnya sejak awal aku diam saja. Entah pada Doni, Joo atau bahkan Hendri. Lagipula tak ada yang peduli padaku dengan sepenuh hati, mereka membuatku beranggapan bahwa semua laki-laki sama saja.
Mereka menyebalkan dan menjijikkan. Ah, sudah kepalang tanggung ya? Jadi ....
"Kalau ini anak Doni kenapa? Kamu mau kita cerai?"
-Bersambung ....