webnovel

Tujuan dari Pertanyaan

(Sepertinya bukan itu yang terjadi ....)

Aila ingin mengatakan itu, tapi dia menahan diri. Mengingat sikap ayahnya waktu itu, sepertinya dia memiliki ide lain tentang kejadian hari itu yang berbeda dari cerita Edwin.

"Jadi begitu ...."

"Kau juga mungkin salah mengingatnya Aila, karena kau juga kaget saat dia tiba-tiba muncul tadi. Bukankah itu berarti kau juga baru pertama kali melihatnya?"

Clara mengungkapkan kemungkinan lain yang terpikirkan olehnya.

"... Sepertinya begitu."

Aila menyerah untuk memikirkan masalah itu lebih jauh, lagi pula itu bukan masalah yang begitu penting.

"Omong-omong, Edwin, apa kau memang siswa kelas kita? Kenapa semua orang sepertinya tidak pernah melihatmu?"

Clara mengubah topik pembicaraan dan melemparkannya ke arah Edwin.

"Bukankah itu karena kalian yang tidak mengetahui aku ada di kelas− Tapi ... beberapa orang mengatakan kalau aura kehadiranku sangat kecil sehingga membuatku tidak disadari oleh orang lain, mungkin itu juga alasannya."

Edwin berbicara dengan hati-hati, sambil memikirkan setiap kata yang bisa dia ungkapkan untuk menjelaskan keadaannya.

"Itu masuk akal. Bahkan sekarang aku tidak merasakan kehadiran apa pun darimu. Ahaha ... kau sangat aneh!!"

"Clara, kau tidak boleh berkata seperti itu." Bella menghela napas, lalu melihat Edwin dengan pandangan meminta maaf.

"Tidak masalah, memang itu kenyataannya."

Edwin tidak merasa tersinggung dengan itu, atau lebih tepatnya dia bahkan tidak peduli.

"Edwin, apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku menunggu seseorang yang akan menjemputku pulang."

"Aku mengerti, itu berarti kau tidak tinggal di asrama sekitar akademi?"

"... Ya, seperti itu."

Lebih dari satu menit berlalu saat Clara terus-menerus menanyakan pertanyaan singkat pada Edwin.

"Kalian ingin pulang bersama?"

Untuk pertama kalinya Edwin bertanya.

"Tepat sekali. Tempat tinggal kami ada di arah yang sama. Tapi saat ini kami ingin pergi ke asrama Aila. Sayang sekali, laki-laki tidak diundang."

Clara melontarkan candaan kepada Edwin, dan meliriknya dengan tatapan nakal. Dia sangat pandai dalam bergaul, dan mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya.

Edwin mengamati bahwa Clara adalah tipe orang yang akan mendengarkan orang lain berbicara dan menanggapi mereka dengan serius, walau dia bersikap semaunya, tapi orang lain tidak bisa membencinya karena alasan itu.

"Meski diundang, aku akan menolak. Jika kalian ingin pergi ke asramanya, itu berarti kalian akan mengadakan acara seperti pesta minum teh atau semacamnya? Kebetulan aku punya kue. Jika kalian tidak keberatan menerimanya, aku akan memberikannya kepada kalian. Aku tidak bisa memakannya karena aku sudah terlalu banyak memakan makanan saat istirahat tadi."

Edwin membawa kotak kue ke hadapan mereka.

Tujuan dia bertanya adalah untuk saat ini. Dia tidak mungkin mau repot-repot bertanya jika tidak punya maksud lain.

Dia merasa kalau saat ini adalah kesempatan terbaik untuk memberikan kue itu kepada orang lain. Tapi agar tidak mencurigakan, terlebih lagi dia memberikannya pada gadis sekolah menengah yang baru saja dikenalnya, dia membuat alasan masuk akal dan tidak berlebihan yang bisa diterima oleh mereka.

Edwin merasa kerepotan jika harus membawa sekotak kue saat dia perlu pergi ke suatu tempat. Dia berniat mengunjungi seseorang, tapi membawa sekotak kue untuk diberikan kepada orang itu, apalagi kue itu juga hasil pemberian orang lain sudah pasti hal yang salah.

Tapi Edwin merasa tidak masalah jika itu diberikan kepada teman sekelasnya. Dia punya alasan untuk melakukannya, dan itu berhubungan dengan nenek pemilik toko kue yang memberikan kue itu kepadanya.

Nenek itu mengatakan jika kuenya terlalu banyak untuk bisa dihabiskan oleh Edwin sendiri, maka dia bisa membaginya dengan teman kelasnya. Jadi, apa yang Edwin coba lakukan saat ini tidak salah.

Setelah Aila, Bella dan Clara melihat kotak kue itu, mata mereka berbinar. Tampaknya mereka mengenali dari toko mana kue itu berasal setelah memperhatikan desain kotak kuenya.

Edwin tahu kalau toko kue itu cukup terkenal di kalangan perempuan, jadi keputusannya untuk memberikan kue itu pada Aila dan temannya sudah dia perhitungkan sejak awal dia melihat mereka keluar dari minimarket.

Edwin berniat menyerahkan kue itu pada mereka, dan Clara langsung mengambilnya dari tangan Edwin.

"Eh, benarkah?"

"Clara, jaga sopan santunmu."

Bella kembali mendesah, lalu dia berpaling ke arah Edwin. "Apa tidak masalah memberikannya kepada kami?"

"Tidak apa-apa. Seperti yang aku bilang, aku berniat memberikan kue itu. Jika kalian tidak mau, aku mungkin akan memberikannya pada orang lain yang aku temui dalam perjalanan pulang nanti."

"Tidak masalah, kami akan menerimanya dengan senang hati."

Clara langsung menjawab setelah Edwin selesai berbicara.

"Kalau begitu, izinkan kami menerimanya. Terima kasih. Sebenarnya kami ingin mengadakan acara belajar bersama, tapi tolong maafkan kami karena tidak bisa mengundangmu. Asrama Aila sepetinya melarang laki-laki untuk masuk."

Bella mengucapkan terima kasih dengan tersenyum lalu meminta maaf dengan lembut.

Sepertinya dia memang tidak berniat menolak kue yang Edwin berikan. Sesaat, di wajahnya bisa terlihat kalau dia cukup senang, dan itu tidak terduga karena sejak awal dia selalu bersikap tenang.

Perubahan ekspresinya tidak lepas dari pengamatan Edwin. Meski sesaat kemudian dia dapat kembali menampilkan ekspresinya yang biasa.

"Tidak masalah. Aku juga tidak berniat untuk ikut."

"Um, boleh aku bertanya sesuatu?" Aila yang sejak tadi lebih banyak diam, bertanya dengan ragu-ragu.

"Ya, silakan saja."

"Apa kamu serius mencalonkan diri sebagai perwakilan kelas?"

Aila mengungkapkan hal yang sejak tadi mengganjal di hatinya.

Dia sengaja mengangkat topik itu. Karena jika Edwin serius, Aila dapat membuat keputusan untuk menyerah sekarang juga dan tidak akan ikut dalam pemilihan. Aila tahu menanyakan hal itu pada situasi saat ini benar-benar tidak tepat, tapi dia ingin sekali tahu.

Dia melihat Edwin tampak memikirkan pertanyaannya, dan setelah beberapa saat Edwin mengungkapkan jawabannya.

"... Aku tidak begitu peduli soal pemilihan, aku hanya ikut karena aku merasa kalau itu menarik."

"..."

Tapi, jawaban Edwin membuatnya tersentak. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Aila selalu terbebani dengan peran itu, dan dia terus-menerus berpikir serius untuk kembali mengambil peran sebagai perwakilan kelas atau tidak.

Tapi Edwin dengan mudahnya menganggap hal itu seperti permainan. Dan dia ikut serta dengan alasan karena itu terlihat menarik baginya.

Pemikiran Edwin bertolak belakang dengan Aila. Edwin yang menganggap pemilihan dan tugas dari perwakilan kelas sebagai sesuatu yang bisa dijalani dengan mudah membuat Aila kesal.

Aila tidak ingin menyerahkan posisi perwakilan kelas kepada orang seperti Edwin yang tidak serius, tapi dia juga tidak ingin dirinya sendiri menjadi perwakilan kelas. Dia sadar kalau pemikirannya sangat kontradiktif, oleh karena itu dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

Ekspresi yang sangat pahit terlintas di wajah Aila sebelum dia marah karena jawaban yang tidak memenuhi harapannya. Sehingga tanpa dia sadari saat ini dia sedang memelototi Edwin dengan tatapan tajam.

Edwin melihat bahwa Aila memberinya tatapan tajam, punggungnya terasa menggigil. Sepertinya kata-katanya barusan berhasil mengaktifkan tombol aneh pada diri Aila.

Bella yang memperhatikan perubahan Aila, buru-buru memanggilnya.

Bella mengerti kenapa Aila bereaksi seperti itu setelah mendengar jawaban Edwin, tapi dia juga merasa kalau Edwin tidak bisa disalahkan. Jadi, yang terbaik saat ini adalah menenangkan Aila.

Dia berhasil membawa Aila kembali ke kenyataan. Tapi, kemudian−

"Selamat siang, Tuan Edwin. Mohon maafkan saya karena sudah membuat Anda menunggu lama."

Seorang pria berumur dua puluhan dengan setelan jas hitam yang rapi menghampiri Edwin. Dia berhenti tepat di hadapannya, kemudian membungkuk dengan hormat sambil tangan kanannya memegangi dadanya.

"Luke, akhirnya kau sampai juga."

Edwin memanggil pria itu dengan suara datar.

Luke mengangkat kepalanya. Dia sedikit melirik ke sekeliling dan hampir kaget ketika melihat Aila ada di antara orang yang hadir di tempat itu.

"Mohon maaf Tuan, butuh waktu lebih lama untuk membawa beberapa orang ke sini."

"Setidaknya kau berhasil sampai ke tempat ini. Kerja bagus."

"Terima kasih."

Luke menundukkan kepalanya dengan sopan setelah mendengar pujian yang entah diucapkan dengan tulus atau tidak, karena nada bicara tuannya tetap saja datar.

Setelah itu, Edwin melihat ke arah Aila, Bella dan Clara. Dia bisa melihat Aila menunduk karena malu, wajahnya terlihat memerah. Bella mungkin memberi tahunya tentang yang baru saja dia lakukan.

Kemudian Edwin berkata kepada mereka bahwa dia akan pergi.

"Tolong untuk hati-hati, dan terima kasih atas kuenya. Juga, mari kita bicara lagi di lain waktu."

Bella mengucapkan selamat tinggal dan tersenyum dengan ramah. Entah kenapa Edwin merasa kalau suara gadis anggun itu sedikit bergetar. Jadi Edwin hanya sedikit mengangguk untuk menanggapinya.

"Ya, hati-hati. Sampai besok."

Sementara itu Clara tampak lebih peduli pada kue karena dia sedang memeriksa isi kotak kue itu.

Aila menutup matanya, kemudian dia menarik napas lalu menghembuskannya, dia mengatur suasana hatinya dengan cara itu agar mendapatkan kembali ketenangannya.

Aila bangkit dan berjalan tepat ke depan Edwin.

"A-ada apa?"

Tindakan Aila membuat Edwin hampir melangkah mundur.

"Emm ... aku minta maaf atas masalah yang baru saja terjadi. Juga, sampai jumpa di sekolah."

Aila menatap langsung ke mata Edwin saat dia mengatakan itu, wajahnya berkaca-kaca. Sepertinya, dia menjadi waspada terhadap Edwin.

Bella yang memperhatikannya hanya bisa menilai kalau itu adalah bentuk konfrontasi langsung dari Aila kepada Edwin.

"Y-ya, sampai jumpa."

Edwin kemudian pergi, Luke mengikuti di belakangnya. Edwin merasa kalau Aila masih menatapnya dari belakang, untuk itu dia mempercepat langkahnya.

***

Chương tiếp theo