Tiba-tiba saja, Wana aji menoleh ke arah Gentar. Seketika raut wajahnya berubah, ia lantas maju menghampiri Gentar sambil memandang tajam wajah Gentar.
"Gentar Almaliki!" teriak Wana Aji menatap sinis wajah Gentar. "Sungguh masih mempunyai nyali yang sangat besar. Kau ternyata berani muncul sendiri ke tempat ini?!" sambung pria berjubah hitam itu. Dari pandangannya tampak menyimpan kebencian yang terlampau tinggi terhadap Gentar.
Gentar hanya melengak ketika tiga pendekar lainnya mulai mengurung dirinya. Menyaksikan pemandangan seperti itu, orang tua tersebut tampak terheran-heran. Lantas, ia pun bertanya kepada Wana Aji, "Apa yang hendak kalian perbuat terhadap pendekar itu?"
Wana Aji lantas berkata dengan suara rendah, "Sebaiknya, Aki jangan turut ambil bagian dalam persoalan ini! Kami akan meminta pertanggungjawaban pendekar ini, atas perbuatan yang sudah dia lakukan."
Kesan tidak baik pun muncul dalam benak Gentar, ia merasa diperlakukan tidak hormat oleh Wana Aji dan kedua rekannya. Perkataan Lian Mei yang tempo hari bertemu dengannya kembali terngiang di telinga Gentar, Lian Mei mengatakan Gentar terlalu lemah, dan tidak bisa bertindak tegas ketika dihina oleh para pendekar yang memusuhinya.
"Aku memang sangat lemah, perkataan Lian Mei memang benar," berkata Gentar dalam hatinya. "Kedatanganku ke kota ini sudah disambut dengan penghinaan dari banyak pendekar. Aku ini bukan takut terhadap mereka. Jika mereka bicara tidak mengenai aturan, terpaksa aku akan melakukan tindakan tegas." Gentar terus berkata-kata dalam hati kecilnya. Ia mulai dirasuki amarah yang tinggi atas perlakuan para pendekar itu.
Beberapa saat kemudian, Wana Aji kembali membentak keras, "Bedebah! Sekarang maumu apa?"
Gentar tetap bersikap tenang, ia hanya tersenyum kemudian menjawab, "Aku dulu pernah memperingatkan kalian, bahwa aku bukan orang rendah yang mudah kalian hina. Ingat perkataanku!"
Gentar terdiam sejenak sambil memandangi wajah Wana Aji dan ketiga kawannya. Lalu berkata lagi, "Jika kesabaranku sudah di ambang batas. Kalian akan tahu sendiri akibatnya!"
Mendengar perkataan dari Gentar, Wana Aji dan ketiga kawannya tercengang. Mendadak ia mendongakkan kepala sambil tertawa terbahak-bahak, suaranya terdengar gusar.
Setelah melampiaskan kegusarannya, Wana Aji kembali berkata sambil menuding Gentar, "Gedung ini adalah tempat yang paling dikeramatkan oleh golongan para pendekar Iblis Merah. Tapi malam ini kau sudah membuat kacau semuanya, hingga darah dan mayat para pendekar mengotori tempat ini. Apakah kau menganggap kami akan diam saja?!"
Mendengar perkataan kasar dari Wana Aji, orang tua itu tampak terkejut. Ia tidak paham dengan persoalan tersebut, sehingga dirinya pun kembali angkat bicara, "Kau ini berkata apa? Aku jamin, pendekar muda ini tidak seperti yang kalian duga. Dia tidak bersalah!"
Wana Aji berpaling ke arah orang tua tersebut. Kemudian berkata, "Sebaiknya, Aki jangan ikut campur dalam masalah ini!"
Wana Aji sedikit mendorong tubuh pria senja itu, sehingga orang tua itu mundur beberapa langkah. Orang tua itu sangat murka dengan perlakuan Wana Aji, lantas berkata, "Tindakanmu sudah terlampau berlebihan!"
Dengan demikian, dua pendekar yang merupakan kawannya Wana Aji maju beberapa langkah mendekat ke arah orang tua tersebut.
Wana Aji tidak mengindahkan ucapan orang tua itu. Ia tampak tenang dan tetap fokus kepada Gentar yang berdiri tegak di hadapannya.
Sikap Wana Aji sungguh keterlaluan, itu memancing reaksi kemarahan dari orang tua tersebut. Pria senja itu tidak menerima diperlakukan sedemikian rupa oleh para pendekar dari Padepokan Iblis Merah.
"Kalian telah menghinaku. Kalian pikir dengan kedudukan kalian sebagai murid kepercayaan Sri Wulandari akan bisa menghina orang lain seenaknya?!" bentak orang tua itu.
Setelah berkata, ia lantas berdiri bahu membahu dengan Gentar. Sebenarnya Gentar masih ingin memberikan penjelasan kepada Wana Aji dan kawan-kawannya. Namun, dalam kondisi seperti itu, Gentar memahami bahwa Wana Aji tidak akan mungkin mendengarkan penjelasan darinya.
Gentar merasa semangat ketika mendapatkan dukungan dari orang tua itu. Kemudian, ia langsung memusatkan semua kekuatan tenaganya di atas kedua tangannya.
Dalam waktu singkat, suasana di tempat tersebut menjadi tegang. Tetapi, dalam kesunyian malam itu, sebetulnya terkandung satu nafsu pertarungan dalam diri mereka.
Ketika mereka sudah bersiap untuk melakukan pertarungan. Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan lantang, lantas muncul sebuah bayangan berkelebatan berputar kencang di udara.
Ada sebuah kilat hendak menyambar ke arah Wana Aji dan kawan-kawannya. Mereka pun segera meloncat menghindari derasnya serangan tersebut.
Semerbak aroma wangi muncul tiba-tiba, seiring dengan munculnya seorang wanita cantik mengenakan gaun merah. Wanita itu adalah Dewi Rara Sati Pendekar Pedang Kematian.
Sorot matanya yang tajam, mengamati wajah Wana Aji dan ketiga kawannya itu. Kemudian berkata dengan suara nyaring, "Kalian adalah para pendekar terhormat murid Sri Wulandari. Tapi kenapa kalian bertindak gegabah? Gentar tidak mungkin merebut kembali keris pusaka itu. Kalian pikir saja! Buat apa jauh-jauh dia membawa keris pusaka tersebut untuk diserahkan kepada guru kalian?!" Dewi Rara Sati berkata dengan suara lantang.
Sejatinya, Wana Aji pun sudah berpikir ke arah itu, sependapat dengan Dewi Rara Sati. Namun dirinya ragu terhadap Gentar, karena sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa Gentar-lah orangnya yang sudah membawa keris pusaka tersebut.
Bahkan, Wana Aji sudah melihat Gentar bersekongkol dengan para pendekar lainnya untuk merencanakan perebutan keris pusaka tersebut. Oleh sebab itu, Wana Aji tidak mengindahkan seruan dari Dewi Rara Sati.
"Penjelasan darimu sudah tidak ada gunanya lagi. Karena kami sudah mengetahui bahwa pendekar inilah yang telah mengambil keris pusaka itu! Sebaiknya kau tidak perlu ikut campur!" tandas Wana Aji.
Dewi Rara Sati tertawa dingin. "Aku tidak akan pergi, sekalipun kalian mengusirku!" berkata ia sambil melotot tajam ke arah Wana Aji dan ketiga kawannya. "Kalau memang seperti itu, sebaiknya kalian hadapi aku saja!" sambung Dewi Rara Sati membentak keras.
Mendengar perdebatan antara Dewi Rara Sati dengan Wana Aji. Gentar pun berpikir, bahwa Wana Aji sudah terlanjur benci terhadapnya. Maka segala penjelasan apa pun tidak akan mudah ia percayai, dan sudah tidak ada gunanya lagi.
Dengan demikian, Gentar berpikir 'Bahwa memang benar semua orang di dalam rimba persilatan bertindak sewenang-wenang dan tidak mempunyai aturan.'
Nama Padepokan Iblis Merah memang sangatlah dihargai oleh para pendekar dari aliran hitam. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Gentar yang berkeyakinan Muslim. Namun, Gentar bersikap bijak karena Sri Wulandari pun sangat menghargainya.
"Aku akan bertindak semauku, karena kesabaran ini hanya sia-sia," desis Gentar.
Kemudian, ia maju beberapa langkah ke depan. Berkatalah Gentar dengan suara keras, "Aku tegaskan kepada kalian! Terserah kalian, mau percaya atau tidaknya itu hak kalian sendiri. Aku tidak pernah melakukan perbuatan yang kalian tuduhkan!" tegasnya. "Aku tidak mungkin mengambil keris itu, sejak dulu aku tidak berminat memilikinya. Kau tanya Aki ini! Dia yang tahu kedatanganku ke tempat ini, karena dia mengikutiku dari belakang!" sambung Gentar.
*