webnovel

7. Hanya Saudara

Setelah menelpon orang misterius, Chiraaz merasa tidak tenang. Benarkah apa yang dikatakan orang tersebut, jika teror yang mengganggunya bukan berasal dari Nyonya Hwan. Melainkan dari masa lalu yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam.

"Tidak, tidak mungkin dia ada di kota ini. Aku sudah meninggalkan segalanya. Tidak mungkin orang lemah itu bisa bertekad mengejarku ke sini," gumam Chiraaz bicara sendirian.

Hidup dengan beban masa lalu, sungguh membuat Chiraaz terbelenggu rasa takut sepanjang hidupnya. Apalagi saat ini, ia tengah bahagia dengan pernikahannya bersama Eljovan. Pernikahan yang diimpikannya seumur hidup, memiliki suami yang baik dan pengertian.

Namun, karena masalah yang menimpa mereka belakangan ini. Membuat hubungan keduanya merenggang. Chiraaz menganalisa semua kejadian yang menimpanya belakangan ini. Mungkinkah Nyonya Hwan bersekutu dengan musuh lamanya. Hati Chiraaz bertanya-tanya.

***

Setelah satu pekan berada di rumah sakit. Akhirnya Chiraaz diperbolehkan pulang oleh dokter. Siang itu dirinya sangat bersemangat untuk segera pulang ke rumah dan bertemu Eljovanm yang tak pernah melihatnya selama sakit.

"Chiraaz, Mama ada urusan. Bisa kamu urus semua administrasinya sendiri?" Nyonya Merry menyodorkan setumpuk kertas berisi biaya administrasi selama Chiraaz dirawat.

"Ya, tentu saja Mams," jawab Chiraaz malas.

Nyonya Merry menyerahkan kertas, wajahnya tersenyum semringah.

"Mama ada perkumpulan, sebentar lagi akan dimulai. Kamu hati-hati di jalan nanti ya," kata Nyonya Merry. Wanita itu berlalu begitu saja meninggalkan menantunya.

Chiraaz menghela napas dalam, nanar matanya menatap kertas di tangannya. Seharusnya kepulangan ke rumah menjadi hal yang membahagiakan. Dijemput oleh suaminya dan kembali beristirahat di rumah.

Namun, ia harus menerima kehidupannya yang sekarang. Memiliki mertua yang pintar pencitraan dan acuh tak acuh padanya. Chiraaz mengecek kembali barangnya, setelah memastikan semua aman. Ia mulai melangkah sambil menenteng tas di tangan.

Baru saja melangkah mendekati pintu, tiba-tiba saja pintu terbuka lebar. Chiraaz terkejut saat melihat sosok yang dirindukannya berdiri tegak membawa sebuah kursi roda.

"Beib, kamu jemput aku? Kenapa, kamu nggak bilang mau datang?" tanya Chiraaz. Wajahnya tersenyum senang.

"Tidak penting, cepat duduk dan segera pulang," sahut Eljovan dingin.

"Beib, kamu masih marah? Apa salahku? Kenapa, kamu diamkan aku selama ini. Bahkan, selama aku sakit, kamu tidak datang menjenguk."

"Nanti saja bicaranya, cepat duduk di kursi roda dan kita pulang, sayang." Mata Eljovan mendelik tajam.

"Sayang?" Chiraaz bertepuk tangan pelan, hatinya bahagia karena Eljovan mulai perhatian. Meski sikapnya masih dingin.

Chiraaz langsung duduk di kursi roda, Eljovan menaruh tas dipangkuannya. Chiraaz menyentuh tangan Eljovan yang sedang mendorong kursi roda. Meski halus tapi Chiraaz bisa merasakan penolakan dari suaminya.

"Beib, terima kasih sudah mau menjemputku," kata Chiraaz. Ia tidak mau melepaskan tangannya dari tangan Eljovan.

"Sudah kewajibanku."

"Masih dingin aja sih," protes Chiraaz.

Eljovan hanya diam saja, pria itu masih malas bicara dengan istrinya. Sebab, kemarahannya pada Chiraaz belum sepenuhnya luntur. Jika bukan bujukan dari ibunya, Eljovan tidak akan mau menjemput Chiraaz.

Setelah membayar administrasi, Eljovan segera menggendong Chiraaz dan membawanya ke mobil. Chiraaz sangat bahagia, karena sikap Eljovan mulai menghangat padanya.

"Beib, sepertinya aku lapar. Perutku sudah seminggu, hanya diisi oleh makanan rumah sakit yang tidak enak." Chiraaz mencoba merajuk.

"Makanan di rumah banyak. Kamu tinggal makan saja," sahut Eljovan.

"Tapi, aku mau makan di restoran."

"Kamu baru sembuh, jangan lakukan hal aneh."

"Sakitku cuma fisik, tapi sakit di hati karena sikap dingin kamu. Gimana sembuhinnya?"

Eljovan terdiam mendengar perkataan Chiraaz. Pria itu menghentikan langkahnya, matanya lekat menatap sang istri yang tidak hentinya terus tersenyum.

"Ya sudah, terserah kamu," sahut Eljovan pasrah.

"Terima kasih Tuhan," ucap Chiraaz. Bahagia dalam hatinya kian membuncah.

Di restoran sikap Eljovan tetap tidak berubah. Menjawab pertanyaan seperlunya, selebihnya pria itu hanya diam menikmati makanannya. Tidak peduli pada Chiraaz yang terus bicara, Eljovan tidak berminat menanggapinya.

"El," panggil Chiraaz. Perasaannya mulai sedih dan terganggu dengan sikap Eljovan.

Eljovan hanya meliriknya sekilas, lalu menunduk kembali ke piringnya.

"Jangan diamkan aku terus. Aku sedih El, apa salahku sama kamu? Kenapa kamu berubah? Kalau kamu nggak bicara, aku nggak tahu apa salahku," ucap Chiraaz, suaranya parau menahan sesak di dada.

Eljovan melepaskan sendok dari tangannya. Menegakkan posisi duduk dan menatap Chiraaz lekat. Bola mata istrinya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Eljovan menghela napas panjang, lalu membuangnya kasar.

"Kamu tahu Chiraaz, apa yang paling tidak aku sukai?" tanya Eljovan.

"Tentu saja, Beib. Kamu tidak suka jika dibohongi," jawab Chiraz yakin.

"Benar, lantas jika kamu tahu hal itu. Kenapa kamu melakukannya padaku?"

"Apa-- apa yang aku sembunyikan darimu? Semua sudah aku ceritakan, saat kita belum menikah bukan?"

"Masih ada yang kamu sembunyikan. Baiklah, aku minta maaf karena sudah tidak adil padamu belakangan ini. Aku ingin kamu jawab jujur." Eljovan berkata serius, matanya menatap tajam sang istri yang terlihat kikuk.

Chiraaz terdiam mendengar perkataan suaminya. Jantungnya berdebar cepat tak menentu. Hal apakah yang akan Eljovan tanyakan padanya. Ia pun menganggukkan kepalanya.

"Siapa pria ini?" Eljovan menyodorkan ponselnya pada Chiraaz.

Dengan tangan gemetar, Chiraaz menerima ponsel suaminya yang menunjukkan sebuah foto. Matanya membulat sempurna, saat melihat foto tersebut, sama dengan yang orang itu kirimkan ke rumah sakit.

Mata Chiraaz bergantian menatap foto lalu Eljovan yang duduk di hadapannya menunggu jawaban. Hatinya gelisah dan tidak menduga, jika foto tersebut sudah sampai di tangan suaminya.

"Hahaha, ini Elyas, El. Dia anaknya bibi Haina," kata Chiraaz tertawa pelan. Ia menyerahkan ponsel pada Eljovan. Ujung tangannya mengusap peluh yang membasahi keningnya.

"Benarkah? Kenapa kamu ketakutan? Kamu tahu sedang bicara dengan siapa?" cecar Eljovan.

"Sayang, dengar, aku pikir kamu akan membicarakan apa. Habisnya, belakangan ini kamu berubah. Wajar bukan? Jika aku takut," elak Chiraaz, balik menatap suaminya.

Eljovan diam tak menanggapi ucapan Chiraaz. Matanya pokus membaca raut wajah sang istri, yang ia yakini sedang menyembunyikan sesuatu. Chiraaz meraih tangan suaminya, diciumnya lekat punggunng tangan kekar itu.

"Aku mencintaimu sayang. Sungguh, kalaupun aku mempunyai masa lalu, apa pentingnya untuk saat ini? Karena kamu tahu, El? Aku hanya memberikan kehidupanku untukmu," ucap Chiraaz tulus. Kristal bening nampak siap jatuh dari kelopak matanya.

"Benarkah dia hanya saudaramu?" Eljovan bertanya lagi, hatinya masih ragu.

"Iya sayang-- nanti jika Elyas selesai kuliah dari Turkey. Kita bertemu oke?"

Melihat senyum manis istrinya, perlahan hati Eljovan mulai luluh. Ada sesal yang menyelimuti hati. Karena sebuah foto yang ia tidak tahu asalnya, ia mencurigai istrinya berselingkuh.

"Ya sudah, ayo kita pulang. Malam ini, layani aku," kata Eljovan seraya mengerlingkan sebelah matanya.

Chương tiếp theo