webnovel

Semalam Bersama Hajun

Mokpo, Korea Selatan

10 September 2021

[ 15.02 KST]

Aku membereskan mejaku sebelum pulang.

Kulihat, ponselku yang deringnya kusenyapkan yang masih tergeletak di atas meja terlihat berkedip-kedip dan bergetar. Ternyata ada pesan masuk di 𝘬𝘢𝘬𝘢𝘰 𝘵𝘢𝘭𝘬-ku.

[𝘚𝘢𝘭𝘭𝘺, 𝘮𝘢𝘢𝘧𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘶𝘣𝘶𝘯𝘨𝘪𝘮𝘶.

𝘚𝘦𝘣𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘫𝘢𝘥𝘸𝘢𝘭𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘵. 𝘚𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘮𝘢𝘢𝘧𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶.]

Itulah isi pesan pertama yang kuterima dari Mas Agung setelah satu bulan kami tidak berhubungan sama sekali namun aku hanya diam menatap layar ponselku.

Sibuk... Ya aku tahu sesibuk apa dia.

Selain harus bekerja di dunia entertainment, sebagai seorang pewaris, dia juga masih harus bekerja membantu perusahaan otomotif keluarganya. Aku sangat mengerti itu. Dan aku menghargainya. Walau terkadang tetap saja aku merasa sedih. Seperti ada yang salah dalam hubungan ini.

[𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘱𝘶𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘳𝘫𝘢? 𝘈𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘢𝘳𝘢𝘩?

𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘮𝘢𝘢𝘧. 𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘮𝘶𝘪𝘮𝘶 𝘴𝘦𝘤𝘦𝘱𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢.

𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪𝘮𝘶.]

Mas Agung kembali mengirimiku pesan. Mungkin karena dia tahu aku membaca pesannya tapi tidak membalas pesan apapun padanya.

Akhir-akhir ini dadaku terasa berat. Seakan sebuah batu besar mendiami sela-sela hatiku.

Sesak... Kadang aku juga menangis ketika sendirian di malam hari.

Hanya karena jarang bisa bertemu Mas Agung, mengapa rasanya bisa sesakit ini?

Dia tidak pernah menyakitiku. Dia laki-laki yang lembut namun tegas. Dia juga bukan tipe laki-laki yang bisa tidur seenaknya dengan wanita manapun.

Perasaanku tidak enak. Apa sesuatu terjadi dengannya di sana yang tidak kuketahui?

Kuselipkan kembali ponselku ke dalam tas dan kubawa pergi meninggalkan kantor.

"Nuna!" Teriaknya memanggilku saat aku sedang berjalan di koridor. Ah, ternyata Hajun. Pemuda tampan yang berusia 25 tahun yang sedang bekerja paruh waktu di tempatku bekerja. Sudah 3 bulan dia bekerja di sini. Dia tampan, tinggi, periang dan berjiwa bebas. Rambutnya sedikit ikal dan selalu membawa 𝘴𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘨 merah dan memakai jaket denim bertuliskan inisial HJ kesayangannya.

"Hah?" Aku menoleh padanya.

"Hmm... Mau pulang ya?" Dia bertanya padaku sambil mengunyah permen karet.

"Hm!" Aku hanya mengangguk lalu kulihat dia meniupkan permen karetnya.

"Heh! Nggak ada sopan-sopannya ngomong sama nuna sambil makan permen karet! Kenapa manggil-manggil?" Aku bertanya padanya dengan kesal dan dia hanya tertawa. Lalu dia menghampiriku dan kami berjalan bersama untuk keluar dari kantor.

"Makan bareng yuk!" Ajaknya.

"Makan bareng?"

"Hu'um. Aku lapar. Tadi aku nggak sempet makan siang saat istirahat. Tapi aku malas kalau harus makan sendiri. Mau ya? Ya? Ya?"  Hajun memohon padaku. Tapi sepertinya lebih terdengar seperti memaksa. Karena bocah kecil ini sungguh terlihat menyedihkan, maka aku menerima ajakannya, dengan berat hati. Huft...

"Oke. Tapi kamu yang nraktir aku. Dan aku yang memilih tempatnya. Nggak boleh protes! Kalau nggak mau, oke bye!" Kuajukan syarat padanya dan dia hanya mengangguk sambil tersenyum.

Berjalanlah kita berdua dengan ditemani wajah Hajun yang terus tersenyum. Sepertinya suasana hatinya sedang bagus.

Saat sedang berjalan bersebelahan, tangan Hajun dengan isengnya merangkul pundakku. Tentu saja langsung kutepis tangannya lalu kucubit pinggangnya.

"Ahh!! Nuna! Sakit..." Dia menjerit kecil.

"Nggak usah macam-macam. Pacar juga bukan. Awas aja." Aku mengancamnya tapi sebenarnya aku tertawa geli di dalam hati.

"Ngerangkul doang nggak boleh. Pelit amat."

Kulirik dia dengan tatapan tajam dan itu membuat raut mukanya menjadi masam. Melihat itu aku tidak bisa menahan untuk tidak tersenyum.

• • • •

"Nuna..." Panggil Hajun padaku.

"Hmm?" Jawabku singkat karena aku sedang asyik menyeruput 𝘳𝘢𝘮𝘺𝘦𝘰𝘯.

"Uhuk!" Karena aku makan terburu-buru, aku sampai tersedak.

"Nuna... Kenapa kamu meminta untuk makan di sini sih? Kan bisa milih buat makan di restoran yang lebih bagus." Ucap Hajun sambil menepuk-nepuk punggungku dan memberiku sebotol banana milk.

Ya, kami akhirnya hanya makan bersama di toserba di dekat kantor. Aku yang memintanya. Aku lebih suka memakan 𝘳𝘢𝘮𝘺𝘦𝘰𝘯, banana milk sekaligus 𝘰𝘥𝘦𝘯 dengan harga masing-masing 1000 won daripada harus makan sepotong steak dengan harga ratusan ribu won tapi sama sekali tidak membuatku kenyang. Buang-buang uang saja!

"Halah, lebih enak ini. Murah tapi mengenyangkan." Jawabku sambil nyengir kuda.

"Kamu juga makan sana. Keburu dingin makananmu." Ucapku lagi.

"Oke... Nuna juga makannya pelan-pelan saja. Nanti tersedak lagi."

"Iya iya." Aku masih sibuk memakan 𝘳𝘢𝘮𝘺𝘦𝘰𝘯 dan menggigit 𝘰𝘥𝘦𝘯ku.

Sesekali kulirik Hajun di sebelahku. Aku mengenal bocah ini baru 3 bulan. Selama ini, dari penampilannya kupikir dia anak yang cuek dan lebih mirip seperti berandalan. Tapi ternyata dia baik juga.

"Oh iya, tumben banget ngajakin aku makan? Aku kenal kamu sudah 3 bulan dan kita bahkan nggak pernah makan bareng. Kok tiba-tiba ngajak makan? Aku curiga..." Dengan mulut yang penuh makanan, aku bertanya padanya sambil memicingkan mataku ke arahnya.

"Ya... Nggak ada apa-apa sih. Kan sudah kubilang kebetulan aku lapar tapi aku lagi nggak mau makan sendirian." Jawabnya sambil terus memakan makanannya dan tanpa melihatku.

Aku hanya mengangguk mencoba menerima alasannya.

"Nuna..." Hajun kembali memanggilku.

"Ada apa lagi?"

"Apa aku boleh memelukmu?"

Aku yang hendak memasukkan 𝘰𝘥𝘦𝘯 ke dalam mulutku, seketika mengurungkan niatku mendengar ucapannya.

"Apa yang kamu katakan? Sudah kubilang, kamu ini bukan pacarku jadi jangan bercanda. Ayo makan saja." Suasana tiba-tiba menjadi canggung. Aku jadi merasa kikuk. Ada apa dengannya?

"Kalau begitu jadilah pacarku. Aku menyukaimu."

𝘋𝘦𝘨!

Aku terdiam. Kutaruh sumpitku di atas meja.

"Nuna..."

Sebelum dia sempat melanjutkan perkataannya, aku memutuskan untuk berdiri dan pergi dari tempat itu. Entah mengapa aku merasa sangat kesal. Aku bukan kesal karena ada seorang laki-laki yang tiba-tiba menyatakan cintanya padaku. Tapi aku kesal karena saat Hajun mengatakan bahwa ia menyukaiku, aku teringat dengan Mas Agung.

Di saat seperti ini, di saat aku merasa kesepian dan membutuhkan bahunya untukku bersandar, justru laki-laki lain yang dengan bodohnya berkata 'Aku menyukaimu' semudah itu padaku.

Mas Agung... Sesulit inikah untuk mencintaimu?

Aku tak kuasa menahan air mataku. Sungguh sakit rasanya. Kau memilih menjadikanku kekasih tapi kau seperti tak pernah hidup di dunia ini untukku.

Aku terus berjalan cepat sambil terus menangis...

Hajun berlari mengikutiku pergi dari toserba. Dia mengejarku hingga sampai di samping taman dekat apartemenku.

"Nuna! Tunggu! Biarkan aku menjelaskannya padamu! Kumohon!" Hajun terus berteriak memanggilku dan mengejarku. Kemudian aku menyerah dan berhenti. Aku merasa sangat lelah...

Hajun menarik tanganku dari belakang dan membuatku berbalik menghadap dirinya. Ia melihat air mataku yang mengalir di kedua pipiku.

Ia usap dengan lembut dan menghapus air mataku.

Aku masih berusaha untuk menepis tangannya.

"Nuna... Maafkan aku. Aku tidak pernah berniat membuatmu marah atau menyakitimu. Hanya saja, aku merasa sudah tak mampu lagi memendam cinta ini dalam diam selamanya. Aku sungguh menyukaimu. Aku mencintaimu. Sungguh..." Hajun terus mencoba meyakinkanku. Andai ia tahu aku ini milik siapa...

"Hajun-a... Kamu tahu. Kita berdua baru mengenal selama 3 bulan. Itu pun bukan hubungan yang dekat. Bahkan aku juga jarang berkomunikasi denganmu. Apa kamu nggak merasa bahwa ini aneh? Kamu sebelumnya nggak pernah memberikan tanda-tanda apapun yang menunjukkan bahwa kamu menyukaiku. Lalu mengapa?" Aku bertanya padanya dengan air mataku yang terus mengalir.

"Apa kamu sungguh nggak menyadarinya? Apa kamu sungguh nggak tahu bahwa aku sudah seringkali menunjukkan bahwa aku menyukaimu?" Dia balik bertanya padaku. Dan aku semakin tidak mengerti. Aku menatap matanya mencoba mencari jawabannya, namun nihil.

"Bunga yang berbeda setiap harinya di vas mejamu, ketika setiap kali kamu meminta cuti dan atasan kita mengijinkannya padahal seharusnya saat itu adalah jadwalmu mengajar private, benda-benda penting yang kamu hilangkan di kantor karena kamu lupa menaruhnya tapi besoknya benda itu kembali tertata rapi di mejamu, ketika kamu harus pulang dari kantor tapi keadaan di luar hujan lalu tiba-tiba kamu melihat sebuah payung di dekat pintu kelasmu dan kamu bisa memakainya. Semua itu... Akulah yang melakukanya. Selama ini aku menyukaimu dalam diam. Aku berusaha melakukan apapun untukmu. Aku selalu kesal tiap kali aku melihat ada kesedihan di wajahmu. Setiap kali kamu terlihat kesal, aku ingin sekali bisa memelukmu dan membiarkanku bersandar padaku. Sudah seringkali aku berencana untuk menyampaikan perasaanku padamu tapi aku tak pernah punya keberanian. Aku takut kamu menolakku lalu membenciku. Tapi semalam, aku sudah bertekad. Aku harus mengatakannya. Aku tidak peduli bagaimana nanti sikapmu padaku. Aku sudah nggak tahan lagi."

Aku yang mendengar semua kenyataan ini darinya hanya bisa terdiam. Aku tidak pernah menyangka bahwa semua itu adalah karenanya. Aku masih tak percaya. Aku tak tahu harus menjawab apa.

Hajun, laki-laki yang baru kukenal selama 3 bulan tiba-tiba menyatakan cintanya padaku seberani ini. Untuk sesaat, hatiku menjadi luluh. Aku bisa merasakan ketulusannya dan kesungguhannya.

Dia masih terus menatapku. Aku melihat keyakinan di matanya.

Apa aku harus menyerah akan cintaku pada Mas Agung?

Apa aku harus melepaskannya dan menerima cinta lelaki ini?

Mas Agung... Tolong jangan biarkan aku pergi. Teruslah genggam tanganku. Yakinkan aku bahwa hubungan kita ini bukanlah kesalahan. Jangan biarkan hatiku luluh pada cinta yang tak kukenal ini. Kumohon...

Hajun melangkah maju mendekatiku. Dia kembali menyentuh pipiku dengan kedua tangannya yang hangat dan sekali lagi menghapus air mataku.

"Aku sungguh mencintaimu... Nuna..." Ucapnya kembali.

Hajun kemudian memelukku. Mendekapku erat sambil membelai rambut panjangku. Aku merasakan kehangatan di dalam pelukannya. Entah mengapa aku tak bisa menghindar ataupun menolaknya. Aku justru merasa sangat nyaman. Tanpa kusadari, aku membalas pelukan Hajun. Aku memeluknya dengan erat.

"Nuna, percayalah padaku..." Dia kembali menatapku.

Perlahan, Hajun mendekatkan wajahnya padaku. Aku tahu, dia akan menciumku. Ini tidak boleh terjadi!

Tangannya menyentuh leherku. Wajahnya semakin mendekatiku. Aku ingin menolaknya dan memukul wajahnya tapi aku tidak bisa. Tubuhku menolak apa yang diperintahkan oleh hatiku.

Dan benar saja, Hajun mengecup bibirku dengan lembut lalu dia berhenti sejenak dan kembali menatap mataku.

• • • •

Aku dan Hajun kini berada di dalam apartemenku. Entah bagaimana kami bisa berada di sini.

Kami berdua berdiri di depan kamarku dimana sofaku berada.

Hajun kembali menciumku. Kini ia lebih berani saat melakukannya. Aku yang sedang merasa kesal karena sikap seorang idol, justru membalas ciumannya dengan lebih bernafsu. Ciuman membabi buta. Penuh dengan nafsu. Seakan-akan kami akan saling melahap bibir masing-masing. Bibir kami saling melumat. Lidah kami saling beradu.

Hajun semakin berani dengan mulai menciumi bagian leherku. Bergantian kanan dan kiri.

Ahh... Sudah begitu lama...

Rasanya... Nikmat...

Hajun mulai mencoba membuka kancing bajuku dengan kedua tangannya sambil tetap menciumi leherku lalu kembali ke bibirku.

"𝘚𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨𝘩𝘢𝘦..." Dia mengatakannya sambil setengah berbisik saat sejenak ia melepas ciumannya. Mendengar kata itu, hatiku semakin tak bisa kukendalikan. Aku senang... Aku merasa senang mendengar kata itu.

Kata yang sudah lama tidak kudengar dari Mas Agung.

Kemejaku telah terlepas meninggalkan bra yang masih menempel di dadaku. Tangan Hajun mulai meraba bagian dadaku dan mengarahkannya ke bagian belakang tubuhku. Ia melepaskan pengait bra-ku. Ia lepaskan dan jatuhkan ke lantai.

Tangan yang besar dan hangat ini bukanlah tangan milik Mas Agung tapi...

"Ahh..." Aku mendesah karena Hajun tiba-tiba meremas payudaraku.

Bibirnya yang sedari tadi menciumi bibir dan leherku kini mulai turun ke bawah. Ia remas-remas payudaraku dan menjilatinya dengan lidahnya. Jari-jemari Hajun sesekali memelintir putingku perlahan.

"Ahh... Hajun-a...!" Kusebut nama Hajun.

Sungguh aku merasa bahwa ini adalah momen yang sudah lama kunantikan. Aku merindukan belaian. Belaian tangan Mas Agung. Tapi aku mendapatkannya dari laki-laki lain.

Hajun kemudian menggendong tubuhku dan membaringkanku ke tempat tidur. Ia bergerak ke arah kakiku. Ia berhenti di perutku lalu tangannya perlahan melepas rok dan disusul dengan celana dalam warna merahku. Ia sentuh dengan lembut bagian di antara perut dan lututku dimana tempat segala kenikmatan berada. Ia elus dan sesekali menggerakkan jarinya keluar dan masuk.

Hajun lalu berdiri dan melepaskan semua pakaiannya. Kemudian ia menindihku. Ia kembali menatapku dan membelai rambutku lalu mengecup mesra keningku. Bibirku langsung menggapai bibirnya. Menciuminya sepuasku.

Mas Agung... Aku bersalah karena melakukan ini di belakangmu. Tapi ini semua karenamu!

Jadi... Maafkan aku untuk kali ini...

                       - To Be Continued -

Chương tiếp theo