BSHHH!
Rafael tersenyum merasakan cairan merembes dari vagina Myesha dan mau tak mau membuat penisnya juga ikut basah. "Air ketubanmu pecah, Sayang. Bagaimana ini?" tanya Rafael sambil tertawa sinis.
Myesha hanya menatap horor langit-langit ruangan tempatnya berada. Kakinya gemetar saat rasa sakit di perutnya semakin menjadi-jadi. Bukannya bangun dari posisinya, Rafael malah dengan sengaja semakin mengeratkan pelukannya pada Myesha dan semakin membuat perut buncit Myesha tertekan.
"Aku penasaran, Myesha..."
Myesha melirik sekilas Rafael dengan peluh yang sudah membanjiri tubuhnya.
"Ghhh!" erang Myesha tertahan.
"... dengan wajah anakmu. Aku jadi ingin melihatnya sekarang," lanjut Rafael yang semakin membuat Myesha ketakutan. Di detik ini, Myesha sadar kalau dirinya akan kehilangan anaknya.
'Maafkan aku, Ezra,' ucap Myesha dalam hati.
Setelah mengetahui air ketuban Myesha pecah dan membasahi penisnya, Rafael dengan cepat bangun dari posisi tidurnya. Myesha merasakan beban di tubuhnya berkurang sehingga membuatnya membuka matanya. Mata itu terlihat sangat sayu ditambah dengan keringat yang membanjiri wajahnya. Ringisan kecil terus terdengar dari bibir mungil tersebut.
"Hm... bagus, sebentar lagi selesai," ujar Rafael sambil merenggangkan otot-ototnya. "Aku sudah lelah bermain-main. Kita selesaikan saja semuanya, Myesha."
Ucapan Rafael membuat Myesha ngeri tapi sejujurnya dia sudah pasrah. Kalau hidupnya akan berakhir di tempat ini, Myesha akan menerimanya dengan lapang dada. Satu-satunya harapannya adalah agar suami tercintanya dapat tegar menerima kenyataan kalau istrinya meninggalkannya lebih dulu.
Myesha kembali memejamkan matanya. Mulutnya tersenyum saat membayangkan masa-masa bahagianya dengan Ezra.
"Dasar gila," celetuk Rafael saat melihat korbannya sedang tersenyum.
"... zra," Myesha menarik napas pelan. Rafael menajamkan indra pendengaraanya agar bisa menangkap ucapan Myesha. "Ezra... aku... men... cintaimu."
Sudut bibir Rafael berkedut mendengarnya. "Cih!" Dia benar-benar benci melihat ketulusan wanita di hadapannya. Dia bahkan tidak sadar kalau dalang dari semua ini adalah suaminya sendiri. "Wanita bodoh!"
BUG!
Myesha membuka mulutnya tanpa bisa bersuara saat merasakan pukulan keras pada perutnya. Ada cairan yang semakin banyak keluar dari vaginanya.
Cairan yang tadinya berwarna putih keruh sekarang berubah berwarna kemerahan. Rafael tersenyum senang melihatnya. "Wah akhirnya, aku hampir lupa kalau aku ingin melihat wajah anakmu."
Dengan secepat kilat, Rafael segera naik ke atas tempat tidur dan mendudukkan dirinya di atas dada Myesha dengan memunggungi wanita itu. Myesha yang sudah kehabisan tenaga hanya bisa meremas kedua tangannya tanpa bisa berteriak lagi.
Tapi saat kedua tangan Rafael meremas perutnya dan mendorongnya ke arah vaginanya dengan paksa, Myesha seakan menemukan suaranya lagi. "AAKKHHHHHHH! SAKITTTT!" teriaknya kencang.
Napas Myesha memburu saat merasakan bayinya dipaksa keluar. Seluruh perutnya terasa sakit dan vaginanya berkedut-kedut saat menerima dorongan dari dalam. Kedua kaki Myesha bergetar sambil bergerak-gerak gelisah.
"Suaramu indah sekali." Rafael semakin mengencangkan dorongannya pada perut Myesha. Kedua mata hitam Rafael sedikit membesar saat melihat vagina Myesha sedikit mengembung. "Itu pasti kepalanya."
Rafael semakin semangat mendorong saat melihat semakin banyak darah yang keluar dari tubuh bagian bawah Myesha. Teriakan Myesha seakan menjadi lagu penyemangatnya untuk terus bergerak. Sedikit rambut berwarna hitam terlihat dari vagina Myesha.
"Rambut anakmu berwarna hitam, Myesha."
Myesha sudah tidak dapat melakukan apapun lagi. Ia hanya bisa berteriak yang makin lama terdengar makin kecil. Mata Myesha membulat saat sesuatu yang besar menerobos lubang vaginanya diikuti teriakan gembira Rafael.
"Aku melihatnya, Sayang," ucap Rafael dan menghentikan gerakan mendorongnya, membiarkan kepala bayi Myesha yang sudah lolos dari vagina Myesha. Tangan Rafael sejenak mengusap perut Myesha yang masih membuncit. "Badannya masih di sini. Tapi sepertinya kau sudah kelelahan, jadi kita hentikan saja."
Lelaki itu bangkit dari tubuh Myesha, meregangkan ototnya dan mengenakan pakaiannya lengkap. Semua peralatan miliknya ia rapikan dan ia masukkan ke dalam tas ransel miliknya.
Setelah selesai merapikan semua miliknya. Rafael menoleh ke arah tempat tidur. "Dia tidur atau sudah mati?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Rafael kembali mendekat pada tubuh Myesha. Diperhatikannya kepala bayi Myesha yang tersangkut di selangkangan wanita itu. "Sekarang rambutnya berwarna merah. Sebentar lagi pasti kasur ini juga berwarna merah."
"Selamat tinggal, Myesha" lanjutnya kemudian berjalan pergi dari gedung tua yang merupakan bekas hotel itu. Lelaki itu tidak takut meninggalkan sidik jari, keringat, ataupun sperma di sana. Polisi tidak akan bisa mencarinya karena identitasnya tidak pernah tercatat di negara manapun. Dia bisa dengan mudah memalsukan identitasnya. Karena itulah dia bisa bertahan hidup dengan pekerjaan sebagai pembunuh bayaran.
Saat sampai di luar gedung, tiba-tiba dia teringat dengan asistennya yang mungkin saja saat ini sedang tidur dengan laki-laki lain. "Ah, ada banyak ikan di lautan. Aku akan cari wanita lain saja," ucapnya kemudian pergi meninggalkan kota.
.
.
.
Tiga hari berlalu semenjak berita menghilangnya Myesha, polisi memberi kabar kalau mereka sudah menemukan tubuh wanita tersebut. Karina yang mendengar kalau menantunya meninggal hanya bisa menangis histeris. Vania yang sementara waktu tinggal di rumah majikannya itu segera memeluk Karina dengan erat. Mata coklatnya melirik ke arah Ezra.
Laki-laki itu menampilkan wajah terpukul dengan tatapan mata kosong. "Apa kau bilang?!" teriaknya lantang sambil mencengkram kerah baju polisi di hadapannya. "Ini tidak mungkin!" lanjut Ezra. Polisi di hadapan Ezra hanya bisa memasang wajah iba sambil menepuk bahu suami dari Myesha Kalingga.
"Kami turut berduka."
Tubuh Ezra seketika merosot sambil mencengkram dadanya. "Mye-Myesha, aaa... Myesha..." isaknya.
Dalam hatinya, Vania cukup terkesima dengan akting Ezra. Sedangkan Ezra sendiri tertawa bahagia dalam hatinya. 'Akhirnya semua harta Myesha akan jatuh ke tanganku. Saatnya mencari mangsa baru,' ucapnya dalam hati. Otaknya kemudian mengingat putri semata wayang dari keluarga Winata. Walau lebih tua tiga tahun dari Ezra, Ezra tidak akan keberatan jika harus menikahinya. Apalagi kepala keluarga Winata dikabarkan sedang berusaha mencarikan suami untuk putrinya itu. Ezra akan mendekatinya dengan perlahan, tentu saja awalnya dengan berkedok bisnis.
Ezra sudah dapat membayangkan masa depannya yang cerah. Ditambah lagi ada sekretaris barunya yang rela menjadi pemuas nafsunya. Rasanya ia ingin cepat-cepat menyelesaikan urusannya dengan polisi saat ini karena dia sudah tidak sabar untuk memasuki tubuh Vania lagi seperti malam-malam sebelumnya.