__________________
•
"Kau sakit jiwa, Na Jaemin."
Setelah berucap demikian, Jeno memutuskan pergi dan tak memperdulikan lelaki bermarga Na itu lagi.
Wajah tenang Jaemin berubah. Sorot mata tajam serta cengkeraman pada pemukul baseball semakin kuat. Geram saat merasa diabaikan oleh Jeno. Ia berjalan cepat menghampiri lelaki itu, lalu mengayungkan benda di tangannya untuk mengenai tepat di kepala. Akan tetapi, Jeno yang menyadarinya segera menghindar, kemudian berbalik dan langsung melayangkan bogem ke wajah Jaemin.
"Ije keumanhae jigeum!" pekik Jeno. (Tolong berhenti sekarang juga!)
Ia terdiam sejenak. Mencoba untuk mengatur napas dan menahan diri agar emosi akibat hilangnya kesabaran tak diluapkan kepada Jaemin. Kedua tangan terkepal. Ingin kembali melayangkan satu pukulan, tetapi tak tega melakukannya.
"Kau pikir dengan melakukan ini, kau bisa lolos dari penyelidikan polisi? Meski aku bungkam sekali pun, kebenaran akan terungkap. Sejak memulai, kau jelas tahu bagaimana konsekuensinya, bukan? Kau yang menghabisi Haechan. Jangan pernah lupa jika kau seorang pembunuh. Jadi bersiaplah menerima hukuman."
Sempat jatuh akibat pukulan, kini Jaemin bangkit. Ia menyentuh sudut bibir saat merasakan sesuatu. Sepertinya Jeno memukul dengan kekuatan penuh, sehingga menyebabkan darah segar mengalir keluar dari sana.
Susah payah Jeno menyusun kalimat agar bisa menyadarkan temannya itu, tetapi semua hanya dianggap angin lalu. Sebab, Jaemin dengan teganya kembali mendekat dan ingin memukul Jeno menggunakan benda panjang di tangan.
"Yak!"
Teriakan Hana bergema dalam indra pendengaran dan berhasil menghentikan Jaemin saat jarak antara pemukul baseball dan kepala Jeno tinggal beberapa senti lagi.
Ingatan saat Hana berteriak sambil terus mendorong kepala lelaki yang kini memandanginya dengan tatapan nanar, saat berada di gedung belakang sekolah beberapa minggu lalu. Bagaimana pertengkaran Jeno dan Haechan yang berakhir dengan perkelahian hebat pun tak luput menari-nari bagai bayangan. Seolah mencoba untuk membuat Jaemin terbebas dari jiwa jahat yang tengah menguasai tubuhnya.
"Kalau saja aku seorang psychopat, aku sudah pasti akan menghukum mereka berdua, haha."
Candaan Jeno disertai tawa ringan ketika merangkulnya kala itu kembali terngiang-ngiang. Niatnya untuk menyakiti Jeno menghilang, digantikan dengan rasa bersalah. Perubahan suasana hatinya sungguh sangat buruk. Ia bahkan menjadi sangat bingung.
"Jika kukatakan sesuatu, apa kau akan berani membalas mereka, walaupun kau bukan seorang psychopat? Aku berjanji akan melindungi kalian."
Kalimat yang pernah terlontar dari mulutnya sendiri kala itu menyadarkan ia dari segala tindakan yang mungkin akan memunculkan rasa penyesalan kelak. Sebab, Jeno sama seperti Jisung. Seseorang yang pantang ia sakiti.
Tidak ada rasa takut sedikit pun terlukis di wajah Jeno. Ia mengenal bagaimana Jaemin. lelaki itu tidak akan mungkin menyakitinya.
Selang waktu beberapa saat kemudian, sebuah mobil datang dari arah belakang Jeno. Doyoung bergegas keluar setelah mematikan mesin, saat melihat adiknya sedang bersama Jaemin. Namun, niatnya untuk menghampiri mereka tertunda ketika menyadari jika situasi berbahaya yang sejak tadi menghantuinya tak ia temukan. Walau jaraknya cukup jauh, ia bisa mendengar sedikit percakapan kedua lelaki muda di sana.
Benda panjang terbuat dari kayu berujung tumpul tiba-tiba terlepas dari genggaman. Alat yang seharusnya beberapa menit lalu menumbangkan Jeno. Jaemin akhirnya tersadar. Bebas dari segala macam pemikiran buruk untuk menghabisi teman, sahabat sekaligus saudara baginya itu. Jeno terlalu berharga. Tidak seperti Haechan dan Hana yang tak lebih seperti iblis dengan jiwa pendendam.
Jeno membungkuk untuk memungut pemukul baseball, kemudian berkata, "Mari hidup dalam dunia yang membuat kita nyaman. Haechan sudah tidak ada dan Hana, dia masih belum sadarkan diri. Tidak akan ada yang mengganggu kita lagi. Kau, aku dan Jisung tidak akan diperbudak lagi. Aku hanya ingin meminta satu hal darimu, Jaemin yang baik hati saat pertama kali aku kenal. Seseorang yang peduli pada sekitar. Tolong, jangan melenyapkannya dengan menjadi sosok mengerikan seperti saat ini. Itu akan menyakitiku dan Jisung."
Jaemin menunduk. Bahunya bergetar, ia menangis. Sedih terhadap diri sendiri yang tampak menyedihkan. Kakinya terasa lemas seketika, lalu ambruk hingga kini berlutut pada aspal dingin. Tangis lelaki itu pecah, membuat Jeno yang masih setia pada posisinya berusaha menahan kesedihan agar tak tumpah pula.
Sejurus kemudian, suara sirine terdengar. Dua mobil polisi muncul dari pertigaan di ujung jalan.
Saat menatap ke arah mobil polisi, Jeno menangkap mata sang kakak tersenyum begitu hangat padanya, sambil mengacungkan jempol pertanda kerja bagus.
Jeno seharusnya merasa bangga diri, bukan? Akan tetapi, tidak demikian. Melihat mobil polisi itu berhenti tepat di belakang Doyoung membuat hatinya semakin sakit. Jaemin akan dipenjara, itulah kenyataan yang membuat ia sedih.
Setiap kejahatan yang dilakukan harus ada balasan setimpal. Begitulah hukum manusia. Berharap memperbaiki keadaan, tetapi justru menjadi malapetaka yang mampu membinasakan jiwa. Lantas, ke manakah hati nurani nan hangat itu sebenarnya berada? Rupanya, telah terkubur jauh bersama cinta kasih yang dilukai oleh perbuatan semena-mena.
Menunjukkan kasih sayang dengan melindungi orang lain itu manusiawi, tetapi jika caranya salah, tetap akan berujung dengan derita.
Terkadang, berpura-pura bodoh itu merupakan pilihan terbaik. Sebab, orang bodoh nyatanya lebih bahagia dari mereka yang lebih suka mempertontonkan segalanya. Itu fakta mutlak yang tak bisa terbantahkan oleh siapa pun, kecuali bagi mereka yang haus akan kekuasaan dan perhatian.
• • •
Jisung duduk berhadapan dengan Jaemin yang sudah mengenakan seragam tahanan. Keduanya dipisahkan oleh dinding kaca dengan banyak lubang, agar mereka bisa saling mendengar suara satu sama lain. Lelaki bermarga Park itu menunduk, tak berani menatap mata Jaemin yang sedari tadi tiada henti memperhatikannya.
Sementara di belakang, ada Jeno berdiri menyandarkan punggung pada dinding sambil melipat kedua tangan di depan dada, juga dalam posisi menunduk.
"Aku harus bersaksi di persidangan," kata Jisung dengan suara pelan, tetapi masih bisa terdengar lawan bicara di seberang.
Jaemin bersikap tenang. Ia hanya tersenyum menanggapi ucapan sahabatnya itu.
Jisung mengangkat wajah. "Saksi harus jujur 'kan? Jika aku jujur, itu akan memberatkanmu," ucapnya dengan suara bergetar.
"Katakan saja semuanya, aku tidak apa-apa. Lalu setelah itu, mari kita hidup dengan nyaman, seperti permintaan seseorang." Jaemin melirik Jeno yang juga sedang melihat ke arahnya juga setelah mengucapkan kalimat itu.
"Tapi ...."
"Pernahkah kalian bertanya kenapa? Alasan aku melakukannya apa?" tanya Jaemin. "Karena aku tidak ingin kalian menjadi sepertiku. Aku ... seorang Skizofrenia Paranoid."
Jeno terkejut mendengar pengakuan Jaemin. Ia pernah tak sengaja menemukan informasi jenis penyakit itu di internet saat sedang mencari sesuatu.
Skizofrenia adalah penyakit mental kronis yang menyebabkan penderitanya tidak bisa membedakan dunia khayal dan nyata. Sulit untuk berpikir, mengingat atau memahami situasi tertentu.
Sementara itu, Skizofrenia Paranoid merupakan delusi dan halusinasi. Itulah sebabnya, orang dengan penyakit ini cenderung mendengar suara-suara di dalam pikiran mereka dan melihat sesuatu yang tidak nyata. Penderitanya akan sering menunjukkan perilaku kacau, menyebabkan diri tidak dapat mengendalikan sikap. Akibatnya, sering berperilaku tidak pantas, sulit mengendalikan emosi, hasrat, serta keinginannya.
Paling sering para penderita mendengar suara yang jelas dari orang yang dikenal ataupun tidak dikenal. Suara ini mungkin akan memberi tahu mereka untuk melakukan hal berbahaya dan mengerikan, seperti bunuh diri atau membunuh orang lain. Juga, memiliki keyakinan kuat akan suatu hal yang salah. Misalnya, merasa orang lain ingin mencelakakan atau membunuh dirinya. Dengan kata lain, penderita skizofrenia paranoid akan merasa terancam jikalau seseorang mulai menyakitinya.
Yang Jeno tahu, dari pengakuan Doyoung, Jaemin juga telah membunuh ayahnya sendiri. Rupanya, penyakit itu merupakan penyebab kenapa lelaki itu tega melakukan hal keji tersebut. Jaemin pernah bercerita banyak padanya mengenai perilaku sang ayah yang selalu memukuli. Dia bukan sengaja, hanya sedang merasa terancam karena penyakit mental yang dideritanya itu. Begitu pun kepada Hana maupun Haechan.
Hening. Ketiganya terdiam. Sibuk berkelana dengan pikiran masing-masing. Bagaimana selanjutnya? Apakah akan seperti biasa setelah Jaemin divonis penjara? Ataukah merasa kehilangan karena ketidakadaan sosok sahabat terbaik?
Sudah dapat dipastikan jika hukuman yang akan diterima akan berat. Setimpal dengan kejahatan yang diperbuat. Paling berat ialah hukuman penjara seumur hidup.
Suara isakan dari bibir kecil namun berisi milik lelaki di hadapan Jaemin memecah kesunyian. Jisung menunduk sembari terus menarik cairan kental yang akan keluar dari hidung.
"Kau menangis?"
Pertanyaan Jaemin membuat Jisung segera menghapus air mata. "Tidak, mataku hanya perih karena kurang tidur," jawabnya, berbohong.
Tak lama kemudian, seorang pria berseragam polisi memasuki ruangan, memanggil Jisung untuk dimintai keterangan sebagai saksi atas kasus yang melibatkan Jaemin.
Sepeninggal Jisung, Jeno mengambil alih tempat duduk.
"Jaga Jisung, dia sudah seperti adik bagiku." Jaemin membuka percakapan antara mereka.
Dari gestur tubuh dan raut wajah, ia sebenarnya sangat takut dan Jeno menangkap gerak-gerik itu.
"Kau takut?" tanya Jeno. "Geokjeonghajima, gwenchana." (Jangan khawatir, tidak apa-apa.)
Jaemin tersenyum simpul, lalu mengangguk. Ia sedikit merasa lega karena tidak dibenci oleh dua orang paling berharga dalam hidupnya, walau telah menjadi monster sesaat.
"Sekarang aku yang ingin meminta penjelasan darimu," kata Jaemin, memandang Jeno lekat. "Apa yang kau pikirkan saat itu?"
Hanya sorot mata penuh tanda tanya sebagai balasan atas pertanyaan tersebut. Jeno tidak mengerti ke mana arah pembicaraan mereka selanjutnya. Melihat Jaemin memperbaiki posisi duduk sebelum mengajukan pertanyaan, membuatnya berpikir jika sesuatu yang sedang dibicarakan lelaki itu merupakan hal serius.
"Malam ketika aku memergokimu di ruang rawat Hana."
Jeno menyunggingkan senyum, lalu menuduk. Rupanya tentang kejadian di malam itu. Selalu. Ketika teringat, rasanya ia ingin memukul diri sendiri. Nyaris melakukan hal bodoh di saat kecurigaan akan kematian Haechan sedang menargetkannya. Ia seharusnya berterima kasih kepada Jaemin. Jika bukan karena lelaki itu, Hana mungkin sudah menyusul Haechan saat itu. Dia akan anggap seorang pembunuh juga.
Jeno menghela napas dalam-dalam, membuangnya, kemudian berkata, "Gomabda." (Terima kasih)
"Mwol?" (Apa?)
"Hm, Geunyang." (Begitulah)
Jeno terkekeh tanpa menjawab pertanyaan Jaemin, membuat lawan bicaranya mengumpat kesal karena dihantui rasa penasaran. Ia lalu mengubah topik pembicaraan.
Melempar gurauan jenaka karena gemas terhadap dinding kaca yang menghalangi mereka. Ia meminta izin kepada Jaemin untuk menghancurkan dinding tersebut dengan satu pukulan. Namun, dibalas candaan pula yang diakhiri ledakan tawa saat Jaemin mengatakan bahwa dia mungkin akan menemaninya mendekam dalam jeruji besi, jika hal itu sampai terjadi.
Jaemin akhirnya dinyatakan bersalah. Vonis seumur hidup dijatuhkan. Namun, mengingat lelaki itu masih dibawah umur, ia menjadi tahanan kota sampai di mana usianya cukup untuk menerima hukuman yang pantas. Lalu dikirim ke Yongin Mental Hospital–pusat rehabilitasi kejiwaan–yang berlokasi di 940 Jungbu-daero, Sangha-dong, Giheung-gu, Yongin-si, Gyeonggi-do, Korea Selatan. Untuk menyembuhkan penyakit mental yang dia derita.
• • •
Kantor polisi Gangnam ....
"Apa kabar, Detektif Kim?!"
Lucas. Pria tinggi dengan setelan kaos putih berbalut kemeja kotak-kotak lengan panjang berwarna biru laut menghampiri Doyoung.
Senyum merekah dan semangat yang menggebu-gebu. Suasana hati menjadi cerah setelah melihat sang detektif masuk. Wajah baru dan hari baru. Ia merasa bosan bertemu dengan rekan kerja yang itu-itu saja setiap hari. Kehadiran Doyoung bagian angin segar baginya.
"Apa kau baru menang lotre?" tanya Doyoung.
Lucas mengangkat bahu. "Hanya merasa bahagia saja melihatmu datang. Aku mulai bosan melihat wajah orang-orang di sini setiap hari."
Seseorang tiba-tiba memukul kepala Lucas dari belakang setelah merasa tidak senang dengan pernyataan pria itu. Dia tak lain adalah Qian Kun. Rekan kerja Lucas yang terkadang bisa menjadi polisi dan detektif di waktu bersamaan.
"Lama tidak berkunjung. Kau pasti sangat sibuk dengan kasus-kasusmu," kata Kun, lalu mempersilakan Doyoung duduk pada sebuah sofa panjang.
Gawai yang sedari tadi ada dalam genggaman, Doyoung letakkan di atas meja berbahan kaca di dekat sofa dan melanjutkan berbincang-bincang dengan Kun. Namun, ketika seorang polisi lain memanggil, ia meninggalkan benda pipih itu di sana untuk menghampiri polisi tersebut.
Sejurus kemudian, seseorang duduk menggantikan Doyoung. Menggapai gawai milik sang detektif, kemudian mengutak-atiknya. Sosok berjaket hitam menutupi kepala itu membuka file galeri untuk mencari sesuatu.
Rupanya, foto kiriman Renjun yang berisikan pesan rahasia adalah tujuan utama. Tidak hanya itu, pesan singkat dari lelaki bermarga Huang mengenai foto tersebut pun jadi incaran. Ia menghapus semua tanpa tersisa, kemudian meletakkannya kembali, lalu pergi sebelum dipergoki oleh Doyoung.
Tak lama kemudian, Doyoung kembali. Ia berpamitan dengan Lucas dan berniat untuk pergi. Akan tetapi, panggilan telepon yang diterima Kun mengurungkan niatnya. Ia menjadi tertarik setelah mendengar jika laporan yang masuk merupakan kasus pembunuhan di salah satu apartemen tak jauh dari kantor polisi.
.
.