webnovel

Bertubi-tubi

Lisa saat itu sampai di kedai kopinya lebih awal. Ia mempersiapkan dan menata meja kursi yang ada disana. Lala menyusul datang dengan maticnya warna oranye.

"Mbak tumben datangnya lebih cepet dari aku ?" Lala bertanya sembari meletakkan tas pada laci meja disamping kasir.

"Iya, lagi semangat aja kesini."

"Lagi bahagia ni kayanya?"

"Widi belum kelihatan ya?"

"Em, katanya dia hari ini izin mb. Mengantar ibunya ke rumah sakit."

"Lhoh, emang ibunya sakit apa La? Kenapa dia tidak bilang langsung ke aku?"

"Aku juga belum tahu mbak. Soalnya tadi siang dia chat bilang kalau mau anter ibu ke rumah sakit dan tidak bisa kerja dulu gitu." Jelas Lala dengan sedikit mengiba.

"Semoga lekas diberi kesembuhan untuk ibunya Widi."

"Aamiin."

"Oh iya, aku mau cerita nih kalau aku punya tetangga baru." Lisa menghadap ke arah Lala dan mulai bercerita dengan serius.

"Wah, sekarang nggak kesepian donk mbak. Cowok ya tetangganya? Ganteng ? Masih single kan ? Uh,, pasti kalian bakal cinlok deh. hihihih."

"Dengerin dulu napa ! Belum juga selesai ngomongnya."

"Iya, iya mb. Cepat ceritakan ! Aku akan dengarkan dengan senang hati."

"Tetanggaku itu cowok, namun sepertinya dia sedang tidak baik saja. Malam itu ia ditemani laki-laki berjumlah lebih dari lima orang. Mereka pulang sekitar jam setengah 10 an."

"Wah, rame donk sebelah rumah mbak. Banyak cowok gitu."

"Iya, cuma malam itu ketika dia pindah ke rumah sebelah. Tapi, kamu tahu tidak apa yang terjadi keesokan harinya ?"

"Ahay, ,aku tahu. Mbak dan cowok itu tidak sengaja saling ketemu kan. Pandangan pertama yang memabukkan, hahaha." Jawab Lala dengan percaya diri.

"Kamu itu, salah tau. Aku ketemu dengan dia waktu jogging keliling desa. Dia di pinggir sungai sedang membuang sesuatu. Setelah itu dia berteriak menyebutkan satu nama "RASYA". Entah, tapi dia terlihat menangis dan berusaha melupakannya."

"Ternyata, galau itu namanya mbak. Mungkin rasya itu ceweknya, dia ditinggal nikah atau ceweknya selingkuh."

"Negatif terus yang dipikirin. Ya, pokoknya pertama aku tahu dia pas itu. Aku belum lihat jelas wajahnya. Hanya dia terlihat tinggi, kekar, dan suara yang macho gitu."

"Semoga bisa berjodoh dengan mbak."

"Ih, ngomong apaan sih kamu. Cubit ya." Sembari mencubit kecil lengan Lala.

"Ampun mbak. Maaf aku cuma bercanda."

Mereka yang sejak tadi asyik ngobrol membahas Gery kemudian berhenti karena ada pengunjung yang memesan kopi. Lisa memperhatikan wajah pengunjung itu. Sepertinya dia pernah melihat sebelumnya. Ia mencoba mengingat dan sejenak memejamkan mata.

Lisa teringat sebuah foto yang ia lihat di dalam mobil jeep milik lelaki malam itu. Mereka berdua memakai jas terlihat serasi dan tersenyum. Namun kali ini ia datang bersama wanita.

"Sepertinya aku juga pernah bertemu wanita itu. Tapi dimana ya? Pria itu sama persis dengan pria yang ada di foto yang kemarin aku lihat."

"Aku pernah bertemu dengannya waktu di Purwanto Mall. Oh ya, aku ingat. Waktu itu aku kan ingin mengambil sebuah tas untuk bapak, tapi wanita itu juga mengambilnya. Kami jadi rebutan dan membuat suasana disana menjadi gaduh. Datanglah pria itu melerai kami. Mereka cocok sih, tapi kelihatan lebih muda si pria." Gumam Lisa dengan memperhatikan baik-baik wajah kedua pengunjungnya.

Lisa masih berpikir tentang lelaki yang kemarin malam datang dan pria yang saat itu bersama wanita itu. Mungkin mereka bersaudara. Selain mirip, dia juga wangi seperti lelaki itu. Lisa mencium aroma parfum ketika ia mengantar kopi pesanan keduanya.

Lisa memperhatikan Lidia dan Irawan dari jauh. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih. Waktu itu memang Irawan mendapat jatah libur dan kebetulan Gery bilang ke Lidia bahwa dia ada urusan di luar kota beberapa minggu kedepan. Mereka berdua bisa leluasa bertemu dan menghabiskan waktu bersama.

Gery merupakan korban dari ulah keduanya. Dikhianati kekasih dan keponakannya sendiri. Ia tak sadar bahwa selama ini telah dibohongi. Hal tersebut ia tahu dari kiriman foto sahabatnya.

Mahesa, teman SMA yang memiliki hobi sama seperti Gery. Dia sedang memilih milih kaos sepakbola di sebuah toko milik Prasetyo yang juga merupakan teman Gery. Toko dengan ukuran 9 m x 10 m itu lengkap dengan peralatan olahraga. Mulai dari pakaian, sepatu, pelindung kaki, bola, raket dan alat-alat olahraga lainnya. Mahesa biasa kesana bersama Gery, namun waktu itu Gery sedang menginap dirumah saudara sepupunya.

Mahesa yang asyik memilih kaos sepakbola merasa mengenal suara seorang lelaki yang juga berkunjung ke toko itu. Ia perhatikan namun tidak mencari sumber suara tersebut.

"Mbak, kamu pilihin buat aku ya sepatu yang kalo dipake jadi nambah gantengnya !"

"Kamu kan udah ganteng, pake sepatu apapun pasti ganteng. Apalagi kalau sepatunya ngejreng, nanti pasti banyak yang terpesona."

"Cukup mbak aja yang terpesona, lainnya nggak usah."

"Warna biru keren juga ni. Coba dulu gih." Lidia memilih sepatu bola berwarna biru muda dan memberikannya pada Irawan.

"Suara Lidia, kekasih Gery. Kenapa dia disini bersama Irawan? Bukankah Irawan keponakan Gery?" Pertanyaan yang muncul dalam benak Mahesa. Namun mahesa berusaha berpikir positif dengan mengira keduanya jalan atas izin dari Gery. Dia segera mengeluarkan ponsel dan mengambil gambar keduanya.

"Ger, hari ini toko Lidia buka nggak ya?"

"Hari ini tutup Sa, tadi dia bilang mau pergi cari baju santai sama temen ceweknya. Lo mau ke toko Lidia?"

"Em, sebenernya iya sih, mau cari kipas angin buat ibu'. Tapi ya sudah, bisa lain waktu juga."

"Sepertinya tadi aku melihat Lidia di toko Prasetyo." Mahesa memberikan bukti foto Lidia bersama Irawan sedang memakai sepatu bola.

Gery yang melihat foto kiriman itu sebenarnya tak mempercayainya, namun ia perhatikan dengan cermat. Memang itu Lidia dan Irawan. Padahal ia tahu Irawan bilang padanya sedang tidak enak badan. Gery mengajaknya menginap ke rumah sepupu namun ia tidak bisa. Apakah ada sesuatu di balik ini semua.

"Oh, itu mungkin mereka bertemu di jalan tadi. Karena Irawan bilang sedang tidak enak badan, bisa saja mereka ketemu ketika Irawan sedang mencari obat dan Lidia sudah selesai jalan dengan temannya."

"Bisa saja Ger, sebaiknya kamu hati-hati dengan mereka ya. Aku rasa ada yang aneh dengan Lidia dan Irawan."

"Siap, terimakasih infonya Sa."

Mahesa yang sejak tadi memperhatikan dari jauh bisa merasakan bahwa ada sesuatu di balik mereka. Keduanya seperti menjalin sebuah hubungan. Walaupun panggilan mereka biasa saja. Tetapi perlakuan dan perkataannya jauh dari kata saudara. Dia curiga kalau keduanya mengkhianati Gery.

Di lain waktu, Gery juga menerima kiriman foto dari Bukhori teman pengusahanya yang memiliki toko pakaian di pusat kota. Bukhori menikahi kakak perempuan dari Irawan. Malam itu ia sedang berada di sebuah book store mencari buku bacaan bersama istrinya. Ia mendapat telepon dari kawan lamanya dan mencoba menjauh dari tempat istrinya. Justru dari sana Bukhori melihat pemandangan yang membuatnya membuka mulut karena tercengang.

Bukhori menerima telepon dengan melihat ke arah Lidia dan Gery yang asyik menyantap makan malam mereka. Mereka berada tepat di sebrang depan book store yang di kunjungi Bukhori. Bukhori tahu betul kalau Lidia adalah kekasih Gery. Irawan sendiri adalah adik dari istrinya. Ia juga mencium gelagat aneh dari keduanya. Sesekali Irawan menyuapi Lidia lalu keduanya saling melempar senyum. Sungguh pemandangan yang membuat pikirannya tak bisa berprasangka positif.

Bukhori mengabadikan gambar mereka berdua. Ia tak habis pikir adiknya yang ia sangka baik dan pendiam itu berbuat demikian. Lidia adalah wanita pekerja keras dan sudah menjalin hubungan dengan Gery nyatanya juga tak sebaik yang ia kira. Sembari menggelengkan kepala Bukhori menyuarakan isi hatinya.

"Mereka sudah kelewatan tega melakukan ini, aku akan jadikan ini bukti kalau kalian menyembunyikan semua ini dari Gery."

Gery menerima foto itu dengan perasaan yang hancur. Ia tak menyangka bahwa Lidia dan Irawan pergi bersama untuk makan malam. Ia mencoba menghubungi keduanya namun nomor tidak aktif. Ini sungguh jauh dari dugaan Gery. Lidia memang gadis yang pandai bersandiwara. Ia selalu memberi alasan yang masuk akal kepada Gery. Ia mulai memainkan logikanya. Setiap Irawan pulang dari Kalimantan, Lidia memang sulit dihubungi dan di ajak ketemuan. Sedangkan Irawan, ia juga selalu menolak jika Gery mengajaknya main bola.

"Apakah ini yang kalian lakukan dibelakangku? Sungguh memalukan. Dua insan yang sedang dimabuk cinta."

Gery tidak serta merta membongkar hubungan antara Lidia dan Irawan. Dia masih bertingkah seperti seorang yang tidak tahu apa-apa. Irawan yang pernah ia percaya untuk membantu ketika penjualan sapi, nyatanya menusuk dari belakang. Gery waktu itu menyuruh irawan untuk mencatat berapa ekor sapi yang berhasil terjual dengan menghitung keuntungan yang diperoleh. Gery juga berharap suatu saat Irawan dapat mengikuti jejaknya menjadi seorang peternak sapi.

Setahun berselang, Irawan berhasil membalikkan keadaan. Peternakan yang dibangun susah payah hingga Gery memiliki hampir 100 sapi dengan 25 pekerja, harus jatuh ke tangan keponakannya sendiri. Gery tak pernah menyadari hal itu hingga ia menemukan sendiri berkas-berkas di dalam lemarinya. Sungguh licik, bertolak belakang dengan casing yang ia tonjolkan. Ramah, tampan, tinggi tegap, wangi dan menawan. Gery belum mau membongkar dua kebohongan itu. Dia masih sama menjalani hari-harinya, ia menunjukkan kepada Lidia dan Irawan seperti belum mengetahui rahasia mereka.

Sampai akhirnya ia lelah dengan kebohongan yang juga ia tunjukkan. Rasya, nama yang disodorkan Irawan menjadi alih-alih kebohongannya. Berkat nama itu Gery mau menandatangani sebuah surat. Surat yang entah apa isinya, namun ia sudah percaya dengan keponakannya. Karena nama itu pula, hilanglah kepemilikian peternakan sapi yang ia gadang-gadang. Harapan dan bayangan manis yang ia rasakan di depan mata, harus berakhir pahit bagai jelaga.

Gery memutuskan pindah ke sebuah desa yang jauh dari kota, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk suasana kota. Ini semua ia lakukan untuk mengobati luka yang menghamtamnya. Seakan ingin membalas perbuatan Lidia dan Irawan. Gery tersenyum sinis dan mulai mengambil sebuah pena. Ia menuangkan apa yang ada dalam benaknya. Menggambar sebuah jembatan lengkap dengan gubug berada di pinggir sawah. Ia hias semenarik mungkin dan ia mulai menyusun sebuah rencana.

*

*

*

*

Kasian sekali Gery, sudah diselingkuhi, diambil pula usaha yang sudah dirintisnya. Kamu tak boleh berdiam diri Ger, janganlah mau menjadi kaum yang tertindas. Lidia dan Irawan berhak menerima balasan atas perbuatan yang mereka lakukan itu. Semangat Gery ! ..

Chương tiếp theo