"Duhh mesranya," ujar Ameera dengan pandangan yang lurus kedepan. Hal itu membuat Barra yang duduk di depannya segera menoleh ke belakang untuk mengikuti arah pandang perempuan berambut ikal itu.
"Kalian! Aku sedang membicarakan tentangmu dan perempuan itu!" sentak Ameera yang membuat Barra segera mengangguk karena baru mengerti.
"Dia kekasihmu kan? Kalian sudah berapa lama bersama? Kenapa kalian selalu mesra? Apakah ada resepnya?" pertanyaan Ameera bertubi membuat Barra urung untuk menyuap makanannya.
"Kenapa kamu sangat ingin tahu?" Barra segera menyuap makanannya tanpa mempedulikan ekspresi Ameera yang kembali kesal dengan responnya.
"Aku adalah konsultan hubungan asmara, jadi aku perlu tahu tentang tips keawetan hubungan dari seseorang," jawab Ameera agak kethus.
"Kamu konsultan? Bukankah seharusnya kamu yang memberikan tips? Kenapa kamu malah meminta tips? Kamu konsultan atau orang yang sedang membutuhkan … cinta?"
Ameera terdiam. Sial, baru juga memulai pembicaraan lelaki itu sudah kembali membuatnya kesal.
"Aku konsultan. Aku punya banyak tips, namun aku ingin mendengar dari orang yang berbeda, pasangan yang berbeda. Karena mereka pasti akan memiliki cara mereka sendiri untuk mempertahankan hubungan."
Barra kini memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Dia menatap mata Ameera saat berbicara panjang lebar.
"Kuncinya ada satu, yaitu nyaman. Jika kamu nyaman dengan dia, maka hubungan akan bertahan lama. Namun jika rasa nyaman itu sudah tiada, maka bersiaplah untuk terluka."
"Kalau begitu kamu pasti sudah sangat nyaman dengannya. Nampak sekali kalian sangat menyayangi satu sama lain dan saling percaya," ujar Ameera yang seolah menerawang hubungan antara Barra den Sesil.
"Kami? Aku dan Sesil? Tidak."
Ameera menatap lelaki itu lekat.
"Hubungan kami adalah hubungan yang saling menguntungkan. Itulah alasan kami bersama."
Hampir saja Ameera tersedak saat minum. Kalimat Barra terdengar seperti kalimat yang biasa ia katakan pada diri sendiri saat ada seseorang yang hendak menyewa jasanya. Saling menguntungkan? Itu tidak terlalu buruk.
Saat keduanya kembali hening, sibuk dengan pikiran masing-masing tiba-tiba ada seorang bocah yang berlarian menabrak Ameera dari belakang.
Bruk!
Bocah tu terjatuh. Refleks, Ameera segera bangun dan menolong bocah itu. Dengan sentuhan, tentu saja itu membuatnya mematung sejenak.
Ameera melihat hal yang akan terjadi pada anak itu. Sebuah mobil melaju dengan kencang lalu dia berlari ke jalanan dan … Ameera terkesiap dia segera mencari-cari bocah yang tadi ia tolong.
"Ada apa?" tanya Barra yang melihat kepanikan di wajah Ameera.
"Bocah itu dalam bahaya, dia harus segera berhenti berlari." Ameera segera mencari bocah itu, bocah laki-laki memang sangat lincah. Dia berlarian berkejaran dengan beberapa teman yang lainnya.
Ameera menuju jalanan yang tadi ia lihat di bayangan saat memegang si bocah. Dia menghalau semua mobil untuk memperlambat laju mereka.
Barra melihat dari kejauhan, dia merasa bingung namun tidak ingin menghentikannya.
Masih dari kejauhan, Barra melihat bocah yang tadi menabrak Ameera berlarian menuju jalan ramai. Disaat yang bersamaan muncul dari arah yang berlawanan dengan Ameera, sebuah mobil berwarna hitam dengan kecepatan yang tidak seharusnya di tempat ramai.
Segera saja perempuan itu, Ameera, sambil meneriaki si bocah agar minggir dia menyuruh si pengemudi untuk meninjak rem.
"Awas! Berhenti!" teriaknya sambil berdiri di tengah jalan dnegan merentangkan kedua tangannya.
Barra melesat segera menghampiri Ameera yang terengah di tengah jalan. Beruntung, pengemudi mobil itu menginjak rem dan berhenti tepat di depan Ameera hanya berjarak sekitar lima centi.
"Apa yang kamu lakukan?" tarik Barra membuat tubuh Ameera merapat pada dirinya. Dia dapat merasakan jantung berdetak kencang, ia yakin ini jantung Ameera karena detakannya berbeda, detakan yang seolah berani mati untuk sesuatu.
Ameera menatap Barra lekat-lekat, dia dapat melihat lelaki itu sangat marah namun mengkhawatirkan keadaanya.
"Bocah itu. Aku melihatnya tertabrak mobil dan mati," gumamnya agak terbata. Napasnya masih tidak teratur dengan peluh yang membasahi dahinya.
Barra menoleh pada bocah yang terjatuh tepat di belakang Ameera berdiri merentangkan tangan tadi, dia telah diajak ke pinggi oleh beberapa orang disana. Sementara itu, pemilik mobil telah turun dan menghampiri Ameera.
"Aku … maaf, tapi tadi aku sedang mengantuk dan tidak fokus. Kurasa kamu menyelamatkan bocah itu dengan nyaris mengorbankan dirimu. Aku sungguh minta maaf tetapi juga berterimakasih." Seorang pria dewasa dengan pakaian seragam sebuah kantor penyiaran berkali-kali menundukkan kepalanya kepada Ameera karena menyesal.
Ameera hanya mengangguk, dia tidak dapat mengatakan apapun.
Pria itu hendak memberinya uang sebagai tanggung jawabnya, dia juga mengatakan kalau dia memberikan beberapa untuk bocah tadi karena dia juga merasa bersalah.
"Tidak perlu, Pak. Aku cuma tidak ingin hal ini kembali terjadi. Hati-hati, Pak. Jaga fokus anda." Ameera tersenyum, lalu dia berjalan kembali menuju kursi tempatnya tadi duduk dan makan.
Tubuhnya masih gemetar. Barra segera memberinya air mineral agar dia kembali netral. Barra masih belum mengajaknya bicara lagi, dia hanya membiarkan perempuan itu terus minum dengan tatapan kosong.
Teza dan Sesil kembali, mereka nampak tertawa bersama dengan candaan yang entah apa itu. Fokus Barra tidak lagi terarah pada 'Perempuan 1'. Kini dia mengkhawatirkan perempuan yang lain, yang sedang duduk di depannya.
"Kamu tidak menghabiskannya?" tanya Teza pada Ameera mengenai makanan Kokoleh yang masih tersisa setengah di piringnya.
Perempuan itu menggeleng dengan senyumnya, "Aku sudah kenyang, Kak."
"Baiklah, aku yang akan menghabiskan." Teza meraih piring milik Ameera dan segera melahap setengah dari makanan itu.
"Kenapa kamu berpeluh begini? Kamu sakit? Atau disini terlalu panas untukmu?"
Teza memandangi Ameera dangat dalam, dia segera mengeluarkan sapu tangan yang menyeka peluh di dahi Ameera.
"Aku hanya ingin pulang," ujar Ameera dengan suara yang lebih lemah dari sebelumnya.
Teza menyetujui itu, dia segera mengajak perempuan itu untuk pulang segera. Sesil berdiri hendak mengatakan kalau mereka bisa pulang bersama, namun Barra menarik tangannya dengan sigap hingga menahannya untuk mengatakan apapun.
Sesil sangat marah dengan Barra. Dia mengatakan kalau Barra tidak profesional dalam bekerja.
"Aku sudah membayarmu untuk ini, kenapa kamu mengacaukannya! Aku memintamu untuk menemani agar aku dapat kembali menarik hatinya, bukan memintamu untuk berperan sebagai kekasihku! Kamu kenapa seperti ini?" sesil terus mengomel hingga mereka naik mobil saat hendak pulang.
"Bukannya kalian tadi mengobrol banyak? Aku hanya makan tidak mempedulikan kalian. Kalian juga pergi ke toilet bersama, apa kamu tidak memanfaatkan kesempatan itu?"
Sesil diam, dia masih sangat marah hingga tidak ingin berkata apapun lagi.
"Apa dia meresponmu dengan baik? Kurasa iya, karena itu memang sifatnya. Dia ramah kepada semua orang terutama perempuan. Apa dia memberimu perhatian? Kurasa jawabannya juga iya, karena lagi-lagi itu memang sikapnya. Tapi apakah kamu bisa membedakan mana kebaikan dan perhatian yang tulus, mana kebaikan dan perhatian yang hanya karena menghargai lawan bicara?"
Barra kali ini banyak bicara dengan perempuan di sampingnya. Sesil mematapnya tak bereaksi.
"Kamu melihat dia bersikap manis dengan perempuan tadi? Kamu bilang mereka kakak beradik, namun aku merasa tidak. Ada hal lain di dalam hati keduanya namun ada hal lain pula yang menahan mereka untuk saling mengungkapkan. Tolong jangan terlalu egois, jangan terlalu mengedepankan perasaanmu. Kamu perlu melihat semua kejadian dengan logikamu. Maka kamu tidak akan kembali terluka."
***