Di sebuah rumah mewah di kawasan perumahan elit, Altezza sedang menikmati tidur malamnya dengan tenang. Dia menyalakan musik klasik di sudut ruangan dan menyalakan lilin aroma terapi di sudut ruangannya yang lain. Dia terlelap di atas sofa saat dia baru selesai mandi dan menikmati makan malamnya yang diantar oleh pelayan ke kamar.
Piyama panjang berwarna navy menyelimuti tubuhnya. Pendingin ruangan telah dimatikan oleh pelayan, karena dia tahu kalau tuan mudanya itu tidak menyukai pendingin ruangan saat tidur. Terpejam dengan sangat tampan. Rambutnya yang telah kering dengan sendirinya sedikit menutup bagian dahinya karena mulai panjang.
Dia tinggal sendiri, sebagai anak dari Gubernur dia tidak suka jika tinggal bersama sang ayah yang selalu saja sibuk dengan urusan diplomatik. Selain itu, istri muda sang ayah yang sangat tidak ia senangi adalah satu alasannya yang lain. Wanita itu masih sangat muda, yang menurutnya sangat tidak cocok untuk menggantikan posisi almarhum ibunda tercinta.
Di atas meja di dekat tempat tidur, terpampang sebuah foto keluarga yang merupakan foto terakhirnya bersama sang ibu sebelum kecelakaan mengerikan itu terjadi. Foto keluarga saat ulang tahunnya yang ke sepuluh.
***
Saat itu Al baru pulang sekolah dengan dijemput oleh supir keluarga. Mulanya dia kesal karena di hari ulang tahunnya ayah dan ibu tidak ada mengucapkan apapun padanya, bahkan mereka bersikap seolah lupa dengan hari spesial baginya itu.
Ternyata kedua orang tuanya telah menyiapkan sebuah pesta yang sangat meriah untuknya di rumah yang dihadiri oleh banyak kerabat dan teman. Tentu saja itu adalah kejutan yang luar biasa untuk Al yang masih mengenakan seragam putih merah.
Dia sangat antusias dan berterimakasih kepada kedua orang tuanya yang ternyata tidak melupakan hari ulang tahunnya itu. Al memang anak tunggal, ibunya sudah sering konsultasi ke dokter namun tetaplah takdir menginginkan Al menjadi anak satu-satunya.
Selesai merayakan pesta, mereka semua mengambil gambar bersama. Saat berfoto bersama ayah dan ibu, Al berada di tengah dengan tawa ceria yang sungguh tak bisa diungkapkan dengan kata-kata betapa senangnya ia hari itu.
Keceriaan Al tidak memudar walau setelah pesta kedua orang tuanya harus pergi ke luar kota untuk urusan politik. Dia memeluk ibunya dengan sangat erat saat kedua orang tuanya pergi dengan diantar supir.
Masih dalam keadaan yang berbahagia, Al mengumpulkan semua kado ditemani oleh beberapa sepupu juga pelayan. Bahkan ia hingga tertidur ditemani segunung hadiah mewah dari keluarga dan kerabat.
Seorang pelayan senior yang disebut sebagai ayah kedua Al, pak Hando, mendapatkan kabar duka dari pihak bandara yang mengatakan kalau pesawat yang ditumpangi oleh keluarga Gubernur mengalami kecelakaan karena cuaca buruk. Pak Hando belum mengatakan hal itu pada tuan mudanya, dia memastikan kabar terbaru terlebih dahulu.
Sudah agak senja, pihak berwajib kembali menghubungi dan mengabarkan kalau pak Gubernur selamat namun ibu meninggal. Masih belum berniat mengabarkan pada tuan muda, namun ternyata Al yang baru bangun tidak sengaja mendengar semuanya saat ia hendak mengambil air minum di dapur.
Tring!
Sebuah gelas yang berisi air penuh terjatuh dari tangan Al yang bergetar hebat. Air matanya bercucuran dan tubuhnya terjatuh lemas. Pak Hando segera memanggil beberapa pelayan untuk membawa Al ke kamar dan menenangkannya.
Pak Hando, menjadi sosok yang sangat melindungi Al. Dengan selalu mendampinginya di setip waktu, pak Hando berhasil membuat Al kembali pada pikiran yang benar. Dia terlalu lama menangis hingga pucat dan kadang dia pergi ke balkon dengan mengatakan pada pak Bano ingin menyusul sang ibu.
Dia bahkan tidak pergi ke pemakanan karena dia terlalu terpukul dengan keadaan. Dia pergi ke Rumah Sakit hanya sekali saat ayahnya sudah sadar.
Berselang dua tahun.
Ayahnya menikahi seorang pegawai negeri yang masih muda untuk dijadikan ibu sambung untuk Al. Walau Al diam, sebenarnya dia sangat menolak hal itu hingga lulus sekolah putih biru. Lalu dia memutukan untuk hidup sendiri saat putih abu-abu hingga saat yang tidak ia tentukan.
***
"Argh! Mimpi itu lagi!" geram Al yang terbangun dari tidurnya. Sebuah mimpi buruk selalu menghantui lelaki itu, tekanan mentalnya di masa lalu masih sering kembali terulang dalam mimpi, membuatnya selalu membutuhkan ketenangan.
Terbangun, dia sandarkan tubuhnya pada sofa. Diraihnya bungkus rokok dan menyalakannya. Sambil terus bersandar, Al menghisap dan mengepulkan asap dari mulutnya dengan tenang.
Pandangannya kini terarah pada foto keluarga di dekat tempat tidurnya. Sudah sangat lama, namun dia masih dapat merasakan kepedihan itu.
"Berapa tarif perempuan itu perjam hingga berani menggantikan posisi ibu?" gumamnya geram.
Al selalu berpikiran kalau ibu tirinya itu adalah perempuaan sewaan seperti Ameera, namun dengan tarif yang sangat mahal sehingga dapat hidup selama bertahun-tahun dengan orang yang menyewanya.
Dia sedikit memijat kepalanya, diletakannya puntung rokok lalu dia meraih kaleng mnuman di mejanya lalu menegak isinya hingga habis hanya dalam hitungan detik.
Yah begitulah kehidupan Al yang kacau. Dia tidak pernah mengerjakan tugas kuliahnya, hanya sesekali saat dia ingin menyewa Ameera.
Baginya, Ameera masih sedikit berharga dibanding ibu tirinya karena tidak hanya disewa untuk dijadikan pacar palsu, perempuan itu dapat disewa untuk dijadikan tutor dan teman belajar.
"Apa aku harus menyewanya untuk keperluan yang lain?" pikirannya mulai meracau. "Jangan. Dia bukan yang seperti itu, kuyakin." Al kembali memijat kepalanya yang mulai pening.
Drrttt Drrtttt Drtttt
Ponsel Al bergetar, namun pemiliknya masih sangat malas untuk mengambilnya karena diisi daya di dekat tempat tidur.
Hingga terus bergetar untuk yang kesekian kalinya, barulah Al berdiri dan menghampiri ponselnya itu.
Livia.
Begitu nama kontak yang muncul saat Al mengecek lima panggilan tak terjawab.
"Al, apa kamu sudah tidur. Aku baru saja tiba di bandara, awalnya ingin memberimu kejutan tapi disini sangat sepi. Bisakah kamu menjemputku?"
Isi pesan dari Livia.
Tanpa basa basi lagi Al segera berganti pakaian dan pergi ke bandara dengan mengendarai mobil sportnya kencang. Dia bahkan melupakan ponselnya yang masih diisi daya, hanya bergegas karena sangat ingin bertemu dengan perempuan yang sangat dicintainya itu.
Begitulah Al. Dia sering ceroboh untuk hal semacam ini. Dia hanya mengutuki dirinya sendiri karena melupakan ponsel yang seharusnya menjadi alat untuknya berkomunikasi dengan Livia itu.
Al menginjak gas dengan tidak memperhatikan lagi kanan dan kiri. Butiran gerimis ditabraknya tak peduli kalau ada orang atau siapapun yang mungkin saja akan terkena cipratan air dari mobilnya.
Sudah sangat larut, dia sangat mengkhawatirkan Livia.
Sesampainya di bandara dia langsung berlari menuju area kedatangan. Tidak ada perempuan yang ia cari itu. Hanya tinggal beberapa penumpang yang masih menunggu jemputan.
Al bertanya pada salah satu petugas, mereka bilang tidak ingat semua wajah karena sangat banyak penumpang yang turun dari pesawat terakhir tadi.
Sementara itu di lain tempat.
Livia, telah tiba di hotel dengan sebelumnya dijemput oleh seorang pria yang juga baru mendarat di Banjarmasin pada pukul 9 malam.
***