Kantor Kepolisian Seoul Unit Investigasi Kriminal 1.
Beberapa polisi dengan pakaian seragam tengah keluar masuk dari kantor polisi itu, kantor polisi dengan beberapa lantai bertingkat.
Mobil-mobil terparkir di sana, berjijir di parkiran. Baik itu mobil pribadi atau mobil dinas.
Beberapa orang pengunjung terlihat tengah duduk di kursi tunggu, sambil menatap petugas yang berjaga di meja resepsionis.
Berbeda dengan kantor polisi di Indonesia, kantor polisi di negara itu begitu mewah, dan tidak terlihat kesan seram di sana. Suasana begitu riuh di dalam ruang unit investigasi, ada beberapa orang yang tengah di interogasi di ruangan itu.
Noey hanya melewati, dan masuk ke dalam ruangan tim mereka yang sedang sibuk mencari pelaku Pembunuhan itu.
"Aku mendapatkan rekaman dari kamera tersembunyi, tolong di Arsen," kata Noey sambil menyerahkan Flashdisk pada juniornya.
"Vedio?" tanya Ketua Tim.
"Iya, di ruangan itu terdapat kamera ternyata," kata Noey sambil duduk di mejanya, dan membaca berkas kasus kembali.
"Bagaimana ka..."
"Gadis Psiko itu yang menemukannya," kata Noey dengan ketusnya.
Mereka melirik ke arah Noey, ada rasa penasaran baru, selama ini pria itu tidak pernah mau membahas makhluk berjenis kelamin perempuan selain gadis itu.
"Hati-hati, karma. Banyak yang bilang benci jadi cinta,"
"Jangan terlalu membenci loh, Ra," sambung salah seorang seniornya.
"Nggak bakalan," kata Noey menolak percaya. "Siapa yang akan suka gadis yang seperti itu. Tsk! Hanya orang gila, dan pikirannya tidak benar yang menyukainya,"
Noey tentu tidak bisa melupakan gadis yang telah menjajah hatinya, bahkan mereka telah di karuniai seorang putri. Karena itu, dia menolak untuk percaya.
Aliran kehidupan, benci jadi cinta, dan cinta jadi benci bukan lagi rahasia, namun telat menjadi rahasia umum di kalangan umat manusia.
Siklus itu terus berputar, silih berganti. Tidak pernah ada yang bisa lari dari hal itu, dan itu telah menjadi hal yang telah di garis bawahi akan terjadi.
Bukankah tidak baik? Menilai seseorang dari sampulnya? Semua orang butuh sampul untuk melindungi diri, seperti isi buka yang melindungi dirinya dengan sampul yang tebal.
Begitu menarik cover, dan tidak menariknya, tentu banyak orang lain terkecoh dengan hal itu. Mata manusia tidak selamanya bisa memahami orang lain.
Bugh!
"Aaargggh..."
Suara pukulan terdengar, di sertai dengan suara teriakan panjang seorang wanita.
"Aku minta maaf," sebuah suara permohonan maaf terdengar. "Tolong, jangan bunuh aku. Aku minta maaf," kata suara itu lagi.
Samar-samar terlihat rambut panjang seorang wanita yang tampak lusu dan acak-acakkan. Di pipinya kini di banjiri dengan air mata, luka memar, dan darah akibat benturan di kepalanya.
Hanya isak tangis, rintihan, dan erangan kesakitan yang di berikan oleh wanita itu, serta pemintaan memohon nyawanya di ampuni.
Wanita itu memohon, sambil mengusap-usap tangannya seperti tengah kedinginan, namun sebenarnya tengah memohon.
"Aku minta maaf ... Ku mohon ..."
Tubuhnya di penuhi dengan luka sayatan, darah mulai mengalir dan menetes ke lantai. Tidak ada tenaga untuk berdiri, hanya bisa duduk melantai sambil memohon.
Pria di depannya tidak ada pengampunan lagi, terlihat begitu kejam, ketika menarik gadis itu untuk berdiri dan di benturkannya kepala gadis itu di dinding rak buku. Membuat rak buku itu bergeser.
Setiap pukulan, dan sayatan, di nikmati ya, sambil mendengarkan permohonan maaf lawannya itu.
Tidak ada suara yang keluar dari laki-laki itu, hanya tindakan brutal yang terlihat. Mengiris kulit manusia, membuat sayatan, sambil di rekam.
Dari tubuh gadis itu, terlihat darah mulai bercucuran ke lantai. Pria itu terlihat menikmati kegiatannya, hingga ketika dia bosan, pisaunya kini bermain indah di area Leher membuat wanita yang menjadi korbannya hanya bisa menegadah ke atas, membulatkan matanya.
"Pria ini gila, menyiksa dan membunuh. Bahkan menganggap korbannya seperti hewan," kata Arsen yang memperhatikan vedio rekaman.
Mereka yang menonton vedio itu, sungguh berani menyaksikan adegan pembunuhan tanpa adanya potongan vedio ataupun sensor. Vedio itu adalah Bukti.
Seorang pria tengah duduk berjongkok di sebuah ruangan, lantai kesekian sebuah Apartement megah kawasan Seoul, sambil bersiul, sebuah kain tengah di genggamannya olehnya dan mulai membersihkan darah yang telah membanjiri lantai, kemudian mulai perasnya ke dalam ember yang tidak jauh darinya.
Raut wajah yang tidak biasa di lihat dari wajahnya, nada siulannya terdengar agak aneh, memiliki sebuah maksud yang tersirat di dalamnya, entah itu sebuah kemenangan, penghinaan, rasa puas, dan sedih, serta dendam.
Setelah membersihkan darah, di lantai, dia menuangkan darah di ke buthtub yang terlihat seorang wanita yang tidak memakai sehelai benangpun, dan mulai di genangi oleh darahnya sendiri. Sayatan-sayatan di tubuh gadis itu begitu profesional, hingga menguras habis darahnya.
Lilin-lilin di atur dan di nyalakan. Seisi ruangan di hiasi dengan kelopak bunga mawar. Wanita itu pucat pasif, berada di bathtub. Warna air berubah warna menjadi merah karena bercampur darah, susu, dan juga air, sekitar bathtub terlihat lilin-lilin. Seseorang membersihkan tubuh wanita itu dengan lap, serta sebuah cairan.
Wajah wanita itu pucat pasif. Luka-luka di tubuhnya di jahit kembali dengan sangat pelan dan rapi.
Di buatnya seperti seorang pengantin, dengan balutan pakaian, bucket bunga, serta make Up, cat kuku.
Clek!
Sebuah pintu, dan sepatu, tengah di pakai dan di lepaskan secara bersamaan.
Noey tengah mengendong Momo masuk ke dalam rumah miliknya, sedang seorang pria lagi memakai jaket Hoodie miliknya.
Terlihat di pintu masuk dua pasang sepatu milik perempuan, dan juga terdengar suara gaduh dari arah dapur.
"Momo... Imo datang..." kata salah seorang gadis mengunakan hijab, seperti Awan.
"Kapan kau datang, apa kau..."
"Tentu dengan mama," kata gadis itu sambil mengambil putri Noey.
Gadis itu itu, hanya tertawa gembira melihat gadis yang akan mengambilnya dari gendongan ayahnya.
"Yak... Kau boleh menitipkan Momo padaku," kata gadis itu.
"Aku tidak ingin mengganggumu kuliah, Auris," kata Noey sambil melepaskan gendongan bayi, dan menaruh perlengkapan anaknya di sofa.
Auris, Noey memanggil adiknya dengan nama Auris. Gadis itu bernama lengkap Aurista, seorang dokter di sebuah rumah sakit dengan usia 25 tahun, masih berstatus residen.
"Jika kau berkencan, percayakan Momo padaku. Aku akan mengambil cuti untukmu,"
Noey menatap adiknya itu dengan sinis, dia tidak suka kata kencan. dia berbeda dengan adiknya, Adiknya mengikuti agama ayahnya, sedangkan dia mengikuti agama ibunya.
Walaupun, adiknya baru saja memutuskan untuk masuk agama ayahnya, setahun yang lalu.
Pernikahan beda agama sering terjadi di negara mereka.
"Kenapa persediaan makanan cepat habis sih," omel Ibu Noey ketika mengeluarkan kotak-kotak penyimpanan makanan yang di bawahkan olehnya kemarin.
"Memangnya aku ini bukan manusia, tidak makan? Jelas aku yang makan semua yang ada di kulkas itu,"
"Tapi, sebanyak ini,"
"Hmpt. Mengejar penjahat butuh tenaga, apa salahnya di buat lagi,"
"Ough..." ibunya mendesah karena kesal, sedangkan Auris terkekeh melihat tingkah ibu dan kakaknya itu.
"Susu Momo habis, Popok, tisu, bedak. Astaga, Noey..." lagi-lagi, ibunya mengomeli ketika melihat persediaan bayi tidak ada di sana. "Tidak bisa begini, kita harus berbelanja," kata ibunya sambil melepaskan celemeknya.
"Belanja? Jam begini?" tanya Noey yang melihat jam tangannya telah menunjukan pukul empat sore.
"Terus kau ingin pergi kapan?"
"Tapi, Momo?"
"Biar aku yang jaga Momo," kata Auris. Raut wajah kakaknya itu tidak biasa, "percayalah, aku tidak akan membuatnya patah," kata Auris meyakinkan.
"Huh!" Noey menghela nafas panjang. "Baiklah," kata Noey sambil mengambil jaketnya yang tadi di lepaskannya.
Hosh... Hosh... Hosh...
Sebuah nafas saling kejar-kejaran, memburu, membuat keringan dingin pada seorang gadis memakai penutup kepalanya.
Lagi dan lagi, kejadian yang sama selalu menghantuinya, kejadian yang membuat lupa tentang wajah pria itu. Awan, sepertinya tengah mengalami mimpi buru. Hingga seseorang mengetuk pintu mobil, dan membuatnya bangun.
Keringat dingin timbul di dahinya, nafasnya tersegal-segal padahal dia tidak sedang berlari.