Dua belas hari kerja ditambah tiga hari, telah terlewati. Hari ini, awal mula aku kembali bekerja. Berangkat ke kantor sama-sama, diantar sampai depan.
Sesampainya di dalam, harus siap dengan kata 'cie-cie' sepanjang jalan hingga ke ruangan. Hanya sekedar 'cie-cie' tanpa kado atau amplop, buat apa. Mereka banyak yang berhalangan hadir. Hanya beberapa saja dari ruangan admin yang datang, tapi tak apa, setidaknya, kalau nanti ada di antara yang kuundang dan tak datang, juga mengadakan acara, aku tidak punya keharusan untuk hadir. He he he, akal bulus yang kurang bagus.
Kalau kata emak-emak di warung, datang ke kondangan itu ibarat memberi hutang ke orang yang kita datangi. Jadi, wajib sebenarnya bagi orang yang kita datangi untuk menghadiri acara kita, jika diundang. Seperti itu. Bertele-tele ya, cara penyampaiannya, tapi mudah-mudahan bisa dipahami.
"Pengantin baru, gimana rasanya? Pasti pagi nich males banget ya berangkat ke kantor?" Cici, salah satu teman terdekatku di kantor, membisikan pertanyaan tersebut.
Aku langsung melengos, "Apaan?"
Cici malah tertawa, "Kenapa ekspresinya begitu? Pengantin baru, 'kan tiap hari penuh dengan kehangatan."
Ah, sudahlah. Pengantin baru sewajarnya memang iya, aku bukan termasuk kategori itu. Entah, rasanya masih gamang saja. Alan pun juga terkesan cuek, ia sama sekali tak pernah meminta apa pun padaku.
"Eh, aku pernah liat video si Aldo lho, mantan kamu itu. Ya Allah, captionnya, 'Ditinggal kawin, pas lagi sayang-sayangnya', dia kayak mengeneskan diri sendiri sih, apalagi lagu yang dia bawakan. Ya ampun, nggak banget, keliatan sekali dia masih cinta sama kamu." Cici bicaranya memang rada bisik-bisik, karena duduknya tepat di sebelahku.
Hanya Cici lho, yang tanggapannya negatif ke dia. Pernah iseng aku cek komentar di kanal youtubenya tentang video itu, hampir sembilan puluh persen, mengomentari prihatin pada nasibnya, lantas mengutuk diriku.
Aku mulai tak peduli, karena Alan juga terkesan abai, dan tak mau ambil pusing dengan kejadian tersebut.
"Dahlah, aku nggak peduli. Biarin aja."
"Kamu udah liat video itu 'kan? Banyak yang ngeshare, trus ada yang tag sama mention kamu juga, tapi kamunya cuek aja sih."
"Ya, buat apa kuladeni? Orang suamiku nggak terpengaruh juga dengan konten itu."
"Suami kamu udah tau, soal Aldo?"
Aku mengangguk, "Udah. Ayah ceritakan semua aibku ke dia."
Cici kembali tertawa, "Ya ampun, Ayah cerita semua? Mungkin supaya Alan bisa mikir dulu kali, ya."
Aku mengangkat bahu, mikir apa? Justru karena tahu si Aldo pacarku, makanya dia niat sekali menikung. Katanya permintaan Ayah, agar aku terselamatkan dari dosa maksiat. Astaghfirullah, mungkin iya, kadang ketika jalan berdua dengan Aldo, sesekali pernah sentuhan juga, meski cuma tangan saja. Namun, sudah cukup 'nyentrum'.
*
Sorenya, Alan bilang dia akan sedikit terlambat menjemputku. Tak apa, aku pergi saja dengan Cici ke mall dulu. Kuminta dia menjemput di sana nanti. Sudah lama tak cuci mata. Kebetulan Cici bawa mobil, suaminya sudah membebaskan dia mengemudikan kendaraan sendiri.
Kami masuk ke sebuah toko baju. Cici yang belanja, aku tidak. Hanya menemani saja, tapi kalau tertarik dengan sesuatu, ya, kubeli.
Setengah jam kemudian. Ya Allah, keluar dari toko itu, justru kantong belanjaanku yang banyak. Cici cuma satu, aku sampai tiga. Yang dibeli baju semua, modelnya sama, warna saja yang berbeda. Ya Allah, kenapa sifatku masih sama? Mubazir. Duh, setelah sampai di luar baru menyesal. Mau balik ke toko untuk mengembalikan beberapa potong yang sudah terbeli, malu. Nanti dikira apa.
Ah, sudahlah.
"Nad, aku tadi udah ingetin kamu, lho. Itu baju yang kamu beli dibedain semua dong, warna, modelnya juga. Kamu nggak peduli. Ini malah modelnya sama, warnanya aja yang kamu bedakan. Apa nggak mubazir itu?"
***