"Kalau emang bener mau tahu, ganti baju, sekalian aja ikut. Saya akan tunggu." Alan mengatakan padaku sambil berjalan menuju teras, lalu duduk di kursi yang terbuat dari anyaman rotan sintetis itu.
Padahal aku hanya ingin bertanya, tidak bermaksud hendak ikut pergi. Mau bagaimana lagi, terpaksa. Nanti dia bisa jengkel seperti tadi, kalau ditolak.
Setelah berpamitan dengan Ibu, kami pun pergi menuju sebuah kawasan, yang sebenarnya tak terlalu jauh dari rumah Ayah dan Ibu. Mobilnya tepat berhenti di depan sebuah rumah, yang berpagar tinggi, berlantai dua.
Modelnya minimalis, tapi terlihat asri dengan tanaman pohon palem yang berjejer di sisi kiri dekat garasi mobil, di sudut sebelah kanan dekat pagar ditanami pohon mangga. Tepat di dekat teras, ada susunan bunga melati yang dibentuk sedemikian rupa, terlihat rapi.
Di sisi kanan, dekat bangunan dua tingkat, yang didominasi kaca, terdapat pohon pinus. Di halaman depan yang tak begitu luas, dibuatkan semacam taman kecil, dengan susunan bebatuan alam, dan ditanami bunga-bunga cantik. Seperti bunga mawar, bunga kembang sepatu, bunga asoka tiga warna, bunga bugenvil.
Menurutku, ini cukup indah.
"Selama empat tahun belakangan, saya sudah mulai merancang bangunan ini, untuk saya tinggali dengan istri saya kelak. Namun, ternyata istri saya tidak menghendaki tinggal di istana yang sudah susah payah saya bangun untuknya."
Ya Allah, meleleh daku. Ia sudah mengajakku masuk ke dalam rumah indah ini. Tidak terlalu besar, karena ia dirikan di tanah yang tak terlalu luas. Namun, terlihat nyaman untuk ditinggali.
Duh, bagaimana ya? Kalau kondisinya seperti ini, siapa yang akan menolak. Apakah aku termasuk istri matre, gila harta kekayaan? Ah, rasanya tidak. Seperti petuah ayah, memberikan tempat tinggal yang layak untukku adalah kewajibannya. Jadi, ini merupakan bentuk tanggung jawabnya sebagai suami.
"Semua propertinya juga sudah saya lengkapi sebelum membawa istri saya ke sini. Sofa ini, lemari itu, perlengkapan di dapur. Semuanya sudah saya sediakan. Namun ...."
"Ssssttt."
Kuhentikan ucapannya.
"Istri saya, istri saya terus. Memangnya istri Bapak di mana? Di depan Bapak, 'kan?"
Gondok juga dengar dia bicara seperti itu. Seolah-olah sedang membicarakan orang lain kepadaku. Padahal yang dia sebut istrinya itu, aku.
Ia tak menggubris, malah memilih untuk duduk di sofa empuk berwarna silver. Sepertinya, rumah ini memang sengaja ia dominasi warna perak.
"Aa' suka warna silver?" tanyaku sambil melihat-lihat ke dapur, yang berada agak ke belakang.
Dia semula tampak tercenung, lalu mengangguk. Apa ini bentuk suatu keraguan? Kalau memang dia yang menyukai warna ini, seharusnya mengangguk dengan mantap. Ah sudahlah.
"Kamu suka?"
Dia menghampiriku, saat hendak menaiki tangga yang terbuat dari kayu, ketika menginjakkan kaki di atasnya, dingin sekali terasa.
"Suka," jawabku kembali menaiki anak tangga berikutnya.
Kami pun sudah berada di lantai dua, terdapat dua buah kamar tidur di sini. Di sudut ruangan, dekat kaca, juga terdapat sofa berukuran lebih kecil. Di bagian kakinya terbentang karpet beludru berwarna keemasan. Ada sebuah meja kerja juga. Beranda depan dilengkapi dengan tanaman yang digantung. Bunga-bunga menjuntai, ah, aku tak tahu apa namanya.
Meskipun siang, udaranya tetap segar. Mungkin karena pepohonan ini.
"Tapi, karena kamu menolak, mungkin rumah ini belum akan ditempati hingga batas waktu yang tak dapat ditentukan."
Aku langsung menoleh padanya. "Aku mau kok tinggal di sini berdua sama Aa'." Sambil tersenyum manis, kuucapkan kalimat persetujuan itu padanya.
Bola mata Alan melebar, seolah tak percaya dengan apa yang kuucapkan barusan.
"Bagaimana bisa berubah secepat itu keputusanmu? Belum lewat sehari lho."
"Aduh, aku tu tipikal orang yang maunya diskusi dulu, gitu lho. Kalau Aa' mau ngajak tinggal di sini, ya, Aa' bilang ke orangnya, jangan Ayah. Emangnya Ayah yang mau diajakin tinggal di sini. Nggak 'kan, nggak dong."
Sebenarnya aku malu, tapi demi mengikuti kehendak suami, biarlah kutebalkan muka ini, asalkan dia senang, dan aku pun senang, he he he.
"Iya, tapi waktu saya bicarakan soal ini, statusnya kamu masih gadis. Jadi, saya harus izin walimu dulu."
Ha? Jadi begitu.
"Kapan ini ngomongnya? Kok Ayah nggak cerita?"
"Saat Ayah meminta saya untuk menjadi suami kamu."
Ayah memang memintanya untuk menjadi suamiku. Benar-benar Ayah yang langka. Beliau membuat percuma hubungan yang kubina dengan Aldo selama bertahun-tahun. Ya sudahlah, tak ada guna disesali. Toh, ternyata suamiku ini bukan 'anu' seperti dugaanku. Ucapan yang pernah terlontar mengenai, lebih baik Aldo daripada Alan, resmi kutarik kembali.
Aku akan belajar untuk membuka hati dan mencintainya setulus jiwa dan raga. Sebab, jauh-jauh hari, ia pun telah mempersiapkan segala hal untuk membahagiakan istrinya, yang kebetulan adalah aku.
"Jadi bagaimana? Benaran kamu sudah mau tinggal di sini, sama saya."
Aku mengangguk mantap. "Tapi, banyak hal yang tak bisa aku lakukan, jadi Aa' harap maklum aja, ya."
"Apa?"
Bagaimana cara memberitahukannya? Aku sama sekali tidak pandai memasak. Juga tak pintar berbenah. Takutnya nanti dia marah dan mencampakkanku. Akhirnya, terbongkar sudah rahasia ini, alasan kuat kenapa aku tak sanggup berpisah dengan ayah dan ibu.
Aku masih bungkam, tak sanggup untuk mengutarakannya.
"Saya tahu. Kamu tenang saja, saya mencari istri, bukan pembantu. Jadi, nggak usah khawatir. Kalau kamu nggak bisa masak, kita beli saja, atau nanti biarkan saya yang memasak jika ada waktu."
Dukun kali ya, bisa menebak dengan tepat.
"Kok Aa' tahu?"
Alan tersenyum, manisnya.
"Ayah sudah cerita semua. Beliau dengan tulus ikhlas menyerahkan kamu pada saya."
"Kalau Aa' udah tau, kenapa tetap mau menerima pinangan Ayah? Atas pertimbangan apa Aa' lakukan semua ini?"
Sudah waktunya aku tahu isi hatinya. Kenapa ia tetap menerima perjodohan ini dan menikahiku? Padahal tahu, aku banyak kekurangan, sebagai istri, rasanya akan sangat jauh dari sempurna.
Sejenak kami berdua berada dalam keheningan. Angin sepoi-sepoi pun menyapa dengan lembutnya, membuai mata untuk terpejam. Meski dilanda rasa kantuk akibat hembusan angin ini, tetap saja kutahan, karena aku butuh penjelasan.
"Saya melihat ada kegelisahan di mata seorang ayah, yang sangat takut anaknya terus terjerembab ke dalam kemaksiatan. Seorang ayah, yang sepanjang saya mengenalnya adalah sosok sangat baik hatinya. Ia bercerita akan banyak hal, terutama tentang kekhawatirannya itu. Terlebih saat ingat, bahwa secara diam-diam, anaknya telah menjalin hubungan dengan seorang pria yang tidaklah halal untuknya."
Ayah menceritakan semuanya pada Alan. Ya Allah, malunya aku. Kenapa ia menggunakan istilah maksiat segala? Gaya berpacaranku dengan Aldo masih ada batasannya, kok. Tidak seperti yang lainnya, yang sudah sampai belah duren segala, padahal belum nikah.
"Ayah cerita apa aja sama Aa'?" Rasa penasaran dalam dadaku begitu menggebu-gebu. Aku ingin tahu prosesnya bagaimana, hingga kami pun bisa berakhir di pelaminan seperti ini.
"Kamu mau tahu banget?" tanya Alan seolah tampak menggodaku.
"Iya, pake banget," jawabku terkesan penuh harap.
"Tanya sama Ayah aja langsung."
Ia pun bergerak masuk kembali ke dalam dan meninggalkanku melongo sendirian di beranda rumah baru kami. Ceileh, rumah kami. Dia saja kali.
*
Saat diperjalanan pulang, Alan mendapat telepon dari seseorang. Rasanya mengganggu, karena dari mulutnya menyebutkan nama seorang wanita.
"Yani?"
Begitulah.
"Ya, ada apa, Yan? Saya sedang tidak di kantor. Mungkin bisa dengan Zydan saja urusannya. Bagaimana? Harus dengan saya? Tidak masalah kalau dengan Zydan, sama saja kok. Iya saya sedang menjalani cuti. Iya, alhamdulillah saya baru saja menikah...."
Poin ini yang penting, ketika seorang lelaki berani mengatakan pada wanita, entah itu temannya atau yang sedang mendekati, terlebih pada mantannya, kalau dia sekarang telah beristri.
"Siapa, A'?"
Ya Allah, aku barusan bertanya begitu? Betapa lancangnya mulut ini. Alan baru sedetik menutup telepon, dan aku dengan gaya sok 'ngistri' --istilah apa ini? Sudah bertanya langsung seperti itu padanya.
------------