webnovel

NIKAHI, BUKAN PACARI

Alan tidak mengajak Nada kemana-mana, mereka hanya keluar dan bicara di dalam mobil Camry Hybrid milik Alan, yang terparkir di halaman rumah.

Nada bahkan menelan saliva saat melihat kendaraan yang digunakan Alan untuk datang membawa serta keluarga ke rumahnya. 

"Ini mobil kamu?" tanya Nada gamang. Ia seolah ingin menarik lagi ucapan di dalam hati, saat minggu lalu di kantornya. Ketika dengan mudah, dirinya menyatakan jikalau Alan tertinggal jauh dari Aldo, yang telah memiliki mobil.

"Ya. Ini mobil saya," jawab Alan sambil tersenyum dan menekan remote control, untuk membuka pintu mobil. 

Nada agak sungkan naik mobil mewah itu, sebab, baru seminggu lalu ia menghina pemiliknya, walau pun diucapkan di dalam hati, tak ada manusia yang tahu, tapi Allah Maha Tahu. 

Nada sampai menepuk mulutnya sendiri dan berkali-kali minta ampun pada Allah, memohon agar jangan memberinya hukuman seperti ini. Ia tak ingin kualat, berjodoh dengan orang yang pernah disumpahi bahkan dikata-katai.

"Sebelumnya saya minta maaf, Mbak ... maaf, Nada. Saya tahu usia kamu empat tahun di bawah saya."

Alan membuka percakapan saat mereka sudah sama-sama berada di dalam mobil, AC kendaraan juga sudah dihidupkan, sehingga membuat suasana cukup nyaman, meski di luar cukup terik. 

Nada tersentak, ia tidak menyangka ternyata usia mereka terpaut cukup jauh -menurutnya, tapi, wajah Alan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda usia yang sesungguhnya. Ia pikir, Alan seumuran dengan dirinya dan juga Aldo.

"Oh, maaf, saya kira kita seumuran."

"Karena wajah saya terkesan masih muda ya."

Dengan malu-malu Nada mengangguk. Ia sebenarnya merasa sangat mau malah karena semua kejadian tak terduga yang sudah terjadi antara mereka. 

Alan tersenyum, "Terima kasih atas kejujurannya." 

Pemuda itu bahkan terkesan lucu saja melihat gelagat Nada yang seperti salah tingkah.

"Hmm, saya mulai saja. Ada banyak hal yang ingin saya katakan, tapi, waktu yang saya patok sendiri, mungkin takkan cukup."

Nada masih menunduk, ia belum berani menatap Alan, yang juga tak melihat ke arahnya. Pandangan pemuda itu justru lurus ke depan, melihat pohon-pohon dan tanaman yang di tanam Ibu Jaenab di pekarangan rumah mereka. 

"Sejujurnya, ini juga sulit buat saya, mengingat kita belum kenal satu sama lain. Tapi, saya juga nggak bisa menolak permintaan dari seorang Ayah, yang sudah sangat baik sama saya."

Alan masih sibuk menyusuri satu per satu bunga-bunga yang sudah bermekaran di teras rumah Nada. 

"Saya harap, kamu tidak keberatan atas pilihan ini. Anggap lah apa yang kita lakukan sekarang itu, bukti bakti terhadap Ayah kamu."

Alan seolah kehabisan kata-kata, ia sendiri tidak tahu inti dari pembicaraan ini sebenarnya apa. Yang dia tahu, saat melihat wajah sendu Nada di dalam sana, hatinya tergerak untuk mengajak keluar, menepi dari hiruk pikuk kebahagiaan keluarga di dalam sana, agar tak ada satu pun yang dapat melihat mendung di wajah cantik itu. 

"Mungkin lebih tepatnya, saya melakukan ini sebagai bukti bakti pada Ayah saya. Karena kamu, nggak ada kepentingan dalam hal ini."

Nada menjawab lemah, ia menunduk saja, sambil memainkan jari jemari. Pikirannya melayang pada Aldo. Jika saja yang berada di dalam mobil dengannya kini adalah Aldo, alangkah bahagianya. Ayah mengizinkan dengan terang-terangan mereka berada dalam satu mobil yang sama. 

"Saya juga punya kepentingan, karena sepeda motor kamu itu. Saya merasa punya hutang dengan Pak Abdul. Saya segan sebenarnya."

"Kalau begitu, kenapa nggak kamu katakan aja yang sebenarnya. Kamu nggak niat kan buat nikahin saya? Masa iya kamu mau menikah sama cewek, yang udah pernah bentak-bentak kamu, trus udah punya cowok lain. Kamu nggak buta kan? kalau saya udah punya pacar."

Nada memberanikam diri menengok ke arah Alan, yang masih saja memerhatikan keelokkan bunga-bunga yang tengah bermekaran di halaman rumah.

Mendengar ucapan Nada barusan, Alan jadi tertegun sendiri. Seharusnya, gadis sebaik dan terlihat sholehah seperti Nada tidak boleh melakukan hal itu. Kasihan Pak Abdul, kelak akan dihisab karena perbuatan putrinya, yang menjalin kasih dengan pemuda yang haram untuknya. 

"Saya tahu. Saya juga lihat," jawab Alan singkat. 

"Trus kenapa masih mau dijodohkan dengan pacar orang?" 

Pertanyaan dari Nada barusan membuat wajah tampan nan teduh milik Alan menoleh ke arahnya. Beberapa detik tatapan mereka bertemu, lalu Nada buru-buru menurunkan wajah, kembali menunduk.

"Saya rasa apa yang saya lakukan ini bukanlah sebuah dosa. Ayah kamu sendiri yang meminta saya untuk membantu kamu, menarik kamu keluar dari lembah dosa. Sebab kamu berada di dalam rengkuhan lelaki yang nggak gentle sama sekali. Berapa lama kamu dipacari tanpa ada arah untuk menikahi?"

Alan terdengar emosional saat menyampaikan hal ini. Ada rasa sesak di dalam dada kala mengetahui sikap laki-laki seperti itu. Dan malangnya, justru terjadi pada Nada, anak gadis Pak Abdul yang baik hati, sholeh dan juga sangat berwibawa. 

Perasaan Nada terluka mendengar ucapan Alan, yang menyebutkan bahwa Aldo bukanlah lelaki gentle.

"Lalu siapa yang gentle? Kamu?" sinis Nada melirik Alan dengan tajam. 

"Saya tidak bilang saya lebih gentleman dari pada pacar kamu itu. Namun, seorang laki-laki yang bermartabat, ia nggak akan hanya memacari perempuannya, dan membiarkan menunggu terlalu lama, tapi, memberi kejelasan, kemudian menikahi. Ingat kata kuncinya, nikahi, bukan pacari," tegas Alan seolah sedang memberi nasehat pada Reyna, adik perempuannya. 

"Kamu itu nggak ngerti masalahnya? jadi nggak usah sok bijak deh ngatur-ngatur saya."

Nada protes, ia tidak suka dengan cara Alan membiacarakan Aldo, meski apa yang dikatakannya adalah sebuah kebenaran. 

"Saya memang nggak paham sama sekali dengan hal seperti itu, sebab saya sudah lama meninggalkan hubungan yang menurut saya hanya buang-buang waktu, masa, dan perasaan."

"Kenapa kamu bicara seolah-olah merendahkan saya begitu!"

Entah dari mana ia mengambil sisi merendahkan? Nada sudah terlanjur sensi saja dengan arah pembicaraannya dengan Alan kini, sehingga apa pun yang keluar dari mulut Alan, merupakan sesuatu yang menyakiti. 

"Saya nggak merendahkan kamu sama sekali."

Alan tersentak, dan tak habis pikir. Sejak tadi ia hanya membicarakan segala sesuatu yang berfaedah, baik untuk mengingatkan diri sendiri, terlebih untuk wejangan kebaikan bagi diri Nada sebagai seorang perempuan. 

"Apa yang kamu maksud dengan buang-buang?"

"Yang saya rasakan begitu adanya. Saya nggak bilang merendahkan kamu, Nad." 

"Tapi saya merasa direndahkan!"

"Kenapa?"

Pertanyaan Alan tak bisa dijawab Nada. Kenapa? Sebab yang ia lakukan memang salah. Karena itulah meski Alan tak bermaksud menyinggungnya, ia masih saja merasa demikian.

"Nada, saya pernah mendengar sebuah tausiyah, di mana inti dari yang saya dengar itu menyebutkan, bahwa wanita adalah aurat, apa yang tampak darinya adalah aurat, suaranya, rambutnya, kulit lengan, betis dan segala sesuatu yang diharamkan tampak darinya, semua itu aurat. Nggak ada laki-laki yang boleh melihat kecuali mahramnya. Ayah kamu melakukan hal yang benar, menurut pemahaman saya selama belajar agama. Ia hanya nggak mau, kamu, menjadi kunci neraka untuknya, karena itulah, ia mengambil keputusan untuk membuat kamu melangkah jauh dari kubangan dosa yang terlanjur menenggelamkanmu."

Nada berdecak, "Udah, nggak usah sok ceramahin saya. Kamu bilang aja, sebenarnya juga mau kan dijodohin sama saya. Iya kan? Pake acara bawa-bawa dosa lagi!"

Dosa memang cenderung menutupi mata hati dari menerima kebenaran, dan apa yang dialami Nada saat ini telah membuktikan teori tersebut. 

Alan hanya menghela nafas panjang. Ia tak bisa memungkiri, jika yang dilakukannya saat ini hanya ingin menuruti kata hati. Ia sudah bertanya langsung pada Rabbnya, semakin ia memutuskan takkan melakukan perjodohan ini, hatinya kian tergerak saja untuk menjalani.  Terlebih setelah melihat langsung bagaimana kekhawatiran Pak Abdul itu nyata adanya, Nada hampir setiap hari menipu kedua orangtuanya, dengan terus bersama Aldo, kekasih yang haram sekali untuk dirinya. 

"Kamu hanya memanfaatkan situasi ini untuk menjerat saya kan? Kamu masih mendendam sama saya kan? Ayo katakan?"

"Nggak sama sekali. Saya hanya menuruti kata hati, itu aja."

Alan kemudian kembali beralih pandang ke arah lain. Situasi yang ia hadapi dan Nada semakin tegang, entah karena ucapan yang salah atau bagaimana. Alan hanya merasa, ia sedang mencoba membuka mata hati dan pikiran Nada. Tapi ternyata, upayanya sia-sia belaka. 

"Tapi saya nggak mau menikah sama kamu!"

Nada menegaskan. 

"Saya nggak punya daya untuk membatalkan acara ini, karena saya sudah menerima permintaan Pak Abdul untuk menikahi kamu."

"Kenapa nggak punya daya untuk menolak sebelumnya? Apa yang kamu mau dari saya?" 

Gadis itu kian sangar saja, membuat pemuda di sebelahnya jadi bergidik sendiri. Bagaimana mungkin akan menikah dengan gadis seperti ini? sama sekali jauh dari kriteria idealnya. 

Alah mengusap tengkuk. Ia berada dalam kebimbangan.

------------

Chương tiếp theo