webnovel

15. Entah kenapa aku memilihmu

Sebuah mobil hitam berkilat berhenti di hadapan Jie dan A. Lelaki itu memutar bola matanya saat melihat Gilang keluar dari dalam mobil disusul dengan dua bodyguard di belakangnya.

"Sudah cukup bermain-main A. Ayo pulang!" Gilang menarik tangan A untuk memasuki mobil. A menurut saja, tapi matamya tak henti-henti melihat wajah Jie. Juga gadis itu tak henti-hentinya menatap A dengan tatapan yang sulit diartikan.

Sebelum Gilang masuk ke mobil, sejenak ia menatap Jie. "Kau bisa pulang sendiri?"

"Bisa. Rumahku tak jauh dari sini, tapi tunggu, A lo alergi sama jamur." Gilang menatap Jie dan A bergantian. Sebuah senyum terukir di bibirnya.

'Baguslah. A bisa bergaul dengan wanita akhirnya,' Gumam Gilang dalam hati.

'Kakak, kakak. Sungguh kakakku yang lugu.' Batin A dalam hati. Ia mengedipkan sebelah matanya kepada Jie.

"Sampai jumpa di sekolah A!" teriak Jie seraya melambaikan tangannya kepada mobil A yang perlahan-lahan hilang dari hadapannya.

Jie terus menerus tersenyum sampai gadis itu pulang ke rumahnya. Entah kenapa, bayangan A terus melintas di kepalanya Apa ini? Apa ia sudah jatuh cinta kepada A? Tunggu-tunggu, tapi A mengatakan ia tidak boleh jatuh cinta kepadanya.

Apa sekarang?

"Tuan muda A yang sangat manis," monolog gadis itu saat akan memasuki rumahnya.

Namun, betapa terkejutnya gadis itu saat melihat seseorang yang brengsek di dalam hidupnya tengah berbincang pada keluarganya.

Siapa lagi kalo bukan Guan. Mata semua orang yang berada di dalam sana langsung menatapnya, tetapi yang ditatap malah memberikan tatapan tajam kepada semua orang. Terutama kepada Guan.

"Jie? Kamu darimana saja?" tanya sang Ayah saat melihat Jie berdiri terpaku di ambang pintu.

Jie lantas menghampiri mereka. "Ayah, Jie ada urusan dengan seseorang. Penting!" ucap Jie menekan kata penting.

"Penting sampai pulang jam segini?" tanya sang Ibu.

"Mamah! Jie udah dewasa. Jie tahu apa dan kapan Jie pulang ke rumah. Dan kenapa lelaki brengsek ini datang ke sini?" Nada ucapan Jie sedikit tinggi.

"Jie! Apa yang kamu katakan? Ini Guan teman saat Smpmu dulu. Kau tak mengenalnya?" Ayah menarik tangan Jie untuk duduk dengan sopan.

"Om. Tak usah marah kepada Jie," ucap Guan. Sementara Jie menatap Yang berbicara dengan tajam.

"Aku tidak mau bicara kepadanya. Aku mau tidur." Jie beranjak dari duduknya lalu melangkah ke kamarnya.

"Jie, kau mau kemana?"

"Ke kamar mah!"

Guan menatap kepergian Jie dengan amarah yang berusaha ia tutupi. Guan merasa harga dirinya direndahkan oleh Jie saat ini dan ia akan membalaskan itu semua.

"Om, tante. Tidak apa-apa. Aku tidak masalah, kalo begitu aku pulang dulu."

"Guan, benarkah kau tidak apa-apa? Jangan marah kepada Jie, ya? Entah kenapa Anak itu sekarang."

"Iya om tidak apa-apa."

***

Kini, A sedang berbaring di kamarnya. Ia tak henti-hentinya menggaruk tubuhnya yang terasa gatal. Berulangkali Argan yang mengoleskan salap di tubuhnya untuk tidak menggaruk-garuk, karena itu hanya akan menambah rasa gatalnya.

"Ayah, gatal sekali," ucap A mengeluh.

"Jangan salahkan Ayah. Berapa kali Ayah bilang jangan makan jamur. Kamu, 'kan alergi." Argan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tapi, A lapar Ayah," jawab A.

"Kalo kamu sedang tidak di rumah, makanlah di restoran," Gilang tiba-tiba menimpali ucapan A sembari memberikan baskom berisi air dingin.

"Aku lupa dompet dan kartu kreditku," jawab A.

"Karma karena telah durhaka sama Ayah," balas Gilang yang mampu menyulut emosi sang Adik.

A menatap sarkas sang Kakak. "Dasar mesum!"

"Apa? Siapa yang mesum?" Argan menatap A dan Gilang secara bergantian.

"Gilang Ayah. Dia pernah mencium seorang gadis."

"Hei, jangan ngadi-ngadi lo kalo bicara. Ayah, aku ... aku menciumnya karena Gilang suka samanya. Bukan seperti A yang takut sama perempuan."

"Apa lo kata? Kakak kalo gak tahu apa-apa gak usah bicara."

Argan menepuk jidatnya. Susah bener memiliki dua putra yang tak bisa mengalah satu sama lain. Rasanya kepala Argan ingin meledak ini juga.

"Cukup! Kalian berdua sama saja. Adik dan Kakak," bentak Argan. Lantas dua putranya itu langsung bungkam.

A menarik tangan Ayahnya. "Ayah. Maafkan A karena marah sama Ayah." Ia kemudian mencium tangan sang Ayah.

"A hanya kesal saja dan tidak bermaksud menyakitimu Ayah. Kecuali kak Gilang yang selalu ikut campur dalam hidupku."

"Aku ikut campur karena kau adikku. Apa kau masih tidak mengerti?"

"Astaga mulai lagi," lirih Argan.

"Kalo begitu lanjutkan pertengkaran kalian. Ayah mau tidur," ucap Argan lalu meninggalkan kedua putranya itu yang masih mengoceh satu sama lain.

Pertengkaran yang berlangsung selama 30 menit itu akhirnya selesai. Gilang dengan kesal menutup pintu hingga menimbulkan suara yang begitu keras.

"Banting trus!" A terkekeh. Dirinya selalu menang jika berdebat dengan sang Kakak.

A menarik selimut untuk menyelimuti tubuhnya. Sekarang bukan hanya gatal, tetapi tubuhnya juga terasa lengket akibat salap yang dioleskan sang ayah. Ingin rasanya A mandi juga, tapi tidak mungkin karena ini sudah malam hari.

Terpaksa A tidur dengan tubuh seperti ini. Ia melirik jam di atas dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 8 malam. Bukankah terlalu cepat untuk tidur saat ini.

A pun memilih beranjak dari kasurnya, berjalan ke arah meja belajarnya. A menarik kursi lalu duduk. Laptop bermerek apel setengah gigit itu ia nyalakan. A mengetik password laptopnya lalu menekan password lagi untuk masuk ke halaman galeri. Satu persatu A membuka foto kemesraannya bersama Elina. Dan setelah puas melihat foto itu, A akhirnya menghapus foto yang berhubungan dengan Elina.

Kini, cintanya untuk wanita itu pupus sudah. Ia tak akan pernah mencintai seorang perempuan di dalan hidupnya lagi. Sudah cukup ia tersakiti.

Semua kenangan bersama Elina perlahan A lupakan seiring berjalannya balas dendam ini. Dan selamanya akan menjadi begitu.

Setelah lama berkutik dengan dunia laptop, A berjalan ke arah balkon kamarnya. Angin malam menerpa kulit putih A. Seakan menggerogoti dagingnya, A bergidik ngeri merasakan hawa yang begitu dingin.

Menit lamanya A menatap ke luar. Entah kenapa malam ini sangat begitu gelap. Awan malam seakan menutupi sinar bulan. Namun, A hanya acuh terhadap itu semua. Lagipula malam ini yang gelap bukan hatinya.

Yah, A merasa salah selama ini telah menjauhkan dirinya dari perempuan. Perasaannya yang mengatakan bahwa semua perempuan itu sama saja adalah salah. Ialah yang salah karena telah memilih wanita yang salah.

"Tapi, semua akan berjalan dengan lancar."

"Balas dendamku kepadamu akan berjalan dengan baik."

"Aku akan membunuhmu!"

'A aku gak suka kamu tutup mata. Ayo bangun.'

A meneguk susah salivanya. Tiba-tiba saja gadis itu melintas dipikirannya, siapa lagi kalo bukan Jie. Perkataan Jie itu terus terngiang-ngiang di kepalanya. Kata-kata itu menurutnya sangat manis. Tak ayal, sebuah senyum terukir di bibir A.

"Gadis bodoh. Entah kenapa aku bisa memilihmu."

Chương tiếp theo