Latifah melamun di balkon kamarnya, ia tidak tau harus bagaimana sekarang. Aisyah tidak akan datang ke rumahnya dalam beberapa hari, itu semua pasti karna permintaannya yang tidak masuk di akal kemarin.
"Maafkan aku Aisyah, aku tidak bermaksud memanfaatkan dirimu untuk menjaga rumah tanggaku yang hampir rusak." Gumam Latifah sendu.
Dan lagi, dengan tidak adanya Aisyah semua pekerjaan rumah jadi terbengkalai. Piring kotor menumpuk, pakaian juga menumpuk, lantai kotor. Latifah pun terpaksa mengerjakan semua itu, walau ia sendiri tidak terlalu yakin bisa melakukannya.
Tapi sebelumnya Aisyah sudah pernah mengajarinya tentang pekerjaan rumah, jadi sedikitnya Latifah mengerti apa saja yang harus di lakukan olehnya.
Latifah memulainya dari mencuci piring, ia membasahi semua piring itu dengan air. Lalu ia menuangkan sabun ke satu wadah, dan menggunakan spons untuk membuat busa. Lalu ia menggosok satu per satu piring kotor itu dengan spons yang sudah berbusa, lalu ia mencucinya di bawah guyuran air. Beberapa kali Latifah membolak-balik piring itu, agar semua bagian terguyur air dan menjadi bersih.
Satu persatu piring itu pun terlihat rapi berbaris di atas rak, setelah selesai Latifah mencuci tangannya dan mengambil nafas sesaat. Kemudian Latifah melangkah menuju kamar untuk mengambil pakaian kotor, lalu ia membawanya ke belakang. Latifah memasukan semua pakaian itu ke dalam mesin, lalu ia menutupnya dan menambahkan bubuk detergen di wadah khususnya. Tidak lupa Latifah menambahkan air terlebih dulu, lalu ia menutupnya dan menyalakan mesin itu.
Sambil menunggu pakaiannya selesai di cuci, Latifah mengambil sapu dan menyapu lantai. Ia pernah memperhatikan Aisyah yang sedang menyapu dan mengepel, jadi Latifah mencoba untuk mengikuti apa yang Aisyah lakukan.
Latifah menyapu seluruh bagian rumah, lalu ia mengambil air di ember dan menambahkan sabun lantai dalam air itu. Dan Latifah langsung mengepel lantai, secara perlahan mulai dari sudut terdalam sampai ke luar.
Beberapa kali Latifah menghentikan pekerjaannya karna merasa lelah, ia benar-benar tidak pernah melakukan semua hal itu sejak kecil. Karna ia terbiasa di layani oleh pelayan, kecuali untuk mandi dan memakai pakaian.
Dan kini Latifah benar-benar merasakan, bagaimana lelahnya seorang asisten rumah tangga yang ia pekerjakan.
Akhirnya Latifah menyelesaikan aksi mengepel lantainya, lalu ia membersihkan embernya dan menaruhnya kembali di depan rumah. Latifah melangkah ke samping rumah, ia masuk melalui pintu samping agar tidak mengotori lantai yang sudah sudah payah di buat mengkilap olehnya.
Sesampainya di belakang, Latifah mematikan mesin cuci itu lalu membukanya. Ia merasa jika pakaiannya sudah cukup bersih, akhirnya ia mengambil pakaian itu dari mesin dan membilasnya dengan air keran. Setelah di rasa benar-benar bersih, Latifah kembali memasukan pakaian itu ke sisi kiri mesin, di sana adalah tempat untuk mengeringkan pakaian yang basah.
Latifah kembali menutup pintu itu, dan menekan tombol untuk mengeringkan pakaian. Latifah berdiri sambil bersandar pada mesin cuci, ia benar-benar merasa lelah sekali hari ini. Membersihkan rumah dan membereskan semuanya sangat melelahkan, ia benar-benar merasa takjub dengan Aisyah yang bisa mengerjakan semuanya dalam waktu sekejap.
"Ternyata seperti ini yang mereka rasakan setiap harinya, sungguh benar-benar melelahkan." Gumam Latifah membayangkan pada asisten rumah tangga yang pernah bekerja dengan mereka.
30 menit berlalu, Latifah membuka pintu mesin cuci dan mengambil pakaian yang sudah jauh lebih kering dari sebelumnya. Setelah selesai, Latifah membawanya ke loteng di lantai atas, lalu menjemurnya di sana seperti yang Aisyah lakukan saat itu.
Latifah mengerti sekarang bagaimana keadaan yang sebenarnya Aisyah rasakan saat bekerja di rumahnya, gadis itu pasti sangat kelelahan dengan semua pekerjaan yang menumpuk itu.
Tapi kenapa gadis itu tetap terlihat tenang, dan terus tersenyum saat melakukan semua pekerjaan itu? Latifah benar-benar tidak habis pikir dengan semua itu, tapi yang pasti saat ini tubuhnya benar-benar lelah.
Setelah semua pakaian itu di jemur, Latifah langsung turun dari loteng ke ruang tengah. Ia duduk di sofa, dan mengistirahatkan dirinya di sana dari rasa lelah yang mendera tubuhnya.
Di sisi lain, Aisyah baru saja menatap makan siangnya di atas meja. Lalu ia mengajak sang ayah yang sedang membaca buku, untuk makan siang bersama.
"Ayah, ayo kita makan siang dulu?" Ajak Aisyah pada sang ayah.
Umar menutup bukunya, lalu ia melangkah mendekati Aisyah dan mereka sama-sama duduk di depan meja makan untuk menyantap makan siang buatan Aisyah itu.
Di saat seperti ini, Aisyah ingin sekali berbicara serius dengan sang ayah. Tapi ia ragu, apakah ia harus mengatakannya atau tidak. Sedangkan Umar yang menyadari kegelisahan Aisyah pun tersenyum tipis, lalu ia bertanya dengan lembut pada putri tercintanya itu.
"Ada apa nak? Kau ingin mengatakan sesuatu?" Tanya Umar dengan tenang.
Aisyah menghentikan gerakannya, sang ayah memang sangat tau apa yang Aisyah rasakan. Bahkan tanpa Aisyah bicarapun, ia sudah tau apa yang terjadi pada diri Aisyah.
"Ayah memang selalu tau apa yang Aisyah rasakan" jawab Aisyah dengan senyumnya.
"Tentu saja, karna ayah adalah ayahmu. Ayah mengenalmu bukan setahun dua tahun, tapi sejak kau lahir. Jadi ayah sudah sangat mengerti setiap ekspresi yang kau keluarkan, bahkan jika kau menutupinya Ayah pasti akan tau semuanya melalui pergerakanmu." Balas Umar dengan yakin.
Aisyah mengangguk paham, ia mengerti sekarang kenapa ayahnya itu selalu tau apa yang ada di pikiran Aisyah. Ternyata pergerakannya sudah terbaca oleh sang ayah, sehingga tanpa mengatakannya Umar sudah tau apa yang ingin Aisyah katakan.
"Ya sudah, kita makan dulu. Setelah itu, baru Aisyah akan cerita pada ayah." Putus Aisyah.
Umar mengangguk setuju, lalu mereka pun makan siang bersama. Mereka begitu tenang dan nyaman, seolah-olah tidak ada masalah apapun yang terjadi. Sampai akhirnya piring mereka sama-sama kosong, lalu Aisyah langsung merapikan piring-piring kotor itu.
"Ayah menunggu di ruang tengah saja ya?" Izin Umar pada Aisyah.
"Iya yah, Aisyah juga harus membersihkan piring-piring dulu." Jawab Aisyah setuju.
Umar mengangguk paham, lalu mereka pun berpisah sesaat. Umar melangkah ke ruang tengah, sedangkan Aisyah melangkah ke dapur untuk membersihkan piring-piring itu.
Setelah perkerjaannya selesai, baru Aisyah menghampiri sang ayah di ruang tengah. Terlihat di sana Umar melanjutkan membaca buku yang sama, Aisyah hanya menghela nafas panjang melihat hobi ayahnya itu.
"Sepertinya ayah sangat suka dengan buku itu, sampai tidak mau berhenti untuk membacanya." Duga Aisyah dengan yakin.
Umar mengangguk setuju, karna memang ia sangat menyukai buku-buku tentang sejarah islam. Bahkan bisa seharian ia membacanya, jika terus merasa penasaran.
"Ya, ayah memang menyukainya. Buku-buku sejarah ini, sangat menarik untuk di baca nak." Jawab Umar dengan semangat dan senyum tipisnya.