webnovel

Chapter 15

5 November, kantor kepolisian Aylesbury.

Waktu menunjukan pukul 08.00

Harry duduk di dalam selnya. Tangannya sedikit gemetar, berusaha untuk menyembunyikan perasaan senangnya dan menahan senyum di wajahnya. Membayangkan apa saja yang akan dia lakukan pada orang itu nanti.

Apa kau pernah memikirkan seperti apa bentuk jiwa seseorang? Seperti apa jiwa itu saat keluar dari raga orang yang mati? Pertanyaan itulah yang muncul di benak Harry saat ini.

Lima belas tahun yang lalu kedua orang tua Harry menggantung diri mereka di langit-langit rumahnya, tepat di depan Harry. Harry lahir dalam sebuah keluarga yang miskin dan serba kekurangan. Ayahnya dipecat dari pekerjaannya saat krisis ekonomi melanda Inggris, beberapa bulan setelah itu petugas bank datang, keluarga mereka terjerat hutang, yang membuat Harry kecil dan keluarganya harus kehilangan tempat tinggalnya, untuk beberapa bulan mereka tinggal di rumah Orangtuanya Ibu Harry. Sungguh masa-masa yang sulit untuk keluarga mereka, tapi semua berubah saat Ayahnya bertemu dengan seseorang yang bersedia untuk membantunya. Orang itu memberikan keluarga mereka uang yang cukup banyak untuk hidup setiap bulannya dengan syarat Ayah Harry harus berkerja padanya. Semenjak saat itu keadaan mulai membaik, mereka tidak lagi merasakan kekurangan, bahkan mereka bisa membeli rumah baru, tapi hal itu tidak berlangsung lama. Kian hari kedua orang tua Harry menjadi aneh. Mereka membangun sebuah ruangan di bawah tanah rumahnya, dan setiap jum'at malam akan ada beberapa orang yang datang ke rumah mereka dan berkumpul di ruangan itu. Harry tidak pernah di ijinkan untuk masuk kedalam sana, hingga suatu saat rasa penasarannya menuntunnya untuk melihat apa yang ada di dalam sana.

Hari itu adalah Jum,at malam. Waktu menunjukan pukul 00.00

Harry kecil terbangun dari tidurnya. Dia mendengar suara beberapa pria dewasa yang berbicara pelan di lantai bawah, dia juga mendengar suara Ayahnya yang berbicara dengan mereka.

[Apa dia sudah siap?] Tanya suara seorang pria di kejauhan.

[Ya, seperti biasa.] Jawab suara Ayahnya.

Harry turun dari tempat tidurnya, lalu berjalan menuju pintu kamarnya dan membukanya perlahan, berusaha untuk tidak membuat suara sama sekali. Pintu terbuka perlahan membuat sedikit celah, Harry mengintip dari celah pintu kamarnya, dari sana dia dapat melihat pintu keluar yang ada di lantai bawah tepat di depan tangga. Sekilas dia melihat sosok seorang pria yang langsung masuk kedalam rumahnya, juga Ayahnya yang bergegas menutup pintu depan dan menguncinya, lalu berjalan menyusul pria itu.

Suara mereka kian menjauh dan hilang. Harry memang sudah tahu mengenai mereka yang datang kerumahnya setiap Jum'at malam, tapi ini kali pertama dia melihatnya langsung. Rasa penasaran semakin memenuhi kepala Harry dan seakan membisikinya untuk mengendap-endap mengikuti mereka. Harry menjin-jitkan kakinya, juga memanjangkan lehernya, berusaha untuk memastikan mereka sudah tidak ada di sana. Harry mendorong pintu dengan perlahan, dan mengeluarkan setengah wajahnya untuk memastikan lebih jelas tidak ada siapapun di sana yang akan memergokinya. Dan saat dia sudah yakin bahwa tidak ada siapapun di sana Harry melangkah keluar dari kamarnya, dan menuruni tangga yang ada tepat di depan kamarnya dengan langkah yang pelan, berusaha untuk tidak membuat suara apapun.

Harry berhenti tepat sebelum anak tangga terakhir. Berpegangan pada pagar pembatas tangga, dia mencoba untuk mengangkat tubuhnya, agar dia dapat melihat melalui sisi tangga ke dalam rumahnya lebih jauh dari tempatnya berdiri sekarang, memastikan bahwa tidak ada siapapun di sana. Harry menuruni anak tangga terakhir, setelah dia yakin bahwa semua orang sudah tidak ada di sana, lalu berjalan menyusuri lorong rumahnya. Pintu menuju ruang bawah tanah ada di dekat dapur. Harry terus melangkah dengan perlahan menyusuri lorong rumahnya, lorong itu sedikit gelap, hampir semua lampu di rumah itu sudah dimatikan, hanya tersisa beberapa lampu redup di sudut-sudut ruangan yang masih menyala. Sejujurnya Harry merasa sedikit takut dengan kegelapan itu, membayangkan akan ada monster yang muncul dari tengah kegelapan dan memangsa dirinya dalam sekejap, tapi rasa takut yang Harry rasakan tidak sebanding dengan bisikan rasa penasaran yang memenuhi kepalanya.

Kini Harry sudah berdiri tepat di depan pintu menuju bawah tanah rumahnya. Harry menatap pintu itu, pintu yang terbuat dari kayu keras yang dicat berwarna merah. Pintu itu dibuat dari jenis kayu yang keras, dan akan semakin keras seiring dengan waktu, agar tidak mudah di dobrak, bahkan menggunakan kapak sekalipun, jadi saat ada situasi genting, mereka akan lari ke sana dan bersembunyi di sana, sebuah ruang bawah tanah yang juga berfungsi sebagai Saferoom atau Panicroom.

Harry masih memandangi pintu itu. Dia tahu itu hanya sebuah pintu menuju ruang bawah tanah rumahnya, tapi perasaannya setiap kali dia ingin membuka pintu itu seperti dia akan masuk ke dalam dunia bawah yang penuh monster yang mengerikan. Harry tidak pernah memasuki ruang bawah tanah itu sendiri, kecuali saat menemani ibunya mencuci pakaian mereka atau menemani Ayahnya membakar kayu di perapian bawah tanah yang akan menghangatkan rumah mereka melalu pipa-pipa udara yang tersambung ke seluruh ruangan di rumah itu.

Untuk kesekian kalinya rasa penasaran mendorong Harry kecil untuk memberanikan dirinya membuka pintu itu. Harry memutar gagang pintunya perlahan, lalu mendorong pintunya. Pintu itu sedikit lebih berat dibanding pintu kamarnya, yang membuat Harry kecil harus mengeluarkan sedikit lebih banyak tenaga untuk mendorong pintu itu hingga terbuka. Kini pintu itu sudah terbuka, menunjukan pada Harry sebuah barisan anak tangga yang akan menuntunnya menuju dunia bawah yang dia takuti. Harry meneguhkan hatinya, meyakinkan dirinya bahwa tidak akan mungkin ada monster di bawah sana, lalu melangkahkan kakinya ke anak tangga pertama.

Harry melangkah menyusuri anak tangga dengan langkah kecilnya. Jarak antara anak tangga bawah tanah sedikit lebih jauh dibanding tangga di depan kamarnya, dan itu membuatnya kesulitan untuk memastikan dia tidak membuat suara langkah yang terlalu keras. Langkah Harry berhenti tepat di anak tangga yang paling tengah setelah dia mendengar suara yang aneh, suara itu seperti suara rintihan yang terdengar pelan di kejauhan. Harry menatap ke ujung tangga di bawahnya, berusaha mencari tahu bunyi apa itu, tapi ruangan itu sangat gelap, hanya ada sebuah lampu bohlam kuning yang tergantung di langit-langit tepat di atas kepalanya. Rasa takut kini menjalar di tulang punggung Harry, membuatnya nyaris kehilangan keberaniannya, tapi bisikan rasa penasaran yang memenuhi kepalanya itu berhasil mempertahankan keberaniannya. Harry kembali melangkahkan kakinya pada anak tangga berikutnya dan meneruskannya hingga dia sampai pada anak tangga terakhir. Harry mencoba melihat sekeliling ruang bawah tanah itu, menembus kegelapan, tapi dia tidak bisa melihat apapun, hingga pandangannya terhenti pada sebuah garis cahaya kuning kemerahan yang menyala redup tepat di seberang dari tempat Harry berdiri sekarang. Itu adalah cahaya yang keluar dari sela pintu, menuju sebuah ruangan yang tidak pernah Harry tahu isinya.

Harry menghampiri cahaya itu, berjalan menembus kegelapan. suara rintihan itu kembali terdengar, kini suara itu terdengar lebih jelas, suara itu berasal dari balik pintu di depannya. Harry menempelkan telinganya pada pintu itu, berusaha mendengarnya lebih jelas, kini suara itu terdengar seperti suara Ibunya. Harry perlahan memutar gagang pintu, berusaha agar tidak ada bunyi yang keluar dari pintu dan berharap tidak ada yang menyadarinya, dan mengintip ke dalam.

Itu sebuah ruangan dengan ukuran kurang lebih tujuh meter persegi, yang dipenuhi dengan lilin yang ditempel di dinding, juga ada sebuah altar kecil di salah satu sisi ruangan itu, di atas altar itu ada sebuah kepala kambing yang sudah terpenggal dengan mata yang terbuka lebar, kepala itu diletakkan di atas nampan besi untuk menjaga agar altar tidak terkena sisa darah yang masih menempel di kepala kambing itu.

Harry mengintip kedalam ruangan itu dengan sebelah matanya melalui celah pintu, dengan kedua tangan yang masih menggenggam gagang pintu untuk berjaga-jaga jika dia harus kabur dari sana. Dan yang terjadi di sana adalah hal yang tidak akan pernah Harry lupakan seumur hidupnya. Ibunya yang telanjang tergeletak di atas karpet di tengah ruangan itu, dengan beberapa pria yang tidak dia kenal menidurinya bersamaan, sementara Ayahnya memunggungi mereka, berlutut menghadap ke altar sembari terus menyenandungkan sebuah do'a dengan bahasa yang tidak Harry mengerti.

Harry hanya terdiam terpaku melihat hal itu, pikirannya tidak mampu untuk mengerti apa yang sedang terjadi, dan tiba-tiba sesuatu menarik pintu itu, membukanya lebih lebar.

Chương tiếp theo