Seribut apapun, kadang kebersamaan selalu dirindukan. Meskipun kebersamaan itu jarang menorehkan senyuman, tetapi tetap saja ada yang kurang ketika ada yang pergi. Seperti ada bagian yang menghilang. Ya, apapun keadaannya, kehilangan tidak akan pernah menyenangkan.
Pukul 05.45 pagi, Tania sudah duduk di meja makan lengkap dengan seragam khas sekolah warna biru muda dan biru tua, rambut yang dikuncir kuda, serta tas ransel warna pink favoritnya. Tania mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya.
Pagi-pagi seperti ini, biasanya dia melihat ayahnya yang baru bangun. Kalau tidak, dia mendengar papanya yang sedang cekcok dengan sang mama. Paling tidak, saat itu Tania bisa memandang wajah sang papa. Meskipun saat itu dia tidak bisa memeluk. Entah karena gengsi atau memang karena papa Tania tidak bisa dekat dengan anak-anaknya. Namun, papa tetaplah seorang ayah bagi Tania. Orang yang diharap selalu ada, orang yang diharap akan menjaga keutuhan keluarga.
"Ini nasi putih sama pare pesanan kamu. Kamu nggak mau makan dulu?" Bu Siwi datang sambil membawa dua kotak yang dimasukkan ke dalam tas kain seperti biasanya.
"Nggak usah, Ma. Sebentar lagi mau dijemput sama Kak Belva. Nanti aku makan bakso aja."
"Boleh makan bakso, tapi jangan sering-sering. Masa setiap keluar selalu makan bakso."
"Mood booster, Ma. Bakso dengan cabe yang melimpah bisa membuat Tania kembali bersemangat." Tania tersenyum membayangkan bakso dihadapannya lengkap dengan cabe melimpah. Itu benar-benar favorit Tania.
Tania bangkit dari duduknya, mengambil kotak itu dan masukkannya ke dalam tas makanan. Lalu dia menghampiri mamanya.
"Ma, Tania berangkat dulu ya?" Tania meraih tangan bu siwi dan mengecup punggung tangan yang masih putih mulus itu meskipun usia sudah menginjak 36 tahun.
"Kenapa buru-buru banget sih, sayang. Kamu nggak diantar kak Doni?"
"Dijemput mantan calon pacar, Ma!" Ucap Tania sambil berlari. Dia tidak mau telat sedikit pun supaya kakak kelas juteknya tidak semakin jutek. Bu Siwi hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Putri satu-satunya itu.
Tania terlalu bersemangat. Masih jam 6 kurang, dia sudah standby di depan gerbang. Entahlah, menunggu datangnya pacar sang sahabat kenapa bisa sesemangat itu? Kenapa Rasanya seperti menunggu pacar sendiri?
Tania segera menepis segala pikiran-pikiran aneh. 'Tan, ingat! Dia pacar sahabatmu. Jangan sampai hatimu kenapa-kenapa ketika dekat kak Belva. Jangan sampai!' Tania menasehati dirinya sendiri sambil menepuk-nepuk keningnya dengan telapak tangan. Namun, dia tidak bisa memungkiri kalau bertemu dan berada di belakang jok motor kak Belva, merupakan hal yang ingin diulang lagi dan lagi. Tania sangat menikmati itu, dan diam-diam berharap selamanya dia bisa seperti itu.
Tit tiiiiiitttt ...
Belva memencet bel motornya keras! Ternyata dia sudah nongkrong di atas motor tanpa disadari oleh Tania. Entah kapan dia datang. Tania terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Pagi-pagi sudah melamun."
Belva melepas helmnya. Menyisir rambut dengan jari-jari lalu bercermin sebentar di spion motornya. Tania terbengong sejenak. Mulutnya nganga. Kadar ketampanan kak Belva naik berkali-kali lipat ketika dia menyisir rambut dengan jari-jari seperti itu.
Setelah dirasa rapi, Belva menoleh ke arah Tania yang saat itu sedang memandangnya dengan mulut menganga.
"Kenapa? Nggak pernah lihat cowok tampan? Cepetan naik!" perintah Belva sambil menepuk jok belakang motornya.
"Kenapa kak Belva harus ganteng? dan Kenapa kak belva harus pacarnya Cantika? Cari cewek lain dong Kak. Kalau aku mau nikung kan nggak merasa bersalah-bersalah amat."
Tania berbicara dengan ekspresi datar sambil mengerucutkan bibirnya, membuat belva sulit menganalisa, sebenarnya itu serius atau sebuah candaan semata? Namun, rasanya dia ingin tertawa melihat ada gadis polos seperti Tania.
"Ish, mulut dijaga. Ayo cepetan naik!"
"Pegangin dulu!" Tania menyerahkan tas tempat makanan pada Belva.
"Kenapa kamu ribet banget sih. Kenapa setiap hari harus bawa nasi dan pare mentah seperti ini. Lagipula di warung bakso suka ada lontong. Nggak perlu bawa nasi."
Belva meraih tas Tania sambil menggerutu.
"Ini, dipakai dulu helmnya." Belva menyerahkan helm warna pink ke Tania.
"Wiiiih, baru." Tania menerima helm itu dengan riang.
"Ini helm buat jaga-jaga. Kalau ada yang nebeng dan maksa, jadi aku nggak perlu cari pinjaman."
Tania segera memakai helm itu, dan seperti biasa. Dia selalu mencari kesempatan agar bisa dekat-dekat dengan Belva.
"Karena ini helm baru, jadi belt helmnya sulit dikancingkan. Bantuin," ucap Tania manja sambil menyodorkan dagunya.
"Ya Tuhan. Kenapa makhluk ini selalu merepotkan ku mulai dari hal-hal kecil. Sini!"
Belva meletakkan tas makanan Tania di stang motor, lalu dia mengulurkan tangannya memasangkan belt helm Tania.
Klik. Mudah.
Tentu saja itu hanya akal-akalan Tania agar bisa dimanja oleh Belva.
"Memandang Kak Belva dari jarak sedekat ini membuat jantungku rasanya mau loncat."
Belva memandang Tania, lalu sedikit mendekatkan wajahnya pada wajah Tania. Tania membeku, dia hanya terdiam dan membulatkan matanya.
'ini Kak Belva mau ngapain? Apakah dia mulai baper padaku? Apakah dia mau? Ah, aku deg-degan parah.' Tania memejamkan matanya. Mengira kalau Belva akan melakukan hal-hal yang diinginkan.
Melihatekspresi Tania yang memejamkan matanya erat, langsung membuat tawa Belva pecah.
"Hahaha ... Kamu kenapa seperti kucing takut sama tikus gitu sih?" Belva tertawa sambil memegangi perutnya. Gadis itu memang keterlaluan polos dan ke apaadaannya. Membuat Belva tidak bisa menahan tawa.
Mendengar tawa Belva, Tania langsung membuka matanya lebar-lebar. Ia meringis malu karena sudah berpikir yang tidak-tidak.
"Kenapa ketawa sih. Kak Belva sih deket-deket wajahnya. Aku kan berpikir yang bukan-bukan."
"Inget! Jaga hati. Pacar sahabat itu dijagain, bukan ditikungin."
"Boleh jaga pacarnya sahabat? Sini biar aku yang jaga kak Belva."
"Makin ngelantur ini anak orang. Cepetan naik! Kamu harus mengajariku banyak hal supaya aku nggak remidi lagi."
"Sejak kapan kak Belva jadi bawel seperti ini," ucap Tania sambil mengerucutkan bibirnya lalu dia segera naik ke atas motor keren Belva.
Tania tersenyum. Lalu melingkarkan tangannya di pinggang Belva.
"Jaga tangan. Jangan macem-macem," ucap Belva sambil mengenakan helm nya.
"Ini usaha agar selamat di perjalanan, Kak Belva. Aku kan harus pegangan supaya nggak jatuh." Tania berkilah dengan senyum yang menghiasi bibirnya.
"Terserah lah, asal kamu nggak bawel. Awas jangan sampai baper."
"Kak Belva yang jangan sampai baper. Awas lho kak, cinta datang karena terbiasa."
Belva terdiam sejenak, tersenyum. lalu dia segera melajukan motornya dan membiarkan tangan Tania melingkari pinggangnya. Entah mengapa, dia tidak risih ketika tangan Tania melingkar di pinggangnya.
'kenapa aku nyaman dipeluk dari belakang oleh makhluk aneh yang satu ini? Kenapa Rasanya Aku tidak ingin ikatan tangannya dilepaskan?'