Tania sudah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Doni hanya mengelus bahu adiknya dengan air mata yang sudah mulai jatuh.
Tania memerosotkan tubuhnya. Dia terduduk di depan pintu kamar sang ibu. Tania menunduk, dia memeluk kedua lututnya. Matanya semakin terasa panas. Semakin memberontak ingin keluar.
"Apakah papa sudah pergi? Apakah papa meninggalkan kita?" Tania mulai meneteskan air mata. Dia sudah mulai curiga karena sudah lewat jam makan malam tetapi papanya belum pulang juga.
Doni ikut jongkok, menatap adiknya dengan iba. Doni Tidak mengapa kalau harus merasakan sakitnya hidup di tengah keluarga yang broken home, tetapi jangan adiknya. dia tidak akan tega melihat adiknya yang terus-menerus meneteskan air mata ketika di rumah. Doni merasa sakit, ketika adiknya merasa rumah bukan tempat ternyaman untuk pulang. Memang tidak ada kenyamanan dalam keluarga yang broken home, bukan?
"Jangan menerka-nerka. Itu hanya dalam pikiranmu saja. Habiskan makananmu, dan belajar sana! Besok sekolah, kamu pasti bersemangat sekolah kan karena bertemu dengan kakak kelas jutekmu itu," ucap Doni yang berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka. Mama Tania keluar dari kamar dengan wajah yang berusaha dibuat se sumringah mungkin. Wajahnya terlihat basah sehabis mencuci muka. Namun, masih terlihat jelas bahwa ia baru saja menangis. Matanya yang sembab tidak bisa membohongi siapapun.
"Hei, Ini anak Mama kenapa di sini? Kenapa? Kok tadi mama dengar suara ribut-ribut?"
Mendengar suara sang mama, Tania segera berdiri dan berhambur ke pelukan mamanya. Ia rengkuh tubuh ramping mamanya dengan erat. Tangisnya pecah.
"Hei, ini kenapa? Putus dari pacar ya? Oh iya, kan pacar aja belum punya, masa sudah putus," ucap Mama Tania sambil terkikik. Ya, itu tawa palsu. Tania Tahu betul itu.
"Kenapa Mama nggak buka pintu? Aku takut mama kenapa-kenapa."
"Mama masih mandi tadi. Lagipula kenapa sih kamu tumben banget heboh begitu. Orang Mama cuma mandi sebentar."
"Mama juga tidak menyiapkan makan malam hari ini. Mama tidak ikut makan bersama kami."
"Mama agak sedikit kelelahan saja sayang. Tidak kenapa-kenapa."
"Kenapa papa belum pulang?"
Mama Tania langsung melepaskan pelukan. Dia menahan air mata yang kembali ingin turun.
Sedangkan Doni, dia hanya memandang dua wanita yang paling berarti dalam hidupnya itu. Doni berjanji dalam hati, dia akan selalu menjaga mama dan adiknya.
Kedua tangan mama Tania diletakkan di kedua belah pipi Tania. Dipandangnya anak gadis satu-satunya itu dengan mata berkaca-kaca. Susah bagaimana Tania untuk mengungkapkan semuanya.
"Papa hari ini lembur. Mungkin besok akan pulang. Sekarang kamu belajar dulu ya. Mama lagi tidak enak badan, Mama mau istirahat lagi."
"Aku bukan anak kecil lagi, Ma. Aku sudah dewasa sekarang. Mama tidak bisa membohongiku seperti saat aku masih SD atau SMP. Mama Jujur saja padaku apa yang terjadi. Apakah papa menyakiti Mama lagi?"
Mama Tania mengecup keningnya selama beberapa detik, lalu melepaskannya dengan mata yang sudah basah.
"Percayalah sama mama. Semuanya baik-baik saja. Sekarang kamu pergi ke kamar dan belajar. Jangan berpikir yang macam-macam, Mama kan selalu baik-baik saja untuk kamu dan kak Doni. Mama istirahat dulu dan jangan diganggu. kalau ada yang mengganggu Mama nanti mama sentil nih," ucap Mama Tania sambil tersenyum lalu dia segera pergi meninggalkan Tania yang masih mematung di tempatnya. Mama Tania kembali ke kamar dan mengunci pintunya rapat rapat. Saat itu, kembali tumpah ruahlah airmatanya. Dia sudah menahan air matanya sejak tadi. Apapun yang dia rasakan, dia tidak pernah menginginkan anaknya mengetahui rasa sakitnya. Sesakit apapun, Bu Siwi tidak pernah menitikkan air Mata Di depan anaknya.
***
Pukul 10 malam. Tania masih belum bisa memejamkan mata. Pikirannya melayang kemana-mana. Entahlah, perasaannya tidak tenang. Dia yakin kalau antara mama dan papanya ada sesuatu.
Drrrttt ... Drrrttt ...
Handphone Tania bergetar. Dia segera mengambil handphone yang ada di lacinya. Kakak Jutek. Ya, itu adalah nama Belva di handphone Tania.
Ya, mungkin ini semacam terapi bagi hatinya yang saat ini sedang kacau. Tania segera mengangkat sambungan telepon.
"Rambutan. Lama banget sih ngangkatnya. Masa jam segini sudah tidur." Suara belva nerocos tanpa menyapa terlebih dahulu.
"Kak Belva kenapa? Tiba-tiba nyerocos nggak jelas. Aku belum tidur, kak. Kenapa sih ngedumel begitu. Kak Belva kangen ya? nggak bisa tidur ya sampai tengah malam begini dibela-belain telepon."
"Halu! Kamu tahu LKS bahasa Inggrisku nggak? Di dalam tasku nggak ada."
"OOO ... LKS bahasa Inggris?"
"Kamu tahu?"
"Tahu banget."
"Dimana?"
"Di dalam tasku."
"Kok bisa?" Suara Belva mulai ngegas. Tania tertawa. Ya, dia sudah bisa tertawa lagi. Mendengar suara Belva bisa menjadi mood booster terbaik buat Tania.
Tentu saja Tania tahu dimana LKS itu.
Tadi saat belva memasukkan bukunya, Ia kelewatan tidak memasukkan LKS, karena lks-nya sedang tertimpa buku lain di atas meja. Tania berinisiatif mengambil LKS itu tanpa sepengetahuan Belva dan memasukkannya ke dalam tas. Karena dia berfikir, itu pasti akan berguna sebagai bahan untuk melakukan pendekatan, dan ternyata dia benar.
"Ya bisalah. Yang jelas LKS Kak BELVA sedang ada di aku sekarang."
"Kenapa nggak langsung diberikan ke aku sih? Ya sudah, besok bawa lks-nya. Aku ambil ke kelasmu."
"Nggak mau."
"Hah? Jangan macam-macam ya? LKS itu penting untuk besok. Kalau sampai aku nggak bawa pasti terkena poin."
"Kalau begitu besok kak Belva jemput aku. Aku bawain lks-nya."
"Ogah! Aku nggak akan terkena tipu untuk kedua kalinya."
"Ya sudah, kalau gitu aku nggak akan bawa lks-nya, biarin saja Kak belva dapat poin besok."
"Ya Tuhan, kenapa aku harus dipertemukan dengan makhluk menyebalkan seperti kamu. Bisa nggak sih kamu membuat hidupku tenang sehari saja."
"Nggak bisa lah kak, kalau kakak mau hidupnya tenang sering-seringlah bersamaku. Karena di sampingku, Kak Belva pasti akan merasakan kenyamanan dan ketenangan."
"Halu akut!"
"Jadi bagaimana?"
"Mau tidak mau dan suka tidak suka aku harus menjemput kamu. Jam 06.15 aku sudah berada di rumah kamu, jadi kamu harus siap di depan gerbang jam segitu. Kalau kamu belum muncul jam 6.15 aku tinggal."
"Beneran? Kak Belva Mau menjemputku? Yeay! Siap kakak Jutek. Besok kutunggu. Sampai jumpa besok. Jangan lupa mimpiin aku malam ini ya?"
Klik. Sambungan telepon dimatikan oleh Belva dengan hati dongkol. Sedangkan Tania memandang ponselnya dengan senyum-senyum sendiri. Lalu, ia mengambil LKS yang sudah dia keluarkan dari tasnya. Ia letakkan lks-nya di dada lalu dipeluknya erat.
"Terimakasih, gara-gara kamu aku bisa dijemput oleh kak Belva besok pagi."