"ih, Kak Doni. Kenapa harus bikin aku malu, sih. Tengsin tau," ucap Tania dengan muka cemberut. Si gadis mungil itu berjalan gontai menuju ke pintu utama.
Doni yang saat itu sedang merangkul bahu Tania hanya bisa cekikikan melihat ekspresi adiknya.
"Salah sendiri. Kakaknya sudah capek-capek datang ke sekolah, malah tidak diakuin. Dasar adik nggak ada akhlak."
"Ih, Kak Doni nggak tahu sih. ini moment super langka aku bisa diantar sama kakak kelas jutek itu. Seharusnya Kak Doni itu malah membuat Citra aku baik di depan dia. Eh, malah buka aib." Tania masih terus ngedumel.
"Makanya jangan suka bohong. Apalagi sampai mengorbankan kakaknya. Dapat azab kamu nanti." Doni masih terus merangkul adiknya sambil membuka pintu.
"Kak, tumben hari ini hening. Nggak ada suara suara menggelegar. Nggak ada teriakan mama papa. Apa papa belum pulang ya?" Tania mengamati sekeliling rumahnya. Dia mendengarkan baik-baik. Iya. Dia tidak mendengar suara teriakan papa dan mamanya yang selalu menyambut dia saat pulang sekolah.
"Kalau papa Mama ribut, kamu ngedumel. Giliran nggak ada suara, malah nyariin. Doakan saja semoga mereka nggak ribut lagi." Doni melepaskan rangkulannya, lalu mencubit pipi chubby adiknya yang selalu menggemaskan di mata Doni.
"Ih, kebiasaan deh Kak Doni. Jangan Cubit-cubit. Makanya punya pacar, biar ada yang dicubit," ucap Tania sambil menjulurkan lidah lalu dia segera berlari menuju ke kamarnya.
Doni hanya tersenyum bahagia melihat adiknya yang terus melontarkan senyuman. Kakak satu-satunya Tania itu melangkahkan kakinya menuju ke sofa ruang tamu dengan langkah gontai. Ia menempelkan tubuhnya ke sofa warna emas yang tampak begitu mewah. Doni menghembuskan nafas kasar.
Laki-laki bertubuh jangkung dan berkulit putih bersih itu memandang foto papa mamanya yang tergantung di dinding di hadapannya. Dia pandang tanpa kedip selama beberapa detik, hingga matanya terasa panas dan berair.
Foto yang tergantung di dinding itu, mungkin hanya akan menjadi sebuah kenangan yang tidak akan menjadi masa depan lagi. Doni sebenarnya tahu apa yang terjadi. Dia tahu kenapa rumah mendadak sepi.
Persis sebelum Doni menjemput Tania, papa dan mamanya bertengkar hebat. Ya, lagi dan lagi, yang menyebabkan papa mereka keluar dari rumah.
'Papa, Mama, Aku rindu kalian. Aku rindu saat Mama mengecup tangan papa ketika papa mau berangkat kerja. Aku rindu, ketika papa mengecup pucuk kepala Mama sambil mengucapkan selamat pagi saat kita berada di ruang makan. Beberapa tahun terakhir ini aku tidak melihatnya lagi. Saat ini, aku tahu moment itu tidak akan pernah terulang lagi,' ucap Doni dalam hati. Mata nanar nya masih menatap foto papa mamanya yang saling berpandang mesra.
***
"Kak, Mama kenapa sih. Biasanya harus mama yang menyiapkan makanan. Kok ini Mbak Sum." Tania mengambil nasi dan meletakkannya di piring.
Hari itu mereka hanya berdua di meja makan. Biasanya selalu ditemani mama Tania dan kadang juga papanya, meskipun selalu dibumbui oleh keributan.
"Mungkin lagi kecapean. Makan aja, nggak usah banyak tanya." Doni mengupas mangga kesukaannya. Mukanya masih terlihat muram. Tidak ada senyum yang terukir di wajahnya seperti yang biasa nampak.
"Secapek apapun, Mama nggak pernah kayak gini. Terus kak Doni kenapa sih mukanya murung begitu? Baru diputusin ceweknya ya?" Tania mengambil sepotong ayam besar, lalu segera ia gigit potongan ayam itu dengan lahap.
"Sok tahu. Udah, makan aja dulu. Habis ini kamu belajar. Jangan memikirkan apa-apa dulu selain pelajaran sekolah."
"Kak, aku ke kamar mama dulu ya. Takut Mama kenapa kenapa. Soalnya mama nggak pernah begini."
"Nggak perlu. Mama lagi ingin istirahat. Kalau kamu ke kamar mama, yang ada Mama nggak bisa istirahat karena kamu berisik. Kebiasaan deh, pekerjaan satu belum selesai sudah memikirkan yang lain. Makan aja dulu dihabiskan."
"Nggak ah, Aku mau ke mama dulu." Tania mulai mengkhawatirkan mamanya. Potongan paha ayam yang tadi ya pegang erat segera ia lepaskan dan diletakkan di atas piring. Tania langsung berdiri dari duduknya dan beranjak ke kamar mamanya.
"Tan, di habiskan dulu makannya," teriak Doni yang masih memegang pisau dan mangga.
Tania tidak menggubris ucapan sang kakak. Dengan lincah ia mengayunkan kakinya menuju ke kamar mamanya.
Tania segera menggerakkan knop pintu, dan ternyata tidak bisa terbuka. Tumben sekali pintu kamar mama terkunci. Biasanya cuma ditutup doang.
"Ma ... Buka pintunya dong? Tania mau masuk," ucap Tania sambil mengetuk pintu.
Hening. Tidak ada sahutan dari dalam. Tania mengerutkan dahi.
"Mama ... Buka pintunya. Mama pasti ada di dalam kan?"
Ya, masih tetap sunyi. Tidak ada suara yang bisa Tania dengar, selain suara hembusan nafasnya sendiri.
Tania mulai khawatir. Dia mengetuk pintu lebih keras beberapa kali sambil terus memanggil nama mamanya.
Mendengar keributan yang dibuat oleh Tania, Doni segera menghampiri adiknya.
"Tan, kan sudah aku bilang Mama ingin istirahat dulu. Jangan diganggu!"
"Nggak mungkin kalau mama hanya ingin istirahat, Kak. Pasti ada apa-apa dengan Mama. Kak, ayo bujuk Mama supaya membuka pintu. Ayo kak." Kedua tangan Tania memegang lengan Doni yang saat itu matanya sedang berkaca-kaca. Dia membayangkan bagaimana perasaan Tania kalau sampai dia tahu bahwa papanya sudah memutuskan untuk pergi dari rumah.
"Mama butuh waktu untuk sendiri, Tan. Biarkan dulu, nanti kalau mama sudah agak lebih tenang, pasti dia mau membuka pintu."
"Butuh waktu sendiri? Sebenarnya ada apa? Ini pasti gara-gara papa lagi kan? Apa yang diperbuat papa ke mama? Apalagi yang dilakukan oleh laki-laki itu, kak? Dia berbuat kasar ke mama lagi? Iya?" Tania menatap mata Doni. Mata kakaknya sudah mulai basah. Begitu juga dengan Tania. Dadanya mulai terasa sesak. Dia mulai khawatir kalau papanya mulai berbuat kasar lagi.
Karena sehebat apapun pertengkaran mereka, Mama Tania tidak pernah sampai mengurung diri di kamar seperti itu.
"Tan, biarkan itu menjadi urusan mama dan papa. Kita tunggu aja sampai Mama keluar. Sekarang kamu belajar dulu, atau mau kakak temenin?"
"Mama ... Buka pintu, Ma. Kalau Mama nggak mau buka pintu, Aku mau minta tolong pak Anto untuk dobrak pintu. Ma ... Ayo buka!" Tania tidak menghiraukan ucapan Doni. Dia berteriak dengan mata memanas dan tangan yang tak henti-hentinya mengetuk pintu dengan keras.
Tania takut, apa yang dia khawatir kan selama ini akan terjadi. Tania takut, dia akan kehilangan salah satu dari mama atau papanya. Memang, selama ini mereka memang bersama dalam satu rumah. Namun, rasanya seperti tinggal sendiri-sendiri. Tania merindukan hangatnya suasana rumah seperti dulu. Saat ini, pikirannya sudah kemana-mana. Dia tidak ingin apapun, selain memeluk mamanya erat.