webnovel

Di maklumi?

Frustasi, Arka lantas bangkit dari baringannya. Mengacak surai lepeknya, dan kemudian menatap memelas pada Brian yang baru saja ke luar dari kamar mandi hanya dengan sisa bokser menutup bagian bawah tubuhnya. Tak jadi masalah, meski Arka berpotensi gay, tak mungkin juga untuknya bernafsu pada Brian. Ah tidak, yang lebih tepatnya tak sudi bernafsu.

"Gue nggak tau harus seneng atau ketakutan."

"Masalah bang Nino? Mang abang gue ada wujud pocica sampe lo takut?" pikir Brian dengan raut wajah yang begitu serius, sembari tubuhnya yang menempati sisi ranjang milik Arka. Berlakon seperti kepunyaannya sendiri, menata sprei yang sedikit tersingkap di bagiannya, dan menyandarkan di kepala ranjang dengan semua bantal yang di jadikan ganjalan. Seolah tak mempedulikan Arka yang sudah memberenggut sewaktu dirinya mengecek ponsel.

"Bri, gue serius!"

"Lah, mang lo kira gue bercanda? Eh, nggak, ding! Soalnya gue rada curiga, bang Nino ada titisan buyut."

"Buyut lo ada titisan lain, Bri?" Arka terkejut bukan main, matanya bahkan sampai terbelalak menuntut kejelasan.

"Ehm... Drakula."

"Yang penghisap darah?"

"Kaya yang di tipi-tipi, ciri-cirinya persis abang gue, kan? Ganteng, kharismatik, gagah, keren, dan rahasianya, kalau semua orang tidur, dia suka cari mangsa. Gigit leher, hisap darah korban sampek kering."

"Sumpah?" Pekik Arka yang berubah menjadi sangat bersemangat mendengarkan konspirasi dari Nino. Bayangannya bahkan sudah melantur, berangan-angan menjadi penakhluk titisan sosok dingin Nino. Beralih cerita romantis seperti ke genre fantasi di film.

Senyum yang terlalu lebar terulas di bibir Arka, dengan rona merah di pipinya, membuat Brian malah menautkan alis.

Tess

Brian menjentik dahi milik Arka untuk menarik kepergian angan kawannya yang sudah terlalu jauh.

"Eistt! Jangan bilang lo percaya sama pendongeng handal kaya gue?"

"Bangsat! Mang minta di tampol nih anak!"

Arka malu setengah mati, memang salahnya yang begitu saja percaya pada ucapan tak logis Brian yang terlalu rutin mencekokinya hingga Arka memang sulit membedakan tipuan Brian.

"Lagian lo, seharian ini kayak nggak ada nyawanya, lemes bener! Bukannya cerita, malah buat gue sama yang lain khawatir aja." Brian membuat alasan, perlahan bantu menurunkan lengan terangkat milik Arka, sebelum tapak jari itu mencap ke wajah tampannya.

Masih dengan wajahnya yang kembali di tekuk, Arka pun menundukkan kepalanya dalam. Khayalan tentang Nino yang titisan drakula nyatanya jauh lebih baik, karena yang dipahaminya, pasti Nino yang akan mengejar dirinya sampai terikat cinta mati. Namun jika di hadapkan pada kenyataan? Berbanding seratus delapan puluh derajat, hampir mustahil untuk Arka menggapai setidaknya perhatian Nino. Pria incarannya terlalu dingin dan misterius dari pada drakula. Lagi pula sedikit saja di sentuh oleh tapak tangan kasar itu, Arka sudah jungkir balik setengah mati, apalagi di gigit di daerah sensitifnya, pasti Arka kejang.

"Gimana gue nggak kepikiran? Masalahnya, Abang lo remes bokong gemes gue malam itu, Bri...!" Sampai akhirnya Arka yang tak bisa menyembunyikan lagi kejadian yang membuatnya mati kutu. Bersimpuh, Arka yang menungging, menenggelamkan raut wajahnya yang sudah tak karuan.

Namun Brian rupanya tak terlalu memahami kegugupan Arka mengenai pengalaman cinta pertama. Malah merespon dengan begitu girang. "Aje gile! Lo menang banyak, dong?"

"Bri, jangan kecengin gue!" Arka memperingati dengan menekan rahang milik Brian.

"Hebat juga, bisa nggoda abang gue yang lempeng. Berarti emang bener, lobang pantat punya lo dalam keadaan bahaya, Ar..."

Plakk

Kali ini Brian sudah pantas mendapatkan tabokan dari Arka, mulutnya asal berucap saja, malah terkesan mengolok.

"Masih sempet-sempetnya lo bercandain gue, lelembut macem apa, lo?" Arka yang masih tak puas terus memukul Brian dengan bantal guling yang terus di tangkis. Membuat kericuhan, karena Arka yang sampai membabat sprei kasurnya untuk disabetkan ke tubuh setengah telanjang milik Brian. Yang akhirnya berakhir jatuh ke atas lantai seperti yang lainnya. 

Brukk

Arka menjatuhkan tubuhnya, membuat partikel debu kecil pun otomatis berterbangan, nampak membumbung jelas menghampiri pantulan cahaya masuk dari jendela bersekat di sisi kiri tempat ranjang. Napasnya menderu, matanya terpejam dengan sangat erat, dengan pelipis yang di pijat perlahan.

"Ye... Lo ngambek?"

"Ya, lo pikir? Dia pasti udah nganggep gue binal banget karena tiba-tiba nyodorin pantat kayak gitu."

"Mang niat awalnya buat siapa?" Brian yang penasaran, lantas mendekatkan wajahnya pada Arka yang otomatis membuka matanya.

"Lo. Ada serangga waktu itu," cicit Arka yang lagi-lagi dengan rona malunya.

"Bukan karena keenakan habis gue kasih tester?" Brian menggoda, dengan bibir yang di basahi liukan lidah yang terlalu sensual, lekas di beri pelajaran oleh Arka dengan menghantam dada kiri milik pria brengsek yang sialnya adalah kawannya itu.

"Gue colongin jepit di kamar Melisa. Biar sekalian dower bibir lo karena julitin gue terus." Arka mengancam, namun masih saja tak bisa menghilangkan seringai yang terlanjur terulas di bibir Brian.

"Btw... Enakan remesan tangan bang Nino atau gue?" ucap Brian sembari menoel dagu milik Arka.

"Bangsat! Gimana kalo gue kubur lo duluan aja?"

Baghh

Arka membanting Brian, melipat lengan terkuatnya di atas dada bidang milik Brian. Wajah mereka hanya berjarak tak kurang dari satu jengkal, Arka yang terlalu bernafsu memberikan pelajaran dengan kedua tangannya yang kemudian tak berhenti menghantam perut sixpack milik Brian. Bahkan dengan gemasnya sampai menggeram. Yang setelahnya pelampiasan Arka di buyarkan oleh jepitan Brian di kakinya, menggulingkan posisi Arka yang semula mengungkung.

"Huekk! Bau asem!" Wajah Arka di jepit tepat di ketiak Brian yang basah. Surai legamnya bahkan sampai saru di lihatnya, bersatu dengan bulu ketiak lebat milik Brian.

Sementara Brian makin mengetatkan dekapannya, memberikan pelajaran dengan otak cerdasnya kepada Arka. "Rasain! Siapa suruh tengil?"

"Hiaat!" Arka yang rupanya masih tak menyerah, berusaha meliuk-liukkan tubuhnya untuk bisa melepaskan diri.

Sampai akhirnya Arka yang terdesak hampir di buat pingsan pun berubah cerdik. Pandangannya tepat menyasar bulatan kecil dengan bagian tengahnya yang sedikit mencuat. Di japit saja puting milik Brian seperti mencomot kismis, masih baik tidak sampai di congkel lepas.

"Akkhh!" Otomatis Brian teriak kesakitan, yang mencela Arka untuk kembali mengambil posisi memang dengan menimpa tubuh telanjang Brian.

Lengannya yang ada di sela helai rambut milik Brian, lantas di tarik kasar. Arka ingin kembali mendengar Brian mengakui kemenangannya saat bergulat. Kalau saja suara pintu terbuka tak mengejutkan keduanya yang kompak menoleh ke sumber suara.

Cklekk

Seorang anak kecil berdiri di ambang pintu, dengan raut polos yang nampak kebingungan untuk memahami posisi dua orang saling timpa di atas ranjang itu.

"Kalian lagi ngapain?"

"Mika?!"

Yang setelahnya Arka bangkit dari tempatnya, beserta Brian yang kali ini kikuk menyembunyikan tubuh setengah telanjangnya yang memalukan di depan bocil.

"Kalian lagi berantem, ya?" Mika curiga karena keadaan kamar kakaknya yang begitu berantakan, begitu juga dengan kedua sosok remaja yang duduk berjajar dengan keadaan tak karuan, terlihat kancing kemeja milik Arka bahkan terlepas. Jangan tanya lagi tentang kondisi Brian yang tak senonoh dengan bagian dada terdapat bercak kemerahan. Apa Mika harus lapor mama? Pikirnya.

"Eh-ehh! Nggaklah, ngapain harus berantem? Kak Brian kan temen kakak, dek..." ucap Arka yang mewanti-wanti niatan Mika untuk menjadi mata-mata patuh untuk mama.

"Hemm... Temen yang saling menyayangi." Dukung Brian yang lantas menunjukkan keakraban dengan merangkul kawannya.

"Hehee..." Meski tawa Arka sedikit sumbang. Kalau saja kalian tahu betapa asamnya bau keringat yang kali ini menempel tepat di baju seragam barunya.

Sampai tak tahan, Arka pun menyingkirkan lengan milik Brian.

"Mika ada yang bisa kakak bantu?"

"Nggak, cuman di suruh mama turun, makan malam siap," singkat. Mika yang setelahnya putar badan dan tak lupa menutup kembali pintu ruangan itu. Ya, Mika memang anak yang begitu baik dan sopan.

Meninggalkan Arka yang sudah tak lagi berniat untuk memberikan pelajaran pada Brian yang meringis canggung.

"Yuk ah, nanti aja di pikirinnya, kesehatan utama, Ar..." ucap Brian dengan mengambil baju seragamnya yang di taruh begitu saja di lantai.

"Tapi gue masih nggak bisa nyingkirin rasa malu gue waktu itu, Bri..." Melas Arka yang seolah tengah mengadu.

"Trus? Lo maunya gimana? Sampai gini aja perjuangan, lo?" tegas Brian sembari fokus memasang celana abu-abunya.

"Tapi abang lo terlalu sayang buat di lewatin, Bri..."

"Ya udah, tebelin muka aja, berjuang lagi deketin dia. Beres, kan?" dukung Brian sembari menakup rahang kecil milik Arka.

"Tapi..."

"Anjng! Gue dah laper!"

Sialan! Dua kali Arka terjebak. Di kiranya Brian benar-benar khawatir terhadap dirinya, nyatanya kawan yang di akui terdekatnya itu masih mementingkan asupan lezat yang di jaminkan di meja makan.

"Seperti biasanya, masakan tante Ririn selalu luar biasa."

Chương tiếp theo