webnovel

Sohip

"Gue heran banget. Nih, ya... Sekolah kita itu kan punya bus, kemarin juga yang nganterin kita. Tapi kenapa tanggung banget ngasih bantuannya? Kenapa nggak sekalian nganterin kita ke tanjakan atas?"

Arka lagi-lagi menggerutu. Setelah pagi harinya di mulai dengan sedikit mengesalkan karena di permalukan dengan julukan tulang lunak hanya karena menghafal gerakan senam.

Jelas saja pemikiran mereka sangat diskriminatif, bagaimana bisa mereka mengidentikkan sesuatu dengan pemilihan gender? Tunggu dulu, apa jangan-jangan satu kelompoknya yang terbahak dan mengakibatkannya masuk dalam golongan kalah permainan karena menertawainya yang berbakat? Benar-benar setan!

Yang setelahnya jelas membuat Arka makin mengisutkan wajahnya, terlebih saat panitia osis menyuruh para siswa baru untuk berbaris setiap regunya. Bergilir, wajah mereka di coret dua ruas jari di masing-masing pipi dengan cairan berwarna hitam, cepat mengering dan lama-lama sangat gatal. Sungguh, Arka yang bodoh memang tak mengetahui fungsi wajah tampannya yang malah di buat cemong. Apakah agenda jelajah mereka memang lagak menjadi pejuang di medan pertempuran?

Rupanya memang permainan mengisi air ke dalam botol itu tak ada gunanya, kesalnya juga tak berguna. Karena keuntungan yang di dapatkan setelah memenangkan permainan hanya di perkenankan jalan terlebih dahulu untuk menjelajah. Arka yang jelas sama sekali tak bersemangat, beransur pias dengan gurat wajah terjatuh, sangat menjengkelkan. Mereka hanya di permainkan oleh segerombolan berseragam yang usianya hanya berjarak tahun di atasnya saja.

Lain halnya dengan Brian yang terlalu peka untuk menyadari tawa cekikikan dari tim regunya yang masih tak henti. Ya, apa lagi kalau bukan masalah cangcut?

Tapi bagusnya Arka yang tak menyadari jika dirinya di jadikan bahan ledekan. Kalau tidak, pasti lagi-lagi Brian yang terkena imbas kena pelampiasan kesal. Tak bisa di bayangkan lagi apa yang di korbankan, setelah beberapa helai rambutnya yang tercabut paksa dari akarnya tadi.

"Tapi kenapa nggak ada yang protes kayak gue ya, Bri?" tanya Arka dengan punggung yang beransur membungkuk, untung saja langkah malasnya di titah oleh Brian.

Brugh

"Aduh!" Arka mengaduh, jidatnya terbentur punggung keras milik Brian yang berhenti mendadak. Sulit mengendalikan, terlebih posisi turunan yang membuatnya terdorong untuk lekas menggelinding.

"Beg-" olokan Arka terhenti oleh sebuah jari telunjuk yang menempel di bibir setengah terbukanya. Arka otomatis bungkam, lantas di ambil alih cepat oleh Brian yang sudah pengang menjadi pendengar setia, kupingnya panas.

"Bego, nih anak! Namanya juga jelajah alam, kalo lo mau pariwisata... Baru wajar ngerengek protes kayak gini."

Tunggu dulu, apakah Brian baru saja meninggikan nada suaranya di tengah pasang mata yang mendadak menjadi penonton? Mempermalukan Arka, Brian juga mendorong dahinya? Sungguh, Arka terkesiap, tubuhnya otomatis menegak, netranya terbelalak dengan mulut menganga lebar.

"Kok lo ngegas, sih? Gue kan cuman berkeluh kesah, kalo nggak mau dengerin, ya udah! Biasanya otomatis tutup kuping kan?" Arka balik menyentak, meski setelahnya masih menunggu Brian untuk membujuknya. Satu, dua, bahkan sampai Arka mencapai hitungan ketiga, rupanya Brian masih saja menatapnya datar.

Arka kesal, menghentakkan kakinya, "Bye!" lantas mengadukan sisi bahunya dengan milik Brian sekuat tenaga. Melenggang pergi dengan memberenggut, wajah suram, lebih sialnya lagi, tulang belikatnya ngilu. Tapi demi mempertahankan emosinya, Arka menahan ringisannya.

Brian yang menatap punggung Arka yang makin menjauh, membuatnya tak habis pikir. "Loh, kok jadi tuh bocah yang marah?"

Sampai menit selanjutnya Arka masih menjaga jarak, makin mempercepat langkah kakinya saat Brian hendak mensejajari. Arka yang marah memang mendadak bergas sampai membuat yang lainnya berdecak kagum.

Posisi Arka yang menjadi pemimpin untuk tim regunya, seketika saja menghentikan langkahnya. Seperti melihat penampakan yang menyeramkan hingga beransur langkahnya mundur dengan gemetaran.

Siksaan baru, buruknya terjadi di hadapannya terlebih dahulu.

"Huaa...! Tidak...!" Jeritan bersahutan yang anehnya masih begitu jantan. Aliran sungai kecil yang begitu jernih, menjadi tempat mereka mendapat siksaan, bahasa sopannya di tempa fisik.

Lagi-lagi berbaris, begitu mudahnya panitia mendorong satu per satu peserta dalam kubangan air dingin.

Bukan masalah air dingin yang masih mampu membekukan tubuh di waktu matahari sudah bersinggah sana di titik kuasanya, melainkan mereka yang di pastikan basah kuyup, harus menahan semilir angin kencang yang makin membuat tubuh menggigil.

Arka tak bisa memperkirakan berapa lama tubuhnya berbaring di aliran sungai, yang pasti saat regu selanjutnya datang menjadi pengganti  yang terlalu terlambat. Kulit di telapak tangannya bahkan sudah berkerut, seolah tubuhnya menjadi spon yang telah menyerap cairan dingin itu dengan mudah.

Menelengkupkan lengannya di depan dada. Tetes air yang berlomba-lomba jatuh saat gerakan langkah kaki Arka menghentak kembali melanjutkan perjalanan.

Kondisi satu jalan yang menanjak, harus lebih berhati-hati karena memang harus berbagi dengan kendaraan yang sesekali hilir mudik. Tanpa mempedulikan Brian yang membayanginya, atau bahkan suara lirih cekikikan yang masih tak di pahami alasannya.

"Cinta alam atau cinta tanah air?"

"Heh?" Arka tak paham, saat tiba-tiba saja seorang panitia pria menyodorkannya sebuah pilihan.

"Ayo, cepet jawabnya!"

Arka terkesiap, lambat berpikir, dan pastinya tertipu raut murah senyum yang tiba-tiba saja berganti memelototinya.

"Punya mulut nggak? Atau tenggorokan kering sampe nggak bisa ngeluarin suara? Nggak sempet nyruput air kali?!" Malah sang senior lebih keras membentak. Wajahnya di majukan, sementara Arka langsung menutup rapat mata dan juga hidungnya, menahan napas sejenak, merasakan cipratan liur yang kembali membasahinya. Iuhhh! Bau jigong!

Kalau saja tak sedang terikat aturan, dengan senang hati Arka melayangkan bogem mentahnya di raut menyebalkan itu.

"Cepetan jawab!"

"Tanah air!" Suara Arka bahkan sampai menggeram.

"Bagus." Dua jempol di arahkan tepat di depan wajah Arka yang kebingungan. Sudah, begitu saja? Pikirnya.

Namun tidak setelah sebuah lengan menahan bahunya, telunjuk yang di arahkan ke bawah, dan dengan raut wajah meremehkan, dengan mudahnya memerintah. "Tengkurap di tanah, habis itu buktiin bakti kecintaan kamu. Cium tanah!"

Whattt! Apa korelasinya? Berikan pemahaman pada Arka yang berotak tumpul itu supaya bisa sedikit mengerti. Memang benar, ia menjawab asal pertanyaan pilihan ganda itu, namun tak sampai bisa diperkirakannya kalau salah satunya merupakan jebakan?

Arka yang bengal dan sebelumnya di resmikan sebagai berandal sekolah pastinya menolak, tapi bukankah saat ini dirinya belum menjadi bagian dari anak SMA seutuhnya?

Geramnya Arka tak ada pilihan saat satu per satu dari kawan-kawannya menuruti perintah. Ya, kapok untuk menjadi yang pertama, karena yang lain dari kelompoknya memilih jawaban lebih aman. Cinta alam, hanya mencium pohon? Termasuk juga Brian? Apakah rekannya itu sudah tak lagi solid?

Beberapa pasang mata panitia yang kali ini menantinya, dengan lengan bersendekap tertuju pada Arka yang masih membujuk egonya untuk sementara di turunkan.

Beberapa dari mereka bahkan sampai berdecak tak sabaran. "Lo nggak tahu caranya atau gimana? Perlu gue jorokin supaya lo langsung tengkurep dan cium tanah?!"

Sudah. Hanya dengan beberapa menit Arka sudah merasakan pengang di telinganya akibat bentakan dari pria di hadapannya itu. Meski bodoh, Arka adalah tipe pengingat yang sangat baik, yang pastinya akan menandai rupa seseorang pria yang merendahkannya. Ingatkan Arka untuk balas dendam jika waktunya sudah tepat.

Kali ini hanya bisa mengalah, perlahan menekuk lututnya. Meski emosinya kembali di permainkan dengan posisi berbaris tiga orang panitia yang seakan mengemis untuk di sembah.

"Kepalanya kurang nunduk!"

"Bibir mu kayak belum nyentuh tanah, tuh!"

"Mau di bantu dorong kepalanya, nggak?"

Wah! Kalau begini caranya, Arka harus mengingat ketiga wajah pria yang menistakannya, kan?

Cupp

Tidak cukup sekejap, karena saat Arka hendak mengangkat tubuhnya, sebuah lengan menekannya untuk di tenggelamkan lebih dalam, menjorok ke tanah. Bahkan sekejap Arka tak bisa bernapas dengan benar, wajahnya terlalu tenggelam.

"Bangsat!" Mengumpat kasar setelah Arka kembali bangkit. Matanya balik memelotot, lantas pergi meninggalkan ketiga panitia yang berganti terkesiap.

Jika dalam kondisi emosi yang tak stabil ini, Arka pasti mengingat peran kawan-kawannya. Yuda yang nampak kurang peduli, namun begitu tanggap berdiri untuk memberikannya pembelaan paling depan. Zaki yang paling bijak dan begitu cepat menggiringnya pada pemikiran dingin. Arka lengkap bersama mereka.

"Ar!"

Dan juga Brian yang selalu berdiri di sampingnya dan menyediakan dada untuknya bersandar. Ketiga kawannya yang melengkapi.

Memutar badan, Arka seketika saja menyeruduk Brian. Menenggelamkan wajahnya, dan mengusik di dada kawannya itu.

Tanah yang setengah basah dan membuat wajahnya semakin buruk rupa, tak serta merta menghilangkan, malah meratakan dan membandel di seragam basah Brian. Tampilan Arka benar-benar seperti bocah nakal yang main lumpur di sawah.

"Hemmbz..." Brian menahan tawa, sementara Arka yang merasa bisa berkaca di obsidian bening kawannya itu langsung berjingkrak jengkel, kembali mengusikkan wajahnya di seragam Brian, berharap bisa memunculkan kembali ketampanannya.

Daghh

Namun salah kedua kakinya yang tak ikut berpartisipasi dan malah meloncat-loncat tak jelas. Jadinya, dagu Brian yang menjadi korban karena terantuk tempurung kepala Arka. "Akkhh! Aduh!"

"Eh!" Sampai Arka lupa jika tengah marahan dengan Brian. Bukannya minta maaf, ia malah berniat melengos pergi, mengabaikan Brian yang tengah meringis kesakitan.

"Mau kemana? Eh?" Brian mencekal pergelangan tangan Arka sebelum pergi. Raut wajah yang masih begitu kusut, dengan bola matanya yang berputar malas. Ya, tanpa rasa bersalah, dan untungnya Brian mengenal sikap Arka.

"Ar, boleh ngomong jujur?"

"Paan?"

"Selain baru terik matahari sama keringat, rambut lo juga bau pesing. Pasti karena cangcut merah tadi pagi, kan? Hahaaa...."

"Bri!"

Dan kelebihan Brian yang tak banyak orang tahu, pria itu dengan mudahnya merubah suasana hati Arka yang sebelumnya buruk. Hanya dengan celotehan konyolnya, atau bicara Brian yang apa adanya?

Lihat saja bagaimana Arka dengan begitu semangatnya mengejar Brian yang berlarian. Jangan lupakan telapak tangan terkepal erat yang di acungkan sebagai ancaman.

Jangan tanya respon kawan-kawan satu regu mereka yang lagi-lagi menjadi penonton. Setelah melihat adegan tumpang tindih, sekarang kejar-kejaran romantis seperti di film India?

"Woi, kita liat drama apaan, nih?!" celetuk Fahmi- ketua regu, yang hanya di balas gidikkan bahu yang lain.

Chương tiếp theo