webnovel

Hilang

Hari penerimaan siswa baru

.

.

.

"Yaampun, Rai! Jam berapa ini!."

Bang Bang Bang

Terdengar suara pintu yang digebrak dengan keras. Aku meraih sebuah bantal dan menutupi kepalaku. Agar suara bising dari mamah tidak terlalu kentara.

"Aduh, Mah ... Apa, sih, pagi pagi? aku masih ngantuk." aku mengeluh.

"Bangun nggak?" sekali lagi mamah menggedor pintu kamarku. Ini bahkan masih malam, kenapa dia begitu bersemangat mengganggu tidurku.

"Nggak!."

"Astaga ni anak, Kamu mau berangkat jam berapa kalo tidur terus. Kamu kan tau kalo hari ini kamu ada kegiatan."

"Ini masih malem mah, aku kan bisa berangkat jam 4 subuh nanti." sanggahku.

"Ini jam 4 lewat tahu, udah hampir subuh!."

Mendengar itu, seketika aku melompat dari ranjang. "Hah?!"

Aku refleks melirik kearah jam di tembok. Sial, Mamah tidak bohong. Kalo begini ceritanya aku bisa telat ke sekolah.

Aku merogoh ponsel di bawah bantal. Sudah ku tebak pasti teman teman seorganisasiku mencoba menghubungi. Dan benar saja, 20 misscall bertengger di layar utama.

"Cepetan mandi, mamah mau buatin kamu makanan dulu. Awas ya, jangan tidur lagi!"

"Iya," Aku mengucek mataku dan duduk ditepi ranjang untuk mengumpulkan kesadaran.

Hari ini adalah hari penerimaan siswa baru disekolah dan nasib burukku adalah menjadi ketua panitia penanggungjawab acaranya. Mau tidak mau aku harus berangkat awal sekali agar acara pagi ini berjalan lancar.

Seharusnya aku menginap disekolah bersama anggota yang lain. Tapi aku terlalu malas. Ditambah film dewasa yang diberikan Erik kemarin membuatku sulit tidur dan alhasil bangun kesiangan.

"Sialan ... Awas aja tuh si Erik."

Aku menggerutu sambil menarik handuk dari atas kursi dan langsung bergegas ke kamar mandi.

____

Preinan POV

Jam berputar ke angka 05.34 WIB.

Seorang pelayan hampir selesai merapikan setelan yang ku pakai. Hari ini adalah hari dimana aku masuk SMA. Dan pastilah hari yang paling menyusahkan yang pernah aku bayangkan.

Tidak ada satu hal pun yang membuatku tertarik tentang SMA. Lagipun, apa enaknya? Toh aku tidak pernah sempat punya teman.

Setiap kali pindah sekolah, setiap kali mencoba mencari teman, Papah selalu saja berpindah tugas. Huh, dan itu membuatku tidak punya teman satu pun.

....

Suara pintu kamarku berderit pelan, dibarengi suara langkah kaki besar yang sangat familiar.

"Papah bangun? Ini kan masih subuh."

Aku menyuruh pelayanku keluar dengan isyarat tangan.

"Papah mau anterin kamu ke sekolah, makanya Papah bangun lebih awal." jawabnya sambil memegang pundakku dari belakang.

Aku berdiri di depan cermin yang besar. Dimana begitu jelas bagaimana perawakan kami terefleksikan. Aku adalah anak dari seorang ayah berperawakan tinggi dan besar. Tapi, tubuhku justru berbanding terbalik dengan beliau. Kecil dan kurus.

"Gak usah. Aku bisa dianter sama pak Eko. Papah kan punya banyak kerjaan."

"Papah bisa kok. Tenang aja."

Aku tersenyum cerah, entah Papah benar benar akan mengantarku atau tidak tapi mendengarnya saja sudah membuatku senang.

...

"Eh, tuan Preinan! Makan dulu."

Asisten rumah tanggaku berteriak sambil berlari menyusulku ke ambang pintu. Di tangannya dia membawa nampan yang berisikan sarapan.

"Nggak usah bi, lagi buru buru." aku menyaut lantang dan tak mengalihkan pokusku pada tali sepatu. Aku harus cepat. Karena papah sudah menungguku dimobil.

"kamu yakin gak mau sarapan dulu?" tanya Papah dengan kepala yang dijulurkan keluar jendela mobil.

"Nggak, aku beli makan dikantin sekolah aja."

Aku membuka pintu samping mobil lalu menaruh tasku dikursi belakang.

Entah karena alasan apalagi, yang jelas detik ini aku benar benar senang bukan main. Untuk pertama kali dalam beberapa bulan terakhir, aku duduk disamping Papahku.

Jujur, walaupun kami tinggal satu atap, tapi kami jarang sekali bertemu. Untuk seorang anak tunggal sepertiku rasanya sangat sepi dan seperti terabaikan. Ditambah orangtua yang sudah bercerai, dan itu membuat kehidupanku jadi terasa buruk.

"-"

Aku tidak mau melewatkan momen langka ini hanya dengan berdiam diri. Jadi, aku berpikir untuk mengajak papahku mengobrol.

"Oh iya, Pah .. Aku hari ini Preinan s-"

Baru saja aku membuka suara, ponsel Papah terdengar berdering keras, tentu saja aku tak melanjutkan ucapanku karena Papah pasti lebih fokus dengan ponselnya dibanding mendengar aku bicara.

Sepanjang perjalanan Papah terus disibukkan dengan menelpon dan ditelpon. Ah, rasanya mending dianter pak Eko supir pribadiku. Setidaknya dia lebih bisa diajak mengobrol.

Gerbang sekolah mulai terlihat dari persimpangan. Papahku menghentikan mobil tepat didepan pintu gerbang. Ya, dan dia masih saja memegang ponselnya.

"Bukannya, kamu buru buru ya? Ayo cepet masuk." ucapnya saat aku berdiam diri. Sebenarnya aku mau menunggunya selesai menelpon dan berpamitan dengan benar. Tapi sepertinya dia tidak peka.

"Iya, pa .. Aku cuma ma-"

"Iya iya pak Gris, saya segera kesana .. Bapak bisa minta jurnalnya ke sekertaris saya .. Iya iya. Dia bawa, kok."

Sekali lagi, dia tidak mendengarkanku. Biasanya aku memang berhenti bicara saat dia mulai sibuk dengan pekerjaannya.

Tapi, ini pertama kalinya dia tidak memperhatikan ucapanku dan pergi memutar mobil tanpa mengucapkan selamat tinggal atau sepatah kata apapun.

Apa dia tidak berniat memberiku semangat? Dia tahu kalau ini adalah hari pertamaku disekolah yang baru. Hah, rasanya seperti dicampakkan.

Yang membuatku menjadi sangat marah adalah Papah tidak pernah sekalipun mencoba mendengarkan kalimat yang keluar dari bibirku sampai selesai.

Dia menyayangiku, aku percaya. Tapi, dia sepertinya sudah semakin lupa bagaimana caranya menyayangi seorang anak dengan pantas.

Dia mungkin kira, hanya dengan uang yang dia hasilkan aku bisa bahagia. Memang iya. Aku akui. Tapi jauh didalam hati aku membutuhkan yang lain. Sesuatu yang sederhana. Yang tidak pernah bisa ia berikan padaku seutuhnya.

Kasih sayang.

Aku masih berdiri ditepi jalan. Lalu tak sengaja melambaikan tangan pada taksi yang kebetulan lewat. Entah untuk alasan apa aku menaiki taksi ini. Tapi, aku sudah hilang semangat untuk mengikuti acara di sekolah.

"Mau kemana dek?" tanya sang supir.

"Lurus aja pak."

"Bapak kira kamu mau sekolah,"

"Iya, ada yang ketinggalan di rumah"

____

Chương tiếp theo