webnovel

Part One of My Life; Starting.

Deuteronomy 27:25

'Cursed is anyone who accepts payment to kill an innocent person.' And all the people will reply, 'Amen.'

Sudah sekitar satu tahun sejak aku mengenal Mr. Christ. Segala gelagat dan tingkah lakunya masih menjadi misteri bagiku. Aku hanya mengenal merk rokok yang selalu dia isap; Marlboro. Di Prior Street ini saja, ada jutaan orang yang menggunakan rokok yang sama.

Jam 5 pagi. Kubuka pintu keluar dari apartemenku yang butut, menemui Mr. Christ di belakang Woodrow Church. Klise sekali, Mr. Christ and a Church. I wonder what's his religion?

Aku menyusuri Prior Street di pagi hari bukanlah sebuah pemandangan yang lazim. Maka dari itu, setiap keluar dari rumah, aku selalu mengenakan coat tebal dan topi. Yang selalu kuganti tiap hari. Karena orang bisa mengenali seorang pembunuh bayaran dari bajunya, aku selalu membuang bajuku satu-dua bulan kemudian.

Aku melangkah pelan dan menunduk ke bawah sampai akhirnya aku melihat sebuah plakat gereja umumnya. 'Woodrow Church – Prior Street'. Di bawahnya tertulis, "God would not have mercy on the sinners!" Aku melihat ke sana kemari, mencari seseorang yang sudah menungguku.

"You're late." Kata sesosok putih rapi, lengkap dengan jas dan rompinya yang hitam, datang dari kegelapan pintu masuk gereja.

Aku menoleh ke depan. "Yeah," kataku melepas topiku. "Jalanan macet sekali tadi." Kataku lagi melihatnya dalam-dalam.

"Funny, William." Kata Mr. Christ mengambil sebatang Marlboro dari saku jasnya. "Ada target baru untukmu." Katanya menyodorkan map berwarna coklat tua dengan stamp merah bertuliskan confidential – finish immediately.

"Politician?" kataku membuka map itu. "Politician." Balas Mr. Christ sambil mengeluarkan asap rokoknya dari mulutnya yang jarang terbuka itu. "Shite, man. I love taking down leech off of this country from their ivory towers." Kataku sedikit tersenyum. Ya. Kontrak membunuh politisi selalu memberikanku sebuah sense of achievement. Selain melihat hasil seniku ditampilkan di seluruh North Suisse – bahkan seluruh dunia – mencabut nyawa mereka membuatku merasa seperti pahlawan dalam ceritaku sendiri.

"Tidak secepat itu, mate." Kata Mr. Christ mengambil secarik foto dari saku jasnya. Terpampang foto kucel seorang pria paruh baya dengan rambut pirang. "This lad right here," kata Mr. Christ sambil menuding jari ke mukanya, "Terrence Golden, adalah politisi partai lama di negara ini. Ada banyak bodyguard di sekelilingnya. Ketika di mobil. Ketika melihat film opera bersama keluarganya. Hell, even when he's asleep." Kata Mr. Christ meremas foto di tangannya dan membakarnya menggunakan geretannya.

"Aku akan menemukan caranya." Kataku yakin. "Toh, aku pasti akan menemukan celah di kehidupan pribadinya." Kataku membuka lagi map coklat tua itu lagi. "Dia tinggal di mana?"

"Ruby Avenue." Kata Mr. Christ menyodorkan sebuah set kunci pada mukaku.

"Bollocks, mate!" teriakku padanya. Kunci itu nyaris saja melukai wajahku. "Be careful with what you are holding, alright?"

"Ini adalah kunci apartemen yang kusewa." Kata Mr. Christ tidak menggubris teriakanku. "Hanya berjarak dua blok dari rumahnya. Aku yakin kamu akan menemukan celah untuk memecahkan kepalanya."

Aku mengambil set kunci itu dari tangannya, dan melihat dalam-dalam lagi map coklat tua ini.

Terrence Golden adalah seseeorang yang banyak menggunakan yang dikenal dengan trik-trik kotornya. Mempunyai dua anak dan seorang istri. Sepertinya seorang yang menjunjung tinggi agamanya walaupun tindakannya bertolak belakang. We'll find that one out later on, I guess.

"Jangan kecewakan aku, William." Kata Mr. Christ menghisap dalam-dalam batang rokoknya. Aku mengalihkan pandangku dari map tadi menuju wajahnya. "The money's good. And a refined gentlemen like you could always use the cash." Katanya tajam sambil menghembuskan asap rokoknya. Lalu dia membuang puntung rokoknya ke jalanan sembari berjalan meninggalkan aku.

Well, aku adalah seorang pembunuh bayaran. Mungkin benar hukumnya kalau aku selalu membutuhkan uang tambahan. But being a gentlemen? Nah.

Aku kembali ke rumahku dan mengambil semua peralatan yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan ini, dan menaruhnya di dalam satu tas hitam besar.

Lalu aku keluar dan memanggil cab untuk pergi ke Ruby Avenue. I hope Terrence has been doing a lot of prayers these time around. He's going to need it. Suara deru mobil kuning ini menghempaskan kesunyian malam larut ini, menuju esok hari aku mencari nafkah.

Chương tiếp theo