webnovel

Pengakuan Tak Terduga

Pukul 15.00 Ruby membuka pintu rumah. Ia melangkah ke arah dapur dan membuka lemari es. Hanya ada botol minuman kosong yang tersisa, padahal ia amat membutuhkan air dingin. Kemudian ia berbalik, berdiri didepan laci dapur sedikit berjinjit untuk menggapai wadah kopi. Dan wadah kopi itu pun kosong, ia memijit pelipisnya. Minuman tidak ada, makanan-pun tidak ada. Ia harus pergi belanja sekarang.

Hari ini sangat berarti bagi Ruby. Sebuah langkah maju telah ia lakukan. Jika ada seseorang yang bertanya kegiatannya, maka dengan bangga ia akan menjawab; aku bekerja sebagai sekretaris. Ia tidak lagi menggantungkan hidupnya pada ayah, Jack, maupun Sonia. Ingin sekali ia memberi tahu Jack atau Sonia bahwa ia sudah sama dengan mereka sekarang. Paling tidak, hampir sama. Sudah berpenghasilan dan punya kesibukan.

Baru saja ia hendak membuka pintu rumah tanpa disangka sosok cantik Sonia sudah berdiri diambang pintu. Perempuan itu mengulas senyum yang sedikit berbeda, seperti ada sesuatu yang disembunyikan dibalik senyuman itu.

"Aku sudah pulang, aku bawa oleh-oleh untukmu". Kata Sonia dengan ceria dan masuk begitu saja ke dalam rumah Ruby sembari membawa sebuah lukisan. Ruby hanya diam memperhatikan tingkah Sonia yang nampak berbeda hari ini.

"Kapan kamu pulang? Kenapa tidak menelepon ku?". Tanya Ruby bertubi-tubi sembari mengambil tempat duduk tepat disamping Sonia. Keakraban keduanya memang terjalin dengan apik, Ruby tak segan menganggap Sonia seperti kakak-nya sendiri.

"Ah... maafkan aku. Kamu tahu kan pekerjaan sebagai dokter itu sangat sibuk. Apalagi disana aku melakukan banyak hal yang merepotkan". Jelas Sonia yang ditangkap tengah pamer oleh Ruby.

"Sombong sekali. Bukan hanya kamu saja yang sibuk, aku juga".

"Oh ya? Apa yang kamu lakukan saat aku tidak ada?". Tanya Sonia antusias.

"Bekerja sebagai sekretaris". Sahut Ruby sombong.

"Wow... keren. Darimana kamu bisa mendapatkan pekerjaan itu?". Tanya Sonia lagi. Bukan bermaksud meremehkan, hanya saja agak sulit bagi Ruby yang notabene malas bersosialisasi itu untuk mendapatkan pekerjaan dengan posisi bagus bukan?

"Victor. Aku sudah berdamai dengannya sesuai saranmu". Sonia membuka mulutnya beberapa detik sebelum memberikan apresiasi pada Ruby dengan mengacak rambut perempuan itu.

"Bagus. Tapi maaf aku kesini bukan untuk mendengarkanmu curhat. Aku punya hadiah untukmu". Dengan riang Sonia menyobek koran yang ia gunakan untuk membungkus lukisan ditangannya.

"Aku melukis ini sendiri khusus untukmu. Di Jogja aku melakukan banyak hal, termasuk melukis". Ruby menatap lukisan didepannya, lukisan yang indah dan tentu saja memiliki makna tersirat.

"Lukisan ini bagus, tapi tidak mungkin orang sepandai dirimu melukis tanpa menyiratkan makna". Ujar Ruby. Sonia mengulas senyum tipis kemudian meraih jemari Ruby. Sudah saatnya ia ungkapan apa yang menjadi kesulitannya selama ini, kesulitan karena mencintai Ruby. Cinta yang tidak sepantasnya ia pertahankan.

"Aku ingin bicara tapi tolong jangan berkomentar apapun sebelum aku selesai...". Sonia terlihat serius saat ini, sehingga yang bisa Ruby lakukan hanyalah mengangguk dan berusaha menjadi pendengar yang baik.

"Aku ke Jogja bukan hanya sekedar kerja dan liburan, tapi aku berobat. Sayangnya sakit yang ini tidak bisa disembuhkan dengan obat apapun. Perlu banyak terapi dan pemulihan, butuh teman bicara yang tepat. Pada akhirnya psikolog sepertiku juga membutuhkan teman bicara kan Ruby?". Mata Sonia berkaca-kaca. Patah hatinya berbeda dari yang lain. Orang normal pada umumnya bisa mencari pelarian kala patah hati, mereka bisa mencari pengganti dengan mudah.

Tapi tidak untuk Sonia, siapa yang bisa ia jadikan pelarian jika ia hanya tertarik pada Ruby saja? Itulah masalahnya. Patah hati yang sesungguhnya adalah ketika kamu bebas mencintai siapapun tapi tidak bisa memilikinya, sampai kapanpun tidak akan pernah bisa. Dengan usaha apapun tetap tidak bisa.

"Kamu bisa menjadikanku teman bicara Sonia, aku akan mendengarkanmu bahkan sampai telingaku berdarah". Ujar Ruby dengan tulus.

"Aku akan tambah sakit jika begitu, kamu adalah sumber sakit itu". Ruby terdiam. Ia belum mengerti arah pembicaraan Sonia.

"Dengarkan aku..". Sonia semakin mengeratkan genggamannya, ia mencoba menjelaskan makna dari lukisan yang ia buat.

"Ada dua orang yang terjebak didalam toples. Wanita itu bersembunyi di dasar lautan yang seakan-akan dipenuhi racun, hidupnya berantakan. Dia enggan naik ke daratan karena merasa tidak ada tempat baginya, daratan terlalu kejam. Sementara itu ada seorang pria yang ingin membebaskan si wanita dan membawanya ke daratan tapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Padahal ia telah menyiapkan tempat yang paling indah di daratan. Si wanita selalu dipenuhi keraguan, sekarang kamu sudah paham analogiku?". Tanya Sonia memastikan. Ruby menatap lukisan Sonia dengan mata berkaca-kaca. Mulai memahami makna dari lukisan didepannya.

"Si wanita bodoh itu adalah aku, dan pria yang selalu menunggu di daratan itu adalah Jack". Sonia tersenyum mendengar jawaban Ruby.

"Kamu benar, dan pemilik kunci ini adalah aku". Sonia menunjuk gambar kunci diluar toples.

"Si pemilik kunci ini berharap bisa menggantikan pria itu, tapi ia sadar jika ia tidak akan bisa. Lebih tepatnya memang tidak seharusnya, karena perasaannya salah. Cintanya tidak berlabuh ditempat yang semestinya. Dan yang bisa ia lakukan adalah membebaskan dua insan itu kemudian mempersatukannya. Ia akan membuka toples dengan kunci dan menciptakan alur yang bahagia untuk mereka". Lanjut Sonia yang kini merasa sangat lega, akhirnya ia bisa mengungkapkan perasaannya pada Ruby.

"Sonia, jangan bilang kamu...".

"Maaf Ruby karena sudah mencintaimu, tapi kamu tenang saja. Aku akan pergi berobat keluar negeri. Saranku temui Jack dan perbaiki hubungan kalian. Jack masih menunggumu". Hal yang tidak pernah Ruby duga, bahkan seorang wanita pun jatuh cinta padanya.

***

Selepas kepergian Sonia, Ruby segera ke minimarket. Sejujurnya perempuan itu masih shock dengan pengakuan Sonia tadi. Bagaimana mungkin wanita karier, pintar, dan cantik memiliki perasaan yang menyimpang? Ya setiap manusia pasti memiliki sisi gelap, hanya saja sisi itu masih dijaga dengan baik oleh Tuhan. Termasuk dirinya sendiri.

Di minimarket Ruby memborong sekardus mi, beberapa bungkus kopi, dan dua kotak rokok. Matanya berhenti melihat coklat. Ia menatap coklat itu namun tangannya tidak bergerak untuk mengambilnya. Ia berbicara perlahan pada coklat itu.

"Kenapa Jack begitu menyukaimu, coklat? Apa hebatnya dirimu? Aku masih ingat apa kata Jack, bahwa kamu adalah penyembuh rasa sedih, bahwa kamu bisa membuatnya senang. Apa jika aku memberikanmu padanya dia akan memaafkan segala kesalahanku?". Tangan Ruby bergerak untuk mengambil beberapa batang coklat.

"Aku tidak begitu menyukaimu, tapi aku akan membelimu. Bukan berarti aku menyukaimu, bukan! Aku membeli hanya untuk Jack. Aku ingin memberinya coklat selama ia hidup karena aku menyakitinya dan itu membuatku merasa bersalah hingga sekarang. Jadi bantulah aku coklat untuk bisa membuatnya bahagia melaluimu".

Beberapa orang yang kebetulan lewat didekatnya menoleh kearah Ruby, namun ia tidak peduli. Ruby berniat mengirimi Jack coklat setiap hari tanpa sepengetahuan lelaki itu.

"Mulai hari ini aku akan mengiriminya coklat". Janji Ruby.

Keesokan harinya sebelum berangkat kerja, Ruby singgah sebentar di rumah Jack untuk menyelipkan sebatang coklat diantara jeruji pagar rumahnya. Begitu dengan esok pagi dan esok pagi selanjutnya. Coklat itu hanya bisa ia selipkan tanpa berani memberikan secara langsung. Coklat-coklat itu selama tujuh hari ditemukan oleh pembantu Jack sampai ia kembali dari luar kota dan melihat sebungkus coklat terselip di pagar rumah saat ia datang. Ia membawa coklat itu masuk dan bertanya kepada pembantu yang menyambutnya.

"Dari siapa coklat ini, Mbok?".

"Tidak tahu, Tuan. Setiap pagi Mbok menyapu halaman dan selalu menemukan coklat terselip di pagar". Jack mengerutkan keningnya tanda bingung. Pembantunya memberikan tujuh coklat padanya.

"Ini Tuan, coklatnya masih Mbok simpan. Sepertinya coklat ini untuk Tuan". Jack hanya tersenyum simpul dan masuk kedalam kamar. Ia jejerkan coklat-coklat itu dimeja kerjanya. Ia memperhatikan coklat-coklat tersebut sambil mengira-ngira siapakah orang yang mengirim coklat-coklat itu?

"Ruby? Mungkinkah?". Lirih Jack. Hanya Ruby dan ibunya yang tahu jika ia maniak coklat. Jack cenderung cuek pada perempuan manapun, tidak ada perempuan lain yang tahu banyak tentangnya kecuali Ruby. Dan faktanya Ruby adalah cinta pertama dalam konteks yang sesungguhnya.

Rasa penasaran tentu saja menggelayuti hati Jack. Masih bolehkan ia berharap pada Ruby meski mustahil? Jikalau dugaannya tepat, Ruby yang mengirim coklat untuknya, ia masih punya kesempatan bukan?

***

Chương tiếp theo