Namanya Hirano Kevin, putra dari pengusaha terkenal Tuan Hirano Ryo dan Nyonya Sofia Wijaya. Pemuda keturunan Jepang Indonesia itu, menghabiskan sebagian masa remajanya di Jepang, sebelum akhirnya ia memilih tinggal di Indonesia, tempat kelahirannya. Meski terlahir di keluarga yang berada, tapi ia sama sekali tak ingin bergantung pada orang tuanya.
Tujuh belas tahun yang lalu, ia masih tinggal di Jepang. Saat itu, ia duduk di bangku kuliah di salah satu universitas ternama di Tokyo. Ia dan orang tuanya memang berkebangsaan Indonesia. Namun, karena ayahnya sedang mengurus perusahaan cabang di Tokyo, maka ia pun akhirnya sekolah kuliah di Jepang.
Di sana, ia mengenal seorang gadis asli keturunan Jepang. Mereka satu jurusan. Dia berbeda dengan gadis-gadis yang selama ini Kevin temui. Gadis itu memiliki kecantikan khas ras Asia Timur. Namanya Nakagawa Zenkyo. Gadis itu sangat baik. Dia terlihat sempurna di mata Kevin.
Sering berada di dekat Zenkyo, membuat Kevin merasa nyaman, begitu pun sebaliknya. Hingga pada akhirnya, mereka memutuskan untuk menjalin suatu hubungan. Dapat dikatakan, Zenkyo merupakan cinta pertama bagi Kevin. Kevin sangat menyayangi gadisnya itu dan berjanji akan menjaganya.
Namun, setelah menjalin hubungan beberapa tahun, semuanya berubah. Zenkyo meninggalkan Kevin begitu saja tanpa jejak. Bahkan, ketika Kevin mencari ke rumah Zenkyo pun tetangganya tak ada yang tahu gadis itu pergi ke mana.
Sebelumnya, Zenkyo hanya tinggal bersama adik angkatnya yang bernama Kenichi. Kevin tak pernah bertemu sebelumnya dengan adik kekasihnya itu. Ia hanya tahu dari cerita Zenkyo.
Zenkyo dan adiknya sudah tak punya orang tua. Bahkan, Zenkyo bekerja sebagai penyanyi cafe untuk membiayai hidupnya dan adiknya, serta biaya kuliah. Dari situlah Kevin mulai kagum pada sosok Zenkyo.
Namun, Kevin sungguh tak mengerti kenapa Zenkyo meninggalkannya begitu saja.
'Apa aku pernah berbuat salah padanya?
Dia pergi begitu saja, tak melanjutkan kuliah. Bahkan, kami masih semester 4 saat itu.' Begitulah yang ada di pikiran Kevin saat itu.
Kevin begitu tahu bahwa kekasihnya itu memang bercita-cita menjadi seorang barista. Namun, Kevin menampik kemungkina Zenkyo melanjutkan sekolah di Italia. Lagipula, Zenkyo pasti akan kesulitan dalam biaya, pikir Kevin.
Sungguh, Kevin tak tahu kabarnya setelah itu.
Zenkyo menghilang begitu saja dalam kehidupannya, meninggalkan begitu saja Kevin dalam kehampaan.
Dua tahun setelah itu, Kevin pulang ke Indonesia. Orang tuanya masih tinggal di Jepang. Kevin berencana untuk memulai usaha kecil-kecilan tanpa meminta bantuan orang tuanya. Ia memang punya ketertarikan dengan kopi. Kevin sangat senang membuat kopi. Aroma harum dari biji kopi, membuatnya begitu kagum.
Sebelum itu semua, ayahnya memerintahkan Kevin untuk meneruskan perusahaannya, tapi Kevin tak menyetujui. Perusahaan ayahnya bergerak di bidang konstruksi. Namun, ketertarikan Kevin pada kopi membuatnya tak menuruti perintah ayahnya. Ia berencana mendirikan cafe atas usahanya sendiri.
Kevin tinggal di rumah milik orang tuanya sejak saat itu. Ya, tempat yang ia tinggali bersama Jun, Jaya dan Kenichi hingga saat ini juga.
Saat itu, ketika Kevin melewati jalanan kota Jakarta, langkah kakinya terhenti di depan suatu cafe yang bernuansa klasik. Terlihat banyak orang yang mengeluarkan barang-barang dari cafe. Sepertinya cafe itu akan dikosongkan.
Kevin berjalan memasukinya, siapa tahu pemilik cafe berencana menjual cafe itu padanya, pikir Kevin. Tempat itu sangat strategis, pasti akan ramai jika tempat itu diubah menjadi cafe yang berkelas, Kevin merencanakan semua itu.
Di dalam ruangan, Kevin melihat sesosok pria terduduk sambil menunduk. Sepertinya itu pemilik cafe. Kevin berjalan mendekat.
"Permisi, apa tempat ini akan dijual?" tanya Kevin pada pemuda rambut gondrong di depannya.
"Tidak!! Tempat ini akan kubakar!" ketusnya sambil berlalu begitu saja.
Kevin sungguh heran terhadap pemuda itu. Dia begitu dingin dan arogan. Kevin melihat pemuda itu meninggalkan cafe begitu saja.
Mengabaikan pemuda aneh tadi, Kevin mencoba bertanya pada salah satu orang yang membawa barang-barang dari cafe ke luar. Dari informasi paman tadi, Kevin tahu bahwa cafe itu telah disita karena pemilik cafe mempunyai hutang pada seorang linta darat.
"Hahaha lucu sekali. Jadi pria yang tadi itu memiliki banyak hutang hingga cafenya akan disita. Astaga ... aku tak akan pernah melupakan wajah garangnya itu." Kevin menggumam.
Pada akhirnya, Kevin mendapat alamat rentenir yang menyita cafe itu dari orang yang membawa keluar barang-barang tadi. Kevin pun menemuinya dan membeli tempat itu dengan harga yang fantastis. Kevin sangat paham, namanya juga rentenir pasti menginginkan keuntungan yang berlebih. Setelah mengurusi surat-surat kepemilikan bangunan itu, akhirnya Kevin resmi menjadi pemilik cafe.
Terkadang, Kevin sering melihat pemilik yang sebelumnya mondar-mandir di sekitar cafe.
Suatu malam, ia memergoki pemuda itu melihat-lihat cafenya dengan sorot mata yang mencurigakan.
"Hei! Kenapa kau mengawasi cafeku begitu, hah?!" teriak Kevin yang sontak membuat pemuda aneh tadi terkejut hingga menyenggol tong sampah.
Pemuda aneh itu berjalan menghampiri Kevin dengan tatapan yang masih dingin dan mengancam.
"Oi, kenapa kau berada di cafeku, hah?!" bentak pemuda tadi.
Kevin tersenyum sinis dan berdecih. "Cih! Sekarang akulah pemilik asli cafe ini!" sungut Kevin.
"Sialan! Aku tak pernah menjual tempat ini! Jangan asal bicara kau!" ketusnya pemuda tadi tak kalah sengit.
"Hahaha, aku punya surat-suratnya. Apa perlu kutunjukkan?" sahut Kevin santai.
Pemuda tadi terlihat diam sejenak, lalu tiba-tiba ia berlutut sambil menangkupkan kedua tangannya.
"Tuan, kumohon kembalikan tempat ini padaku. Ini adalah satu-satunya tempat tinggal bagiku. Aku janji akan mengangsur untuk mengembalikan uang Anda. Kumohon kembalikan, Tuan!"
Kevin tersenyum sinis kembali. Ia sama sekali tak menyangka, pemuda yang sebelumnya terlihat seram, kini memohon dan berlutut di hadapnya. Sepertinya, Kevin ingin memberi pemuda itu sedikit pelajaran.
"Hey, apa maksudmu? Aku membelinya dengan harga yang mahal. Aku tak yakin kau dapat mengembalikannya," ucap Kevin meremehkannya.
"Aku berjanji, Tuan! Dalam waktu dua tahun aku akan menebusnya. Tapi saat ini, hanya tempat ini yang menjadi tempat tinggalku." Pemuda itu berucap sambil menarik-narik jas Kevin dengan tidak sopannya.
"Ya, baiklah! Tapi aku tak akan pernah mengembalikan tempat ini kepadamu. Kau boleh tinggal di sini dan bekerja di sini sebagai pelayan.
Ah iya, siapa namamu?"
"Jaya, kau bisa memanggilku Jay," sahut pemuda itu.
"Baiklah, Jaya. Kau boleh tinggal di sini sebagai pelayan. Oh iya, aku Kevin." Kevin menjabat tangan pemuda itu.
"Terima kasih banyak, Bos," ucapnya sambil membungkuk ke arah Kevin dan mencium punggung tangan Kevin, sungkem.
"Jangan panggil aku bos, panggil aku 'kakak' saja!"
Ya, begitulah pertemuan pertama Kevin dengan Jaya. Kevin langsung menyuruhnya memanggil 'kakak' saat itu, karena Kevin sangat menginginkan mempunyai saudara.
Menjadi anak tunggal membuatnya kesepian selama ini.
Walaupun sebenarnya, Kevin tak menginginkan sosok adik modelan seperti Jaya sejujurnya. Jaya itu keras kepala dan arogan sejak dulu menurut Kevin.
Saat awal Kevin kenal Jaya, pemuda itu terlihat sangat berantakan.
Rambut gondrong, wajah berminyak, dan kumis tipis di bawah hidungnya.
Jaya suka mabuk, dia juga suka foya-foya, makanya pemuda itu memiliki banyak hutang.
Kepribadiannya sangat jauh berbeda dengan Kevin yang selalu terlihat sempurna setiap saat.
Namun, perlahan Kevin mampu mengubah adik angkatnya itu menjadi pria yang lebih dewasa dan memperhatikan penampilan. Meski pada akhirnya, sifat keras kepala dan arogan yang bawaan dari lahir itu Kevin rasa telah mendarah daging.
Mereka bersama-sama membangun cafe itu dari nol. Namun, sebuah kejadian membuat hubungan mereka tiba-tiba merenggang.
Bersambung ....