Naura mendorong Delice yang sudah berada di atas tubuhnya. Naura tidak mengerti lagi, kenapa Delice menatapnya seperti anjing gila.
"Ahhhhhh..." pekiknya.
Naura terjatuh ke atas lantai saat berusaha melepaskan diri dari Delice. Sayangnya, kaki yang baru saja di obati Olin, sekarang berdarah kembali. Naura tidak bisa lari, karena kakinya sudah tidak mampu lagi menanggung berat tubuhnya.
"Mau kau usaha sekuat tenaga juga, kau tidak akan bisa lepas dari genggamanku!" ujar Delice, sembari menarik rambut Naura.
"Apa kau puas, kalau kau menyiksaku? Lakukan! Lakukan sampai aku mati!" teriak Naura.
Naura tidak lagi peduli dengan hidupnya. Diam dan menurut sekalipun, dirinya tetap saja di siksa. Lebih baik melawan dan di siksa sampai mati, untuk mengurangi masa derita.
"Kau rupanya masih berani menantangku!"
"AAARHHHHH.. UHHHHH..." Delice menginjak jari jemari Naura, lalu melangkahi tubuh Naura yang tergeletak di atas lantai.
"Aku harus lari..." batin Naura penuh harap.
Hiks... Hiks... Hiks... Ahhhh...
Rintih Naura di sela-sela tangis dan ketakutannya. Naura merangkak, menyeret sebelah kakinya yang sangat sakit untuk di gerakkan. Lantai kamar Delice, sudah di kotori oleh darah yang keluar dari kaki Naura.
Naura sudah hampir mendekati pintu. Dengan susah payah, Naura berusaha memegang handle pintu.
"Uhhhhh... Kenapa sangat sulit? Dikit lagi, dikit lagi pasti bisa," batin Naura.
"Kau sedang kesulitan, sayang?" Naura menoleh ke arah Delice yang sudah memegang tangannya.
"Aku... Aku..." Delice langsung mencium bibir Naura. Naura mendorong tubuh Delice dengan kekuatan tangannya.
"Delice, kamu jangan keterlalun!" Naura mengusap bibirnya yang di cium kasar oleh Delice.
"Kenapa? Bukankah kau sangat ingin di sentuh?" ejeknya.
"Aku sudah jelaskan padamu, mereka tidak menyentuhku!" teriak Naura dengan kasar. "Aku muak padamu! Pria yang sama sekali tidak berperasaan, Tidak punya belas kasihan!" maki Naura pada Delice.
"Jadi kau menilaiku tidak berperasaan? Akan aku tunjukan bagaimana seorang pria yang tida memiliki perasaan. Supaya kau bisa membedakannnya dengan baik!" ucapan Delice, membuat Naura merinding. Apalagi tatapan matanya yang tidak terlihat seperti tatapan mata manusia pada umumnya.
Sebuah cambuk, sudah melingkar di tangan Delice. Delice seperti sudah mempersiapkan semua alat yang akan di pakai untuk menyiksa Naura. Naura menelan ludahnya, terbayang-bayang akan teriakan Rehanna pada malam itu yang tidak bisa memuaskan nafsu birahinya.
"Apa dia sungguh akan melakukan itu?" batin Naura.
Siapa yang tidak merasa takut saat bahaya selalu mendekati? Siapa yang tidak merasa ngeri, saat kesakitan menjadi penderitaan yang panjang? Seperti itulah yang saat ini di rasakan oleh Naura.
Tubuh yang sudah di penuhi lebam, luka, bahkan beberapa syaraf sudah seperti tidak berfungsi lagi. Merinding, ngeri, takut, gemetaran, hal itu lenyap bersamaan dengan rasa sakit di tubuh Naura yang sudah tidak bisa di tahannya.
Ingin sekali rasanya menjerit, merintih, mengeluh, lari sejauh-jauhnya, tapi keinginan itu juga sirna bersama dengan kesengsaraan diri.
SPLASSSSSSS....
Satu kali cambukan, mengenai tubuh Naura yang sudah tidak bisa lagi lari. Panas, pedih, sakit, tidak terasa lagi. Tubuh Naura seperti mati rasa.
"Apa kau masih ingin mengujiku?" Delice mencengkram rambut Naura.
Luka yang ada di kepala Naura, terasa seperti di kuliti karena Delice mencengkrang sembari menarik rambut Naura dengan sangat kuat.
"Benar! Kau memang psychopath gila! Kau pria gila! Lakukan! Kau ingin membunuhku, bukan? Lakukan! Dasar paranoid!"
PLAKKKKK
Delice kembali menampar Naura. Ucapan Naura begitu menohok di hatinya. Obat penenang yang harusnya bisa menekan emosi, tapi malah membuat Delice semakin menjadi-jadi. Biasanya, setelah 5 menit minum obat, Delice bisa kembali mengontrol dirinya yang bisa berubah seperti seorang iblis.
Kali ini, Naura menjadi sasaran embuk untuk melampiaskan perasaan Delice yang penuh dendam dan kebencian.
SPLASHHHHHHH... SPALSHHHHH... SPALSHHHHHH...
Naura hanya diam meringkuk saat cambuk terus menghantam tubuhnya hingga tidak terhitung jumlahnya.
"Uhhhhh... Emmmm..." Naura merintih sembari menggigit bibirnya untuk menekan rasa sakit yang bertubi-tubi mengahantamnya. Tangan Naura mengepal hingga gemetar dengan sangat hebat karena rasa sakit yang di rasakannya, melebihi ketahanan tubuhnya.
"Tuan..." Olin tiba-tiba masuk dan mencegah Delice untuk menghantamkan cambuknya.
"Menyingkir dariku, Olin!" bentak Delice.
"Tuan, bukankah Anda mencintai Nyonya? Kalau Nyonya mati, penyesalan seperti apa yang akan Tuan rasakan?" ucap Olin dengan lirih.
Kesadaran Delice mulai terbuka, saat melihat wanita yang bisa membuatnya merasakan adanya sebuah rasa, tergeletak karena ulahnya.
"Apa yang kau tunggu? Panggil Jean untuk mengobatinya! Apa dia kira, aku memperkerjakannya untuk menganggur?" teriak Delice.
Delice menggendong tubuh Naura dan di baringkan di atas ranjang. Delice memandangi tangannya yang di gunakan untuk menyiksa Naura. Wajah yang penuh lebam, jari jemari yang terluka, lengan memar dan robet akibat goresan kaca, kaki yang terus mengalirkan darah segar, tubuh yang kulitnya hampir terkelupas, itulah kondisi Naura saat ini.
"Kau tidak perlu memanggil Dokter. Biarkan saja aku mati!" ucapan Naura terdengar begitu lirih.
Delice tidak ingin mendengar ucapan Naura yang sudah kecewa padanya. Delice tidak ingin, emosinya kembali naik dan membunuh Naura menggunakan tangannya sendiri.
"Kau bisa berempati? Kau bisa berekspresi sedih seperti itu? Ternyata, kau masih memiliki perasaan meskipun sebesar debu," batin Naura.
Dokter Jean sudah datang. Delice melihat proses, bagaimana Dokter Jean menjahit dan mengobati Naura.
"Hatiku terasa sangat sakit. Apalagi, luka itu karena perbuatanku," batin Delice.
Delice memberikan obat yang biasa di minumnya pada Dokter Jean. Ada suatu hal yang mengganjal di hatinya.
"Bawa dan periksa ini dengan baik. Ingat, jangan sampai ada sebuah kesalahan," ancamnya.
"Baik, Tuan!"
***
"Olin, jaga Nyonya dengan baik. Kalau Jean menyarankan Nyonya untuk di bawa ke Rumah Sakit, bawa saja. Aku akan menyusulmu setelah kau mengabariku," ujar Delice..
"Baik, Tuan!"
Olin tidak meninggalkan Naura sedetikpun, karena Olin yakin, di dalam mansion ini ada seseorang yang menginginkan Naura mati.
Seperti biasa, Delice akan menyibukkan diri dengan urusan Kantor. Tapi, Ken sudah mengatasi semuanya dengan sangat baik, sehingga tidak ada lagi pekerjaan yang bisa di kerjakannya.
"Tuan, dua pria yang kemarin menggoda Nyonya, sudah berada di markas," bisik Loid.
"Kalian sudah lama tidak berolahraga bukan? Ayo, ikutlah denganku. Kalian yang membereskan dan aku akan menontonnya," ucap Delice pada Ken dan juga Loid.
"Benar juga. Aku sudah lama tidak bermain-main dengan kulit manusia," jawab Loid dengan ekspresi yang sama mengerikannya dengan Delice.
"Aku ingin, kalian mencabut jantungnya dan memberikannya pada anjing gila.," pinta Delice.
"Tuan, bagaimana kalau Nyonya tahu?" tanya Ken.
"Dia tidak akan tahu, selama kalian setia padaku," ada sebuah sindiran yang tercantum dalam ucapan Delice.
***
"Nyonya? Jean! Dokter Jean! Jean...."