Gibran merapikan kembali jas yang melekat khas di tubuhnya. Freya yang baru saja datang dari perginya dibuat takjub, walaupun setiap hari juga Papa 'nya terlihat..lebih muda.
"Papa rapih amat." ujar Freya berjalan mendekat.
Gibran menoleh saat putrinya berkomentar. "Papa mau ada pertemuan." singkatnya.
"Oh..sembari makan malam gitu?" tebak Freya.
Gibran tampak tersenyum, "Iya, sekalian juga bahas soal kamu."
Freya mengerutkan dahi, "Aku?" beonya.
Gibran mengangguk, dia kembali membenarkan jam tangannya disana. "Papa akan bertemu dengan keluarga Ginanjar.
Freya meringis, pasti membahas hubungannya dengan Richo yang diam-diam.
"Papa dengar, Richo sudah tidak lagi tawuran." ungkap Gibran menatap Freya, dia memegang bahu putrinya sambil bilang, "Papa akan mempertimbangkan." ulasnya tersenyum dan melenggang.
Freya melihat datar, apa maksud dari ucapan Papa 'nya? Mempertimbangkan hubungannya gitu?
"Tapi hati Freya udah menghitam, Pa."
Gibran tidak pernah mengerti, dia terlalu mementingkan diri sendiri. Bahkan jika Freya sudah tersakiti, apa nanti akan tetap peduli. Cewek itu selalu menuruti, sekalipun apa yang buat dia tak enak hati. Freya selalu menyayangi, dia tidak akan pernah membiarkan siapapun yang menyakiti Papa, nya lolos pergi.
Kata Guntur itu memang benar, Freya berubah seperti cewek psycho yang kapan saja bisa menerkam.
***
Di kelas sudah ada beberap murid yang sudah berdatangan, Trian selalu bersama Milano terus sekarang. Dua cowok itu menarik perhatian, pasalnya mereka merubah penampilan.
"Ayo ladies.." sok kecakepan, itulah Trian.
Milano tidak terganggu sedikitpun, Trian sudah biasa seperti itu sejak dia masih mos dulu hingga sekarang...mungkin sampai kedepannya.
"No, kok si Galen belum dateng?" tanya Trian saat belokan ke arah kelasnya.
Cowok di sampingnya melirik, "Galen sekarang sok sibuk. Dia suka mengulur waktu buat ketemu, mungkin."
"Seudzon aja lo."
"Tadi lo nanya!"
Keduanya terpana saat sudah ada di ambang pintu, mereka saling melirik.
Sejak kapan mereka terlihat dekat?
"Woy, lo berdua udah berdua-duan aja, ketiganya jin loh." cakap Milano.
Milano setuju, kepalanya mengangguk-angguk.
"Apaan si! mending lo berdua duduk."
Dua cowok berandal tapi lumayan tampan itu berdecak kesal, Arkan sudah mulai duluan star.
"Lo berdua pacaran lewat pandangan pertama, ye?" Trian terlalu nyablak, cowok itu menebak asal.
Arkan menoleh dengan tatapan menusuk, Trian tidak sedikitpun takut.
"Gausah kepo."
Milano tersenyum jahil, "Cel, lo suka sama Arkan 'kan?"
Cewek itu melirik cowok di sampingnya, "Kita memang dekat." Celesse tidak menyanggah, cewek itu tersenyum manis sambil memeluk lengan kiri Arkan manja.
Trian dan Milano saling lirik tak paham, mereka bertanya saling suka, kan? bukan dekat.
Jadi, apa itu pertanda?
"Pagi." Freya menyapa gembira, itu pertama untuk Freya juga. Teman-temannya 'pun menatapnya heran, Freya kerasukan hantu di halaman belakang, ya?
"Ya, lo baik-baik aja 'kan?" Milano bertanya hati-hati.
"Hihihihi, baik."
Trian dan Milano bergidik, sudah dia duga Freya pasti dirasuki.
"Becanda kali, tegang amat." tukas Freya akhirnya, dia melempar tas ransel itu tepat di depan wajah Celesse, cewek itu terkejut.
"Lo ngapain duduk di bangku gue?"
Tatapan itu membuat Cel tak sedikitpun takut. Cewek itu tersenyum manis, "Memangnya kenapa?"
"Lo murid baru, ya?" tanya Freya yang baru melihat, dia kemarin terlalu sibuk menatap ke arah luar sehingga siswi itu tak di hiraukan.
"Iya. Mulai sekarang aku duduk disini sama..." cewek itu melirik cowok disampingnya mesra, "..Arkan."
Arkan hanya diam tanpa membela siapapun, baginya itu sulit, ternyata dia masih belum sepenuhnya lupa.
"Kalo lo berdua mau duduk bareng, jangan disini!" peringat Freya.
Arkan berdiri, dia menatap Freya tak suka. "Kenapa ga lo aja yang duduk di belakang, lagian juga lo ga selalu ada di kelas, ini bukan hal yang keberatan buat lo juga, kan?"
Trian dan Milano menganga, Arkan baru saja membela pacarnya.
Freya berdeham, kedua tangannya terlipat di depan. "Siapa yang pertama minta duduk bareng gue?" cowok itu diam kembali, Freya melanjutkan. "Dengan bangku yang udah gue pilih sebelumnya."
Arkan tertegun. Freya itu keras kepala, kenapa Arkan lupa? Jelas Freya tidak ingin mengalah walau hal sepele.
"Kamu kenapa si ga ngalah aja? Lagian aku murid baru disini." cetus Celesse yang mulai ikut campur.
Helaan napas terdengar dari mulut Arkan, dia angkat bicara. "Oke, gue yang akan pindah." cowok itu menarik kasar tas 'nya dan berjalan ke barisan terakhir.
"Trian! Lo bersihin bangku gue sampe ga ada kuman se ujung jari, pun, oke." titah Freya, Trian berdiri dengan hormat, "siap, kapten."
Freya pergi keluar, walaupun sebentar di kelas dengan sedikit debatan sudah membuat kepalanya ingin pecah. Cewek itu tidak terbiasa berlama-lama. Kebiasaan sudah menjular di dalam tubuhnya.
Tapi tadi Arkan justru membela perempuan yang di rindukannya. Seharusnya Freya tahu dan mengertikan keadaannya, tapi cewek itu juga tidak ingin berpindah duduk walau kenyataannya dia sering membolos. Kenapa satu per satu orang yang Freya sayang justru meninggalkannya tanpa alasan yang di bicarakan terlebih dahulu. Kenapa harus mendadak? Datang secara tiba-tiba. Freya tidak sanggup.
Apa sekarang hidupnya akan benar-benar sendiri?
Setelah apa pengkhianatan Richo padanya dua tahun kemarin, apa sekarang Arkan juga akan meninggalkannya karena perempuan pindahan itu? Keturunan belgia.
Freya lokal asli, pasti Arkan lebih memilih cewek blasteran itu di bandingnya. Tapi, Freya harus bernapas lega, karena itu semua tidak ada lagi halangan untuk rencananya.
Nayla terlihat di serang, Freya kebetulan memang sedang mencari anak itu. Dia berjalan santai menghampiri cewek-cewek itu.
"Hai, ada apa nih?"
Semua tercengang, mereka terkejut bukan main. Freya penyebab semuanya.
"Kenapa? Ada mainan, ya? Gue boleh ikutan?" ucapnya.
Susan menatap was-was. "Bukan ko, Freya. Kita lagi ngomongin buat ke pesta." sanggahnya.
Freya tersenyum lebar, bagi mereka itu sangat mengerikan.
"Gimana kalo gue ikutan?" usulnya.
Tiga cewek itu bergidik, mereka tidak bisa lagi menyangkal.
"Diam artinya 'iya' kan?"
"ENGGA." gertak mereka.
Nayla hampir saja terjungkal karena teriakan mereka.
"Kenapa?" tanya Freya lagi.
"I-itu, Freya. Pokoknya gaboleh." Tina gugup setengah mati, wajahnya sudah pucat pasi.
"Yaudah." Freya sudah capek, dia melirik Nayla di tengah-tengah cewek disana. "Nayla, ikut gue." titahnya.
Nayla berlalu. Dia mensejajarkan langkahnya dengan Freya. Tumben sekali Freya mengajaknya, walaupun Nayla juga tidak tahu tempat tujuannya.
"Kemarin lo yang ngintai gue, kan?" Freya berlontar tanpa menunggu Nayla bernapas dulu, cewek itu tidak suka mengulur waktu.
Nayla membelalakan matanya. Darimana Freya tahu?
"Gue ga akan apa-apain lo kalo lo jawab jujur, maksud dan tujuan."
Nayla menatap Freya, "Sebelumnya, maaf. Gue lancang." ucap Nayla, dia menghela napas sebelum melanjutkan. "Siapa cowok yang kemarin ngelus rambut lo, Ya?"