webnovel

21. Hutan (II)

"Ugh … kakiku sakit," keluhan yang keluar dari gadis Elf sukses membuyarkan lamunan Bastian. Sosok raven tersentak, lalu menoleh dan menatap si pirang yang memegang tongkat dan tertatih-tatih berjalan. Napasnya membentuk kabut, diiringi dengan keringat yang membasahi pelipis.

Hari telah menjelang sore, mereka berempat telah berjalan di tanah yang tidak rata. Bastian, Leo dan Merci berhati-hati dalam mengambil langkah, tetapi Amerta jelas tidak seperti mereka. Gadis itu beberapa kali hampir terjatuh karena tidak sengaja terjerat dengan tanaman atau tersandung batu.

"Tidak bisakah kau meminjamkan saudaramu?! Kakiku benar-benar sakit!" gadis Elf tidak tahan lagi. Ia berteriak, menatap marah ke arah si perak yang berjalan di depannya. "Kau tidak lihat?! Tanganku bahkan berdarah dan kakiku pasti sekarang lecet semua!"

Leo berbalik. Sosok yang pada awalnya memimpin jalan, berbalik menatap sosok Elf muda yang kini terlihat menahan tangis. Gadis cantik itu menggeretakkan gigi, terlihat sangat keras kepala tidak mau menangis padahal jelas air mata menumpuk di matanya.

"Bagaimana bila aku menggendongmu?" Bastian tanpa ragu menawarkan diri. Ia tidak tahan mendengar Amerta yang terus mengeluh dan meminta Leo meminjamkan Guardiannya. Namun, sedikit pun, Leo tidak mengizinkan. Bahkan, dengan dingin si perak mengabaikan, membuat sosok pirang sangat marah. Merci bahkan lebih dingin. Tanpa ragu mengabaikan dan berpura-pura tuli.

Amerta tertegu begitu mendengar tawaran Bastian. Sepasang kelereng hijau itu membola. Wajah tampan berbingkai helai gelap menatapnya dengan khawatir. Jelas, jauh lebih manusiawi ketimbang dua makhluk berhati es yang terus mengabaikannya …

"Bastian … ," Amerta nyaris menangis. Ia baru saja akan berterima kasih, tetapi beberapa detik kemudian, seolah menyadari sesuatu, gadis Elf langsung bungkam. Bibirnya terkatup rapat. Alis gadis itu terpaut. Lalu, seolah mengambil keputusan, senyuman masam merekah di bibir tipis yang kini terlihat pucat. "Tidak terima kasih, Aku … aku bisa berjalan sendiri."

"Tetapi--."

"Biarkan dia berjalan sendiri," Leo menyela. Sosok remaja cantik itu berjalan mendekati Amerta dan tanpa ragu, mengeluarkan spray dari Ruangnya. Helaan napas terlontar tepat ketika keduanya saling berhadapan. "Mana yang terluka?"

"Huh?"

Si perak tidak mengatakan apa pun. Tanpa ragu tangannya meraih kedua tangan yang lebih kecil dan membuka jemari yang memerah bengkak dan memang … memiliki banyak lecet. Bagaimana pun, permukaan tongkat kayu yang keras dan tidak rata, dengan mudah membuat tangan lembut dan putih untuk terluka.

Sepasang kelereng hijau berkedip. Memperhatikan Leo yang dengan lembut membuat jemarinya terbuka dan menyemprotkan sesuatu ke telapak tangannya. Rasanya dingin dan pedih. Namun belum sempat Amerta meringis, rasa sakit dengan cepat menghilang. Sukses membuatnya tertegun.

"Woah … mungil! Kau menyimpan obat kulit?!" sepasang iris Bastian bersinar cerah.

"Bukan, ini cairan penyembuh," Leo tanpa ragu menyangkal. Bagaimana pun, obat kulit dan cairan penyembuh berbeda. Obat Kulit adalah pil yang meniru jaringan tubuh sehingga dengan mudah membuat darah membeku dan pengobatan dilakukan dengan cepat, tetapi cairan penyembuh adalah nutrisi yang merangsang tubuh untuk melakukan penyembuhan sendiri.

Yang satu adalah pil ajaib yang bisa menghentikan pendarahan, membuat kulit menjadi sedia kala dan menghilangkan rasa sakit dengan cepat, sementara yang satu adalah cairan yang dibuat oleh Non-Penyihir. Karena merangsang percepatan penyembuhan, rasa sakit ketika disentuh dengan luka akan menjadi beberapa kali lipat dan penyembuhannya sedikit lebih lambat ketimbang Obat Kulit.

"Tidak mungkin, aku tidak merasa sakit sama sekali," Amerta tidak percaya. Sepasang netra hijau menatap telapak tangannya dengan takjub.

"Yah … harganya tidak murah, Papa menyuruh seseorang membuatnya."

Merci refleks melirik spray yang ada di tangan Leo begitu mendengarnya. Ia jelas mengenali spray yang pernah digunakan itu.

"Wajar untuk barang mahal," Bastian terkekeh. Namun beberapa detik kemudian, senyumannya membeku. "Tunggu, berapa banyak yang kau miliki?!"

Sepasang kelereng emas berkedip polos. "Hanya ini."

"Ah!" Amerta mendadak berseru kesal. "Kau hanya punya sebotol kecil ini dan menyemportkannya ke tanganku hanya untuk luka lecet?! Bukankah lebih baik kau menyemportkannya ke kakiku saja agar aku bisa berjalan dengan lebih mudah?!"

Leo tertawa melihat wajah ngeri gadis Elf itu. "Tumben pintar."

"Kau mau mengejekku idiot!?"

"Jangan bertengkar," Merci menyela. "Kita harus segera pergi dan menemukan gua. Sebentar lagi akan gelap."

Tidak ada yang bercanda kembali. Amerta tanpa ragu mengambil spray dan melepaskan sepatunya. Beruntung, para penculik hanya melepaskan semua perhiasan dan bros, tanpa melepaskan pakaian dan sepatu mereka.

Kedua kaki kecil sang Elf merah dan lecet. Kulit seputih pualam itu bahkan membiru, membuatnya terlihat sangat mengerikan. Namun berkat spray yang dimiliki si perak, perjalanan keempat orang bisa sedikit lebih cepat. Meski Amerta masih mengeluh, tetapi menghilangnya rasa sakit membuat sosok pirang itu dengan percaya diri melangkah.

Saat matahari benar-benar tenggelam, mereka akhirnya menemukan sebuah gua. Meski masih berada di ruang lingkup Binatang Buas karena tidak adanya hewan apa pun yang terlihat, setidaknya mereka menemukan kesemek dan buah pir liar selama di perjalanan.

Namun, Merci merasa tidak nyaman setelah membersihkan gua. Penyebabnya adalah ketiga sosok yang berjongkok di mulut gua. Sepasang emas dan hitam mengapit si perak di antara mereka, berjongkok seolah membisikkan sesuatu. Sosok mungil yang terjepit sibuk memegang tongkat, menggambarkan rune di atas tanah dan menjelaskan secara rinci.

Sosok di kanan dan kiri mengenakan selimut, membuat tubuh mereka terlihat bulat saat berjongkok, sementara di tengah mengenakan jubah, membuatnya juga terlihat bulat. Tiga mochi berbeda warna saling berjajar, lengket dan entah bagaimana … terlihat lucu.

Naga Biru gelisah, ekor bersisiknya mengibas-ngibas dengan tidak tenang. Tangannya gatal, ingin mengusap ketiga kepala berbulu berbeda warna itu. Memang, ketimbang dirinya, ketiga orang terlihat jauh lebih pendek dan kecil. Namun tentu saja, Penyihirnya lah yang paling menggemaskan. Oh, sungguh, remaja Diandra tidak pernah menyangka bahwa perpaduan ketiga Penyihir kecil yang penasaran akan seimut ini.

Mereka seperti tiga ekor kelinci bulat yang tengah berkerumun dan membisikkan rencana penaklukan dunia dengan penuh rahasia.

Naga Biru cepat-cepat menghabiskan pir yang asam, lalu mendekati ketiga penyihir dan duduk di dekat ketiganya. Bagaimana pun, gua kecil ini aman. Sudah ia buah hangat dengan kemampuan pengendali udara. Terlebih, Leo tanpa ragu juga memasang rune pelindung sehingga mereka bisa tidur nyenyak.

Nah, Rune pelindung ini lah yang tengah dipelajari oleh sepasang hitam dan emas.

"Jangan terputus dan harus pada kemiringan yang tepat. Saat menarik garis seperti ini, berikan sedikit belokan, lalu lanjutkan untuk melingkar--"

Ucapan Leo terputus. Tubuh si perak terangkat begitu saja ke udara, sukses membuat dua kepala berbeda warna mendongak, menatap tercengang remaja mungil yang diangkat seperti menggendong bayi.

"Apa yang kau lakukan?"

Leo menyipitkan matanya, menatap kesal ke arah Merci yang begitu saja menggendongnya. Bukannya ia tidak menyadari pergerakan Naga Biru yang mendekat, tetapi ia tidak menyangka akan digendong begitu saja dan jatuh ke dalam pelukan Naga muda itu.

"Sudah waktunya beristirahat," selayaknya seorang Guardian yang berdedikasi, remaja Diandra dengan baik mengingatkan. "Besok kita masih harus berjalan jauh keluar dari wilayah ini, lebih baik untuk tidur dan menghemat banyak energi."

Bila tidak melihat ekor biru yang bergerak-gerak dengan gembira, Leo benar-benar akan percaya ucapan Naga Muda ini. Sepasang iris emas masih menyipit, menatap curiga remaja Diandra yang dengan wajah berseri-seri menggendongnya ke sudut gua, menjauh dari kedua Penyihir.

Amerta dan Bastian tidak berkomentar. Kedua Penyihir menatap keadaan mulut gua yang sangat gelap, bertentangan dengan gua mereka yang diterangi mutiara malam lembut dan hangat. Oh, sudah malam. Benar apa yang dikatakan Merci, mereka perlu beristirahat.

Karena gua sudah sangat hangat, keduanya tidak mengenakan selimut sebagai penutup tubuh kembali, sebaliknya, mereka membentangkannya di tanah dan menjadikannya alas tidur yang nyaman.

"Lepas," Leo gelisah. Merci membawanya ke sudut gua dan langsung menempatkannya di pangkuan sang Naga. Entah karena si perak yang mengizinkannya menyentuh atau karena ia pernah sedikit bermanja, Naga Biru ini jelas tidak menahan diri sama sekali. Mulai bertingkah sok seperti Papa Idiotnya!

Tubuh Leo lembut dan hangat, ketika disentuh, itu empuk. Semua makanan yang dengan rakus dimakan si perak, terbagi dengan rata di setiap jengkal tubuhnya. Hal ini, membuat Merci merasa puas ketika memeluk si perak. Oh, ini sangat nyaman. Tubuh mungil Penyihirnya sangat pas untuk dipeluk.

Namun tidak sampai 5 detik, Leo dengan gesit melompat turun dari pangkuan Naga Biru. Tepat ketika tangan jahat bergerak ingin menghalangi, Leo berkelit. Tubuh mungilnya cukup lincah untuk menghindari tangan dan ekor Naga Biru yang mencoba melilitnya. Namun, baru saja si perak terkekeh karena merasa Merci benar-benar idiot, senyuman si kecil membeku.

"Yah … Leo, kau harus istirahat," kali ini, Merci yang terkekeh senang. Ekor birunya mengibas-ngibas kegirangan, nyaris menabrak dinding dan meruntuhkan gua. Dengan mudah mengendalikan udara dan membawa tubuh kecil ke dalam pelukannya. Leo melotot galak. Wajah cantik itu memerah marah.

"Kau mau kugigit?"

Merci kaku. Tubuh remaja itu ingat dengan kekuatan gigi Penyihir kecilnya yang luar biasa. Pada akhirnya, dengan kecewa, kedua tangan yang semula memeluk si perak, kini terkulai. Berganti menepuk-nepuk helai rambut yang lembut. "Baiklah … selamat malam."

Leo mencibir. Tanpa ragu melompat turun dan langsung berbaring di antara Amerta dan Bastian--sukses membuat kedua orang yang tertidur, kembali terbangun. Namun Elf pirang hanya mendengus kesal, berbalik dan memunggungi si perak sementara Bastian cemberut, menepuk-nepuk kepala Leo lalu lanjut tertidur.

Si perak memejamkan mata, terlihat tenang dan tertidur. Namun sebenarnya ia gelisah. Perutnya bergeliat, perasaan aneh seolah meraba hati dan jantungnya. Oh, entah bagaimana … tindakan Merci membuatnya tidak nyaman. Ini berbeda dengan tindakan Papa idiotnya yang suka memeluk atau mencium. Tindakan Naga Biru entah kenapa … membuatnya merasa agak takut. Sentuhan remaja Diandra membuatnya merasa seperti dimanfaatkan?

Leo cemberut. Oh, ini pasti hanya perasaannya saja. Penyihir tua dan reot sepertinya, bagaimana mungkin dimanfaatkan? Bukankah sebaliknya, ia yang memanfaatkan orang lain? Dengan pemikiran seperti itu, si perak merasa puas. Jadi, ia dengan tenang beristirahat. Tidak benar-benar tertidur dan hanya merilekskan tubuh sambil terus memejamkan mata dan berbaring.

.

.

.

Karena tidak pernah berolahraga, bukan hal yang aneh bila seluruh tubuh akan terasa pegal-pegal. Terutama, pada area betis dan paha. Untuk setiap langkah, Amerta benar-benar dibuat menderita. Sudah pagi-pagi sekali ia harus menanggung dinginnya musim gugur, kedua kaki nyut-nyutan dan Leo tidak punya salep untuk menenangkan otot yang tegang.

Spray yang dimiliki hanya untuk luka fisik. Memang bisa menghentikan pendarahan dan membentuk kembali jaringan yang telah rusak, tetapi untuk otot yang tegang? Tidak, Spray itu tidak serba guna sama sekali.

Satu-satunya penghibur adalah Leo yang dengan baik hati, akhirnya mau bertukar. Meminjamkan jubahnya dengan selimut merepotkan yang terasa tidak terlalu menghalau angin dingin.

"Petik seperti ini, lembut saja, jangan membuat daunnya robek," Bastian menjelaskan tepat ketika mereka menemukan daun yang bisa diubah menjadi herbal. Sungguh, pengetahuan tentang bahan benar-benar berguna saat ini. Bastian dengan mudah menemukan beberapa herbal ketika mereka berjalan, membuat perjalanan terpaksa harus berhenti dan kedua Penyihir tanpa ragu mulai memetik bahan gratis yang ada di depan mata.

Merci yang melihat kelakuan santai ketiga Penyihir mulai merasa …

Bukankah ini bermain-main seperti apa yang dikatakan An Cosmos ketika menelfon putranya? Mereka berjalan seolah sedang berada di taman yang aman dan bukan karena berusaha menghindari Binatang Buas.

Naga Biru kehilangan kata-kata. Ia bisa melindungi satu Penyihir, tetapi untuk dua Penyihir lainnya, remaja Diandra jelas harus berusaha lebih keras. Beruntung, Leo sepertinya ingat bahwa mereka harus buru-buru, jadi sosok perak dengan tegas menyeret Bastian dan Amerta untuk kembali berjalan.

"Ngomong-ngomong, kita sudah dua hari berjalan, apakah sudah keluar dari wilayah Binatang Buas?" Bastian membeo, menatap sekitar dengan penuh penasaran. Dengan Merci yang memimpin, diikuti dengan Bastian, Amerta dan terakhir adalah Leo, empat orang berjalan membentuk sebuah barisan memanjang.

"Ya," Amerta setuju. "Sepertinya … daerah ini mulai berubah kan? Aku merasa mulai ramai. Suara burung mulai sering terdengar."

"Ah!" Seolah menyadari sesuatu, sepasang netra emas berbinar. "Kita bisa membuat burung bakar."

"Ide bagus!" Bastian terkekeh. Namun beberapa saat, tawanya menghilang. "Eh, tetapi melepaskan semua bulu unggas benar-benar merepotkan--oh! Merci, kau bisa membuat air panas dan merebus unggas! Astaga! Kenapa aku aku tidak memikirkan ini dari awal?!"

"Benar, kenapa kau tidak memikirkannya dari awal?" alis si perak terpaut. "Kemarin, kau membuat kami memakan arang."

Bastian memerah, mendadak merasa malu karena dirinyalah yang seenaknya melempar daging ke dalam api, sukses membuat keempat perut menelan arang daging. Namun, mau bagaimana lagi? Ia terbiasa dengan teknologi tinggi, tidak pernah menyangka akan kehilangan semua peralatan masak dan terpaksa … memasak tanpa bumbu.

Ia tidak bisa mengatur suhu api, tidak ada tongkat untuk memanggang. Jadi … tanpa ragu sama sekali, Bastian dengan cerdik melemparkan semua daging kelinci yang sudah dipotong ke dalam api.

Sukses membuat Leo yang berniat membungkusnya dengan daun dan membakar di dalam tanah, kehilangan kata-kata … Oh. Lupakan. Ia akan berpura-pura tidak bisa memasak di tempat primitif.

"Maaf, aku masih belum profesional," Bastian tertawa canggung. "Nah, tetapi aku masih belajar. Jadi, katakan saja! Mungil, apa yang ingin kau makan? Mama akan memasakkan makanan lezat untukmu!"

Leo langsung memasang ekspresi jijik. "Kapan kau melahirkanku?" Namun si perak tetap menjawab. Toh, ada babu yang mau memasak untuknya. "Coba kita lihat dulu, menu apa yang akan dibawa Merci nanti."

"Kenapa kalian justru fokus ke makanan?" Elf pirang menyela. Benar-benar tidak mengerti jalan berpikir dua pria yang hanya memikirkan perut. "Kita berada di hutan, setidaknya harus lebih waspada!"

Leo menghela napas. "Nona, apakah kau lupa siapa yang memimpin jalan kita?"

"Merci, memangnya kenapa?" si pirang bingung, nada yang diberikan Leo seolah sedang berbicara dengan anak kecil.

"Benar, dan di sini juga ada kau, Amerta."

Alis gadis itu terpaut. "Apa maksudmu?"

"Ahahaha, kau masih tidak mengerti, Amerta?" Bastian tertawa, ia menoleh ke belakang, memandang ekspresi bingung Elf pirang sebelum akhirnya kembali menatap ke depan. "Nah, kita memiliki Naga dan juga Elf, hutan yang hanya dihuni Binatang biasa, tidak akan berbahaya."

Si pirang langsung mengerti begitu mendengarnya. Sepasang kelereng hijau itu membola sempurna.

"Benar, Elf memiliki kedekatan alami dengan alam. Hutan primitif seperti ini, secara nyata menyambutmu. Ngomong-ngomong, mungkin kau tidak sadar. Karena kita ingin keluar dari wilayah Binatang Buas, secara alami alam akan membimbingmu keluar. Karena kau tidak ingin keberadaan kita diketahui Binatang Buas, secara alami alam menyembunyikan keberadaan kita. Yah … itu sebabnya, lebih baik kau berjalan kaki ketimbang digendong."

Gadis Elf tercengang. Ia … benar-benar tidak tahu bahwa selama ini, ia dilindungi. Secara alami, ia tahu bahwa rasnya adalah ras yang paling cocok untuk menjadi Penyihir. Mereka terlahir untuk dicintai oleh alam, tetapi Amerta besar di lindungi oleh banyak tembok. Meski ia belajar dengan giat di sekolahnya, ia lebih banyak belajar teori ketimbang praktek. Terlebih, kemampuannya … bisa dibilang masih sangat rendah, itu sebabnya, kepekaan Elf pirang ini tidak tepat.

Ia tidak menyadari alam yang diam-diam menyambut dan melindunginya.

"Kita masih memiliki ras Naga," Leo menyeringai. "Yah … secara alami, hewan-hewan buas takut dengan binatang yang lebih kuat ketimbang mereka. Nah, ras Naga … oh maksudku, ras kami, secara alami, adalah predator yang akan dihindari banyak hewan, apa lagi sejak keluar dari daerah Binatang Buas, Merci melepaskan aromanya--"

"Jangan seenaknya mengatakan rasmu sebagai hewan buas," Bastian menyela. "Itu tidak sopan, Mungil."

Leo kehilangan kata-kata. Mendadak ia ditegur. Namun yang membuatnya terdiam bukan karena teguran, tetapi apa yang dikatakan si raven.

"Apakah aku menyebutkan ras Naga sebagai Hewan Buas?"

"Ya!" Amerta, tanpa ragu membenarkan. "Nah, kau mengaku sebagai keturunan hewan buas?" ujarnya geli. "Oh, apakah kau adalah keturunan predator? Dengan wajah cantikmu itu, kau ingin menakuti hewan buas?"

Leo kehilangan kata-kata. Ia tidak mendengarkan ucapan gadis itu sama sekali.

Bila ras Naga seenaknya ia katakan sebagai hewan buas …

Bukankah berarti ia adalah keturunan ikan dan burung? Oh, sebentar. Beberapa menit yang lalu, ia ingin makan burung bakar.

Leo menarik napas dalam dan menghembuskannya.

Untuk beberapa hari ke depan ... sepertinya ia tidak akan memiliki nafsu untuk memakan ikan dan unggas. Mendadak ia merasa seperti akan memakan rasnya sendiri.

Chương tiếp theo