Tiba di halaman rumah Atmaji langsung memasukan mobil dalam garasi. Bergegas turun tak sabar untuk menemui anaknya yang barusan mengundang keributan. Matanya menyelidik, mencari-cari di mana keberadaan Ndari.
"Kenapa sepi sekali. Ke mana anak itu?" gerutunya tak sabar ingin bertemu. Tangan Atmaji mengepal geram. Tak lama kemudian berjalan menuju pintu kamar. Di sana, berulang kali dirinya mengetuk tetapi tak mendapatkan sahutan.
Saat diputar kenop dan pintu terbuka, anaknya tak ada di dalam kamar. Lantas apa belum pulang? Atmaji langsung merogoh saku celana. Mengambil ponsel untuk menghubungi.
Panggilan pertama diabaikan, kedua, dan ketiga. Malah semakin dibuat geram dan ingin melampiaskan emosi.
"Kenapa sih enggak diangkat. Sial memang itu anak! Awas nanti kalo sampai pulang ke rumah!"
Di lain sisi. Ndari yang masih menangis di tenangkan oleh Miko. Keduanya merasakan getaran ponsel. Namun, mencoba untuk mengabikan. Lagian siapa lagi jika bukan ayah yang menelpon.
Panggilan yang keempat, "Ndari kamu enggak mau mengangkat telepon itu. Coba dicek dulu."
"Enggak ah, paling-paling Ayah."
"Alangkah baiknya dipastikan."
Ndari langsung merenggangkan pelukan, mengalihkan pandangan menatap layar ponsel. Benar saja, yang menelepon memang ayah. Tanpa menunggu lama langsung mematikan panggilan yang kelima. Kembali dimasukannya benda kecil itu ke dalam tas.
"Kenapa enggak kamu angkat saja," saran Miko.
"Enggak maulah. Paling-paling nanti aku dicaci maki."
"Yang sabar …." Tangan Miko mengelus rambut wanita itu dengan lembut. Keduanya masih berada di sini. Sebuah taman kecil yang letaknya berada di tengah kota. Beberapa orang beranjak pulang karena sudah menujukan pukul sepuluh malam.
Tersisa beberapa penjual serta beberapa pasang kekasih yang masih tetap setia. Menikmati indahnya malam di bawah sinaran bintang. Semilir angin berembus, menambah hawa dingin.
"Ayo aku antar pulang," ajak Miko meningat perempuan tak boleh pulang terlalu malam. Namun, kekasihnya itu malah mengangkat bahu dan mengempaskannya. Seolah tak setuju dengan ajakannya.
"Kamu enggak mau pulang. Nanti Ayahmu mencari … dan parahnya pasti nanti aku yang akan disalahkan."
"Aku mau pulang asalkan pulang ke rumahmu. Ya," pintanya.
Miko kaget, apa yang didengarnya tadi keliru? Ah, sepertinya tidak. Kedua mata saling bertemu, ditatapnya wanita itu dalam-dalam. Ndari tersenyum merayu. Sembari mengedipkan mata sebelah sisi, menujukan ekspresi gendit.
"Ihh, apaan sih kamu ini," gerutu Miko menatapnya ilfeel.
"Ya please, aku pulang ke rumahmy aja." Ndari manyun sembari memohon.
Miko mengembuskan napas. Mana mungkin membawa pacarnya ke rumah. Bagaimana respons ayah nanti. Tanganya mengaruk-ngaruk kepala yang tak gatal.
"Enggak. Jangan nanti malah dikira macem-macem sama orang rumah."
Ndari langsung mencoba menyakitkan Miko. Memohon lagi agar dibolehkan, "Kamu tahukan Ayahku galak. Nanti kalo aku pulang pasti dihajar. Jadi, please …."
"Ahh … bukannya enggak boleh tapi kamu itu cewek. Bayangkan kalo malam-malam aku bawa cewek ke rumah. Apa kata Ayah!"
"Nanti aku yang bilang sama Ayahmu supaya enggak salah paham."
Miko ngenyir, tak tahu dengan jalan pikir kekasihnya. Ditatapnya Ndari dengan penuh keraguan. "Bagaimana caramu menyakinkan?"
"Ya nanti aku bakal cerita kejadian sebenarnya," sahut Ndari dengan yakin.
"Dan kamu belum pernah bertemu dengan Ayahku. Yakin bisa menyakinkan orang yang belum pernah bertemu sama sekali?"
Pertanyaan itu seperti sebuah tamparan. Apa yang dikatakan Miko tidak salah. Tentu membuat orang yang belum kenal percaya ada kita adalah hal yang mustahil. Ndari jadi tertunduk diam. Tak tahu lagi harus berkata apa.
Terdengar embusan napas yang keluar dari mulut Miko. Pria itu kembali duduk pada bangku yang tak jauh dari keduanya berdiri. Bingung memikirkan jalan keluar. Sedangkan jam menujukan setengah sebelah malam.
"Udah malam kamu enggak pulang, pulang sana. Biarkan aku sendiri di sini."
"Hah. Jadi kamu kekeh enggak pulang ke rumah?" Miko beranjak bangkit mendekat tidak percaya dengan apa yang diucapkan.
Aduh, semakin rumit. Alhasil, ditariknya tangan Ndari.
"Ayo naik," pintanya menaiki sepeda montor yang barusan di hidupi mesinnya.
"Ke mana?"
"Hotel."
"Hah! Serius?"
Tampaknya wanita itu masih mematung. Diam tak menurut apa yang diperintah oleh pacarnya. Masa sih, harus ke hotel?
"Kenapa masih di diam?"
"Beneran kita mau ke hotel? Kalo ke hotel enggak ah. Aku tidur di sini aja," sahut Ndari masih dalam kebingungan.
"Yakin, mau tidur di sini? Ya udah kalo gitu aku tinggal." Miko menarik gas montor miliknya tetapi Ndari malah menyetop.
Antara was-was dan bingung. Tak mungkin dirinya tidur di tempat terbuka seperti ini. Bagimana nanti malah dikira gembel. Namun, di sebelah sisi berat rasanya jika memilih di hotel.
"Kenapa? Enggak jadi tidur di sini. Nanti malah diculik orang kamu, enggak takut."
Wajah Ndari malah semakin pucet. Bingung apa yang harus dipilih. Hatinya berdegup tidak tenang. Namun, pacarnya malah senyum-senyum menertawakan.
"Beneran kamu mau ngajak aku ke hotel. Entar kalo kamu macem-macem bagimana?" Ndari mengigit bibir bawahnya cemas.
"Hehe …." Miko langsung menarik tangan Ndari untuk naik dan mereka pun melesat pergi.
Sepanjang jalan pikiran Ndari melayang. Bingung dengan keputusan yang diambil apakah ini salah. Namun, tak mungkin dirinya memilih pulang. Tak terasa Miko menghentikan sepeda montor. Terasa begitu cepat. Sontak kaget sebab yang dituju bukannya hotel tetapibangunan rumah megah. Cukup lama diamati sekeliling dan benar ini bukan hotel.
"Mik, ini bukan hotel."
"Iyalah bukan. Emang kamu mau diajak ke hotel apa. Ini itu rumah orang tuaku."
"Hah!" Matanya terbelalak.
Tak menyangka jika cowok itu membawa kemari. Jika dipikir-pikir begini akan lebih baik ketimbang tidur di hotel. Ndari mengembuskan napas menghilangkan rasa gugup. Meyakinkan diri jika semua akan baik-baik saja. Setelah memasukan sepeda montor ke garasi. Miko membawany masuk.
"Assalamualaikum."
Tak lama pintu rumah terbuka. Tepat sekali yang membuka pintu adalah ayah Miko. Deg! Seluruh tubuh dari ujung rambut hingga kaki seketika lemes. Ndari mencoba tersenyum sembari mencium tangan pria berbadan besar itu.
"Baru pulang kamu Ko. Terus ini siapa?"
Miko langsung menyenggol kekasihnya. Sesuai yang diucapkan tadi, Ndari akan menyakinkan ayahnya. Baiklah, pertama-tama mulai mengenalkan diri. Menceritakan kejadian yang sebenarnya dan untungnya respons beliau baik.
"Ee … masuk saja dulu. Di luar dingin, ayo."
Rasanya badan yang sebelumnya lemas menjadi kuat kembali. Ada sedikit tenaga yang mengisi tubuh saat mendegar kalimat itu. Keduanya masuk dan duduk pada sofa ruang tamu. Ndari sempat minder karena rumah Miko benar-benar keren.
"Ohhh jadi kamu enggak mau pulang? Begitukah?"
"Eh, i-iya Om. Soalnya saya takut. Takut Ayah saya bakal menghajar jadi …" Matanya seketika melirik Miko yang juga terlihat cemas.
"Baiklah, Om mengerti. O ya, sampai lupa. Kenalin nama Om Pram. Miko kamu buatkan pacarmu yang hangat-hangat."
"Saya Ndari, Om."
Kedua remaja itu melonggo, kenapa ayah Miko bisa mengetahui keduanya pacaran? Padahalkan belum cerita. Aneh, memang.