Di komplek perumahan Flower Autumn
Luci sedang membantu Tedy membenarkan salah satu perkakas kerjanya. Gadis itu memakai penyamaran hari ini yakni sebuah topeng pemberian Tedy sebagai hadiah ulang tahun gadis itu.
"Uh, gerah," bisik Luci.
Topeng tersebut memiliki wajah laki-laki dengan beberapa berewok dan kumis di wajah. Pada topengnya sudah dilengkapi dengan rambut. Jadi Luci tidak perlu mengenakan rambut palsu.
"Kau yakin Kak Amy tidak akan pulang dalam waktu dekat?" tanya Luci sembari memutar obeng demi melepas baut pada salah satu perkakas milik Tedy.
Saat itu Luci dan Tedy berada di dalam toko milik Tedy. Hari ini cuaca cukup cerah dan hangat. Oleh karena itu Amy memilih untuk pergi ke pantai bersama temannya yang baru pulang dari luar negeri itu. Karena Tedy harus menjaga toko miliknya, maka dari itu Tedy tidak bisa ikut untuk menemani istrinya.
"Yeah, jangan khawatir! Dia akan pulang saat sore atau bahkan larut malam." Tedy berujar sembari membantu Luci untuk melepas baut yang ada.
Keduanya akan memperbaiki mesin pemanas bahan yang biasanya digunakan untuk membuat topeng. Mesin itu rusak belakangan.
"Hah, aku menyerah!" Luci membantingkan tubuhnya pada sofa tua yang sudah tidak empuk yang berada tak jauh darinya. Gadis itu juga membanting pelan obeng yang berada di tangannya setelah tidak berhasil melepas baut yang berada pada mesin itu.
"Kenapa kau tidak menggunakan bor listrik saja?" protes Luci sembari menyeka keringat di tubuhnya. Gadis itu lalu pergi menuju freezer mini yang berada di ujung ruangan toko. Lalu dia mengambil air dingin dan menenggaknya hingga menyisakan setengah botol saja.
"Bor-nya rusak," singkat Tedy yang sudah berhasil melepas baut kedua.
"Kau bisa membelinya Ted. Kau baru saja …. " Luci menhentikan ucapannya.
Tadinya Luci ingin menyuruh Tedy untuk membeli bor baru karena Tedy baru saja mendapat uang seratus juta dari Luci dari hasil penjualan topeng dan barang-barang imitasi lain yang dikerjakan oleh Tedy. Namun setelah mengingat bahwa Tedy bisa saja nanti tiba-tiba merasa kecewa pada Luci, gadis itu pun mengurungkan niatnya untuk membahas tentang uang seratus juta itu.
"Aku baru saja apa?" tanya Tedy tanpa melihat kepada Luci. Lelaki itu masih saja berkutat dengan pekerjaannya. Kaca matanya bahkan sudah melorot dari hidungnya.
"Tidak apa-apa, lupakan saja. Aku mau istrihat dulu," ujar Luci. Gadis itu pun berjalan menuju sofa yang tua dan tidak empuk itu kembali. Kemudian dia duduk dan bersandar di sana sembari memejamkan mata.
"Bagaimana job-mu yang terakhir? Jadi siapa yang menyewa jasamu kali ini?" tanya Tedy. Semua baut sudah dilepas. Sekarang Tedy membuka penutup pada mesin itu. Dan betapa lelah wajahnya setelah melihat banyak debu bersarang pada mesin itu.
"Tuan Hudan yang menyewaku." Luci merentangkan tubuhnya dan merasakan angin segar dari kipas angin yang berada tepat di atasnya. Saat itu Luci mengenakan hem kotak-kotak panjang yang agak kedodoran, demi menyembunyikan lekuk tubuh miliknya.
"Tuan Hudan? Maksudmu Tuan William Hudan?" tanya Tedy dengan agak terkikik.
"Hah? Kau pikir aku malaikat pencabut nyawa sampai aku bisa membuat orang yang mati bisa hidup dan menyewa jasaku?" decih Luci.
William Hudan adalah ayahnya Evan. William Hudan sudah meninggal sekitar sepuluh tahun yang lalu karena penyakit jantung yang kronis.
"Siapa tau saja. Hahahaha," bahak Tedy. Lelaki itu mulai membersihkan debu-debu yang bersarang di dalam mesin miliknya.
"Aku tau kau tidak percaya kan kalau Tuan Evan yang menyewa jasaku?" Luci membuka matanya dan menatap langit-langit.
"Yeah, siapa yang akan percaya? Bukankah dia itu tidak menyukai gadis?" Yang Tedy maksudkan adalah bahwa Evan itu menyukai sesama jenis.
"Aku ragu soal berita yang menyebutkan Tuan Evan itu penyuka sesama jenis," hela Luci.
Di ingatannya kembali melayang tentang bibir Evan yang menyentuh bibirnya. Jika ingat tentang itu Luci ingin marah dan meninju CEO itu. Tapi apa yang bisa dilakukannya? Bahkan sekarang Luci sudah berada di dalam perangkap CEO itu.
"Kenapa kau berpikir begitu? Semua orang bahkan membicarakan orientasi seksual Tuan Evan. Dan orang-orang yakin dia itu penyuka sesama." Tedy terbatuk-batuk setelah mengatakan itu, karena debu-debu pada mesin itu beterbangan dan masuk di tenggorokan Tedy.
"Hahaha, itu tandanya kau harus berhenti untuk berburuk sangka, Bung." Luci tertawa terbahak-bahak setelah melihat Tedy tidak bisa berhenti batuk-batuk. Sampai Tedy harus mundur untuk mengambil air minum dingin yang berada di dalam freezer mini di ruangan itu.
"Kenapa kau begitu yakin? Apa dia sudah pernah menciumu? Ha?" tanya Tedy yang diselingi oleh tawa terbahak-bahak.
Tapi bukannya ikut tertawa, Luci justru menelan ludah takut dan waspada. Tapi untung karena mengenakan topeng, jadi ekspresi keseluruhan milik Luci tidak terlihat.
"Bu – bukan begitu. Masalahnya – masalahnya dia menyewaku untuk menggagalkan perjodohan miliknya," gagap Luci. Tapi dia baru saja menyadari sesuatu.
'Aduh, kenapa aku harus mengatakan itu sih? Dengan penggagalan perjodohan ini bisa membuat Tedy semakin yakin bahwa Tuan Evan itu penyuka sesama jenis,' batin Luci. Padahal yang dikatakan Luci hanya tebakan saja. Sampai saat ini gadis itu belum tau kenapa Evan menyewa jasanya.
"Nah, itu malah menguatkan argument orang-orang kan? Kenapa dia harus menggagalkan perjodohan jika dia memang masih menyukai gadis-gadis? Sudahlah jangan bahas itu lagi! Jadi sudah sejauh mana perjanjian kalian?" tanya Tedy.
Lelaki itu mulai kembali ke pekerjaannya untuk membersihkan debu-debu di dalam mesin pemanas bahan untuk topeng itu. Tapi kali ini Tedy mengenakan masker demi menghindari debu-debu yang masuk.
"Belum ada progress. Sudah tiga hari sejak kami menandatangani kesepakatan, tapi mereka masih belum menghubungiku," keluh Luci dengan sedih. Diam-diam gadis itu merasa takut akan sesuatu. Tapi dia tidak yakin apa yang sedang ditakutkannya saat ini.
"Apa? Bukankah para klien akan segera mendiskusikan segalanya paska penandatanganan kontrak? Jika kalian tidak sesegera mungkin melakukannya, akan sulit bagiku untuk menyiapkan semua perlengkapanmu nanti." Tedy mengernyit dengan serius.
Di setiap misi yang dijalankan Luci, biasanya Tedy akan membuat topeng dan peralatan menyamar untuk gadis itu. Ciri fisik dari topeng itu tentu harus sesuai dengan apa yang diinginkan oleh klien.
"Aku juga tidak tau. Asisten pribadinya menyuruhku untuk tidak bertanya lagi. Aku hanya perlu menunggu sampai mereka menghubungiku," lesu Luci sembari memijit pelipisnya. Tapi sayang pijatan itu tidak terlalu bisa dirasakannya karena Luci sedang memakai topeng yang menghalangi kulitnya saat ini.
"Lu, bukannya aku ingin menurunkan semangatmu. Tapi saranku kau batalkan saja perjanjian dengan Tuan Evan. Kau tau kan bagaimana bengisnya dia? Kau bisa terlibat masalah nanti." Tedy menatap Luci penuh arti. Bahkan lelaki itu menghentikan bersih-bersih debu itu untuk sementara waktu. Matanya yang tersembunyi di balik bingkai kacamata itu bahkan tak berkedip.
"Huff, aku sudah terlanjut menandatanganinya. Mereka bahkan sudah memberiku uang muka." Luci menutup wajahnya dengan tangannya.
"Wah, baru kali ini klienmu memberikan uang muka. Berapa uang mukanya?" Tedy bertanya sambil lalu. Lelaki itu kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Dua ratus juta rupiah," jawab Luci.
"APA? DUA RATUS JUTA?" teriak Tedy tak percaya. Lelaki itu membeku untuk sementara waktu. Otaknya tidak bisa berpikir jernih saat ini.
"Uang muka? Dua ratus juta? Kau ingin menjual jasa atau menjual tubuhmu?" lanjut Tedy tanpa memiliki maksud apa pun.
Tapi bagi Luci pertanyaan Tedy barusan itu memiliki makna mengerikan. Sekarang mau tak mau Luci berpikiran bahwa Evan sedang berusaha untuk membeli tubuhnya.
***