webnovel

Melakukan hal bodoh!

"Kenapa nggak mau keluar dari tadi sih, hm? Ponsel lo kenapa mati? Lo nggak berbuat yang aneh-aneh kan?" ucap Rean dengan rentetan pertanyaan yang sangat mengganggu pikirannya.

"Aneh-aneh gimana maksud lo?"

"Ya, misal—" Ucapannya terhenti saat Rena langsung menyembunyikan tangan kirinya di belakang.

"Gue mau liat tangan kiri lo," ucap Rean yang langsung peka itu. Dia menatap tangan kiri Rena dan wajah Rena yang terlihat takut.

"Nggak!"

"Liatin atau gue lompat."

"Lompat aja, nggak peduli gue."

"Ren! Gue serius! Liatin tangan kiri lo! Lo nggak melakukan hal bodoh kan?" tanya Rean yang sedikit meninggikan bicaranya.

Rena terdiam, kalau sudah seperti ini, ia tak bisa lagi membohongi cowok yang ada hadapannya saat ini.

"Rena, jawab!" teriak Rean yang membuat Rena terkejut, perlahan Rena mengerakkan tangannya, dan menunjukkan perban yang melingkar di tangannya.

Rean seketika sangat terkejut saat melihat Rena melakukan hal bodoh itu lagi, cowok itu mengusap wajahnya kasar, ia menghela napas berat.

"Kenapa lo ngelakuin hal bodoh itu lagi, Rena? Kenapa?! Lo udah janjikan sama gue? Tapi kenapa … kenapa lo lakuin lagi?" Rean menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan dengan perlahan.

"Gue udah pernah bilang sama lo, cerita semua masalah lo ke gue. Gue selalu siap dua puluh empat jam buat lo. Please, Ren, please. Jangan lakukan hal bodoh yang paling gue enggak suka."

"Kenapa lo selalu nyakitin diri lo sendiri? Kenapa, Ren?!" Rean berhasil meluapkan semuanya saat mengetahui Rena melakukan hal yang sangat cowok itu benci.

Rena yang mendengar ucapan itu hanya menahan tangisnya, cewek itu tau kalau Rean akan semarah ini.

Tapi Rena melakukan ini karena ada alasan khusus, ia melampiaskan semua kekecewaan, semua amarah, semua kesedihannya pada diri sendiri, bukan ke orang lain.

"Lo nggak ngerti rasanya jadi gue, Re," jawab Rena dengan nada setenang mungkin. Perlahan kepala terangkat menatap Rean yang masih menatap cewek itu. Mata mereka saling bertatapan,

Rean dapat melihat kesedihan dari mata Rena. Tatapan sendu dari cewek itu berhasil membuat Rean sedikit menyesal dengan ucapannya tadi, karena terkesan menyalahkan Rena.

Sebenarnya bukan Rena yang salah, melainkan keadaan. Keadaan yang membuat Rena melakukan hal bodoh.

"Maaf, Ren. Gue enggak bermaksud—"

"Apa? Gue tau lo nyalahin gue karena perlakuan gue yang lo benci, gue tau, gue tau kalau gue ingkar sama janji gue. Tapi lo nggak tau apa-apa tentang apa yang terjadi sama gue!" Rena menggigit bibir bawahnya, dia mencoba untuk menahan emosinya.

"Lo nggak tau gimana rasanya dinomer duakan sama nyokap, lo nggak tau gimana rasanya tinggal di rumah sebesar ini seorang diri, dan lo nggak tau gimana rasanya saat enggak punya bokap!!" teriak Rena yang tanpa disadari air matanya sudah mengalir keluar dari matanya.

Emosi Rena sudah meluap, dirinya tak dapat mengendalikan emosinya.

"Ren, maaf. Gue—"

"Gue kadang iri sama kehidupan lo. Lo punya nyokap yang baik, dan perhatian. Nyokap lo lebih mentingin lo ketimbang perusahaannya. Lo punya bokap yang selalu kasih lo nasihat."

Rean terdiam, ia lebih mendengarkan gadis itu meluapkan isi hatinya dan membiarkannya sampai hatinya benar-benar lega.

"Sedangkan gue? Gue enggak pernah tau rasanya diperhatiin sama bokap, dilindungi sama bokap, dikasih nasihat sama bokap.

"Bahkan sekarang, nyokap gue lebih care sama perusahaannya, gue nggak ngerti lagi harus gimana." Rena sudah terisak kencang, ia mengepalkan tangannya dengan napas yang tak teratur.

"Nyokap lo itu sayang banget sama lo, Ren. Mungkin sekarang ini dia lebih peduli sama perusahaan karena itu satu-satunya perusahaan yang nyokap lo punya, dan Bunda Marlyn berjuang biar perusahaannya enggak bangkrut. Lo harus ngerti itu, Ren."

Rena yang masih menangis kembali menatap Rean, ia tak mampu berkata apa-apa lagi, rasanya semakin ia ingin bicara, semakin kencang isakan-nya.

"Gue mohon sama lo, Ren. Kalau lo jangan pernah ngelakuin itu, gimana kalau urat nadi lo sampe kena? Gue nggak bisa bayangin itu, Ren. Jadi gue mohon, jangan melakukan hal bodoh."

"Kalau lo emosi, lo boleh pukul gue buat ngelampiasin emosi lo, gue nggak akan marah. Sekarang lo masuk, tidur. Biar hati lo tenang. Besok sekolah kan?"

Rena tak menjawab apapun, ia hanya menganggukkan kepalanya, dan berjalan masuk ke kamarnya. Rean yang melihat punggung Rena hanya menghela napas, ia melihat Rena yang kembali lemah, biasanya ia akan mengabaikan semua itu, dan tetap bersikap biasa aja.

"Gue bakal ada di samping lo terus, Ren."

***

Malam berganti pagi, cahaya matahari masuk dari sela-sela jendela, membuat gadis itu yang tadinya tidur dengan nyenyak kembali membuka matanya. ia menguap lebar sambil mengubah posisi tidurnya menjadi duduk.

Dia merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Matanya terasa pegal akibat semalam menangis.

Matanya bergerak melihat ke arah jam yang menunjukkan pukul enam pagi, tubuhnya pun terasa sudah enakan dan ia juga tak ingin membolos lebih dari sehari. Rena bangkit dari kasur dan menoleh ke arah jendela yang terbuka.

"Lah, perasaan semalem udah gue tutup," gumam Rena yang mencoba mengingat kembali, tapi sulit. Ia masih sulit mengingat kejadian semalem.

"Udah bangun, neng? Gimana tidurnya? Pules? Tumben jam segini udah bangun?" tanya seorang cowok dari seberang sana dengan senyum mengembang.

"Pagi-pagi nanya lo banyak bener, mau jadi wartawan lo?" tanya Rena yang membuat cowok itu tertawa. Rean tampak senang dan lega saat melihat Rena yang sudah kembali menjadi Rena yang ia kenal.

"Berangkat bareng gue yak?"

"Ogah!" jawab Rena yang langsung menutup jendelanya, juga tirai itu dengan rapat. Rena hanya tertawa kecil seraya berjalan gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan badan dan bersiap menuju sekolah.

Dua puluh menit kemudian, Rena sudah rapi dengan seragamnya, juga sepatu putih yang baru saja ia beli beberapa hari lalu. Karena di sekolahnya itu hanya boleh memakai sepatu bebas di hari jumat.

"Rena, bangun, udah pa—" Ucapan bundanya terhenti saat melihat anaknya yang sudah rapi dengan seragamnya. Marlyn tersenyum, dan berjalan masuk mendekati anaknya. Bundanya itu memeluk tubuh Rena dengan erat.

"Maafkan bunda, nak. Bunda terlalu sering melakukan hal yang membuatmu kecewa, dan mungkin kamu sudah bosan dengan ucapan maaf bunda, Nak."

Rena tersenyum, sebenarnya ia juga merasa bersalah pada bundanya. Ia akan mulai mengerti dengan perusahaan dan bundanya itu. karena keduanya itu sangat penting.

"Rena juga minta maaf karena udah bikin bunda kecewa, dan khawatir. Rena seharusnya ngerti. Rena juga merasa bersalah sama Riel," jawab Rena dengan sedikit lirih.

Marlyn tersenyum. "Riel akan mengerti kok. Ya sudah, sekarang turun ke bawah, kita sarapan. Oh iya, nanti bunda ada rapat di mall dekat sekolah kamu itu, kamu bisa susul bunda ke sana. Selesai rapat, kita shopping. Udah lama kan kita enggak shopping," ucap bunda yang membuat Rena tersenyum lebar.

"Ayo, bund! Aku udah lama banget pengen shopping berdua sama bunda," seru Rena yang kembali bersemangat.

"Iya, nanti bunda akan kirim kamu pesan."

"Tapi bund, ponsel aku rusak, kemasukan air. Terus aku banting, layarnya jadi pecah gitu."

Marlyn tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Ya udah, nanti kita beli ponsel baru buat kamu."

"Yes! Makasih, Bundaaa!"

Marlyn tersenyum dan berjalan keluar kamar Rena. Gadis itu menatap punggung bundanya yang sudah mulai menuruni anak tangga, senyumnya tampak enggan dari bibirnya.

Tangannya terulur mengambil tas, dan saat hendak berjalan, dia menoleh ke arah jendela saat mendengar suara dari luar sana. Rena berjalan dua langkah dengan tangan yang membuka tirai, juga jendela.

"Apa?"

Chương tiếp theo