webnovel

» Raditya Dewangga.

Begitu sampai di rumah, belum lagi lelah tersingkirkan, dua orang yang sepertinya sudah menunggu sejak tadi menyapaku dan Kasturi. Dua orang berpakaian formal. Yang memiliki kesan tidak biasa.

"Maaf mengganggu, bisa minta waktunya sebentar?" kata salah seorang yang lebih muda. Yang mengenakan kemeja putih, ditutupi jaket, mengenakan celana jins, dan sepatu cats. Garis wajahnya keras, alisnya tebal, tegas, tapi memiliki senyum yang ramah.

"Kami dari kepolisian yang kemarin menghubungi Anda." Pria yang satunya memperlihatkan tanda pengenalnya. Usianya mungkin berada di akhir tiga puluhan. Rambutnya yang panjang di ikat rapi ke belakang. "Sebelumnya di telepon Anda telah membuat pernyataan, jadi hari ini kami datang untuk mendengarkan pernyataan Anda secara rinci tentang kejadian yang menimpa almarhumah Rindang Saraswati," tambahnya lagi.

Tentang pembunuhan Rindang.

Tatapanku dan Kasturi saling beradu. Kasturiku pasti mulai cemas. Tidak, ini tidak baik untuk kesehatannya.

"Jangan khawatir."

Aku berjongkok di depan Kasturi dan menatapnya. Tatapannya benar-benar tidak bisa berbohong. Kecemasan terpancar jelas di sana. Kecemasan yang sudah terlalu sering kulihat mengambil alih mata indahnya.

Kugenggam tangan Kasturi, yang langsung dibalas dengan erat. Aku mengusap punggung tangannya lembut, berusaha memberikan rasa aman dan mengembalikan ketenangannya. Setelah tatapannya melunak. Aku mengangguk kecil, dan tersenyum.

Aku meminta Kasturi menunggu di dalam sementara aku dan dua petugas di depanku melanjutkan obrolan kami di teras.

"Maaf, istri saya mempunyai gangguan kecemasan," kataku setelah kami duduk.

"Tidak masalah. Seharusnya kami yang minta maaf karena tidak mengkonfirmasikan kedatangan kami lebih dulu," kata yang berambut diikat.

"Sebenarnya kami sudah menghubungi Bapak, tapi tidak ada jawaban," yang lebih muda menimpali.

"Ah, maaf. Seharian ini saya membantu mengurusi beberapa hal di rumah duka, jadi ponsel saya silent." Aku merogoh saku dan memeriksa ponselku. Ada tiga panggilan tak terjawab, dua pesan, serta beberapa chat WA terpampang di layar.

Kedua polisi mengangguk maklum.

"Sebelumnya perkenalkan saya Harun dari Bareskrim dan ini partner saya Setiawan."

Yang rambutnya diikat adalah Harun, dan yang lebih muda Setiawan. Harun pangkatnya jelas lebih tinggi mungkin AKP atau Kompol. Aku tidak terlalu mengerti.

Kami bersalaman. Aku jelas tidak perlu memperkenalkan diri. Aku juga tidak ingin berlama-lama. Duduk bersama dua orang petugas saja sudah membuat Kasturi cemas. Kalau memakan waktu terlalu lama takutnya kecemasannya akan memuncak lagi.

"Karena Bapak adalah orang terakhir yang bertemu dengan korban, kami akan mengajukan beberapa pertanyaan tambahan menyangkut itu," Harun memulai. Mata elangnya semakin tajam menyelidiki.

Aku mengangguk, menunggu pertanyaan yang akan diajukan.

"Bapak dan Rindang turun ke lapangan dan menyelesaikan beberapa pekerjaan dan masuk kota sekitar pukul 18.15 kemudian mampir ke swalayan, kami bisa mengkonfirmasi keterangan Bapak sampai pada tahap ini. Kemudian di pinggir jalan, Bapak menurunkan korban di tempat yang saat itu agak sepi karena menjelang magrib."

"Iya, benar," kataku. Aku hanya perlu menjawab apa yang ditanyakan dan mengkonfirmasi apa yang mereka temukan.

"Oh iya, apa alasan Bapak menurunkan korban di tempat itu? Seharusnya 100 meter lagi adalah tempat yang lebih ramai dan lebih aman untuk seorang wanita jika harus berjalan seorang diri."

"Rindang bilang ada sesuatu yang harus diurus. Karena saya juga buru-buru pulang, saya tidak berpikiran panjang. Kalau saya tahu akan ada kejadian seperti ini seharusnya saya mengantar Rindang sampai ke rumahnya dengan aman." Suaraku terdengar berat di telingaku sendiri.

"Bapak tahu urusan apa?" Harun bertanya lagi.

Aku menggeleng. "Ah, aku baru dengar dia sudah dilamar dan akan memberikan jawabannya ketika sampai di rumah. Mungkin ada kaitannya," ralatku seketika mengingat apa yang dikatakan Dimas.

Setiawan mencatat setiap kalimat yang keluar dari mulutku. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk, sesekali ia menatap ke arah Harun ketika Harun bertanya.

"Bapak sampai di rumah pukul berapa?"

"Jam sembilan kurang ..." Aku melihat ekspresi terkejut di wajah kedua polisi di depanku. Setiawan bahkan menghentikan tangannya menulis. Buru-buru aku menambahkan, "Mobil saya mendadak tidak bisa digunakan. Jadi saya pulang dengan berjalan kaki."

"Jalan kaki?!" Kali ini mereka lebih terkejut lagi.

"Dompet saya ketinggalan. Saya baru sadar ketika berada di dalam swalayan." Aku menjelaskan.

Harun dan Setiawan bertukar pandangan, kemudian mengangguk.

Pertanyaan masih berlanjut sekitar 3 atau 4 pertanyaan lagi. Bedanya kali ini lebih mengenai kepribadian Rindang, bagaimana sikapnya selama dua hari terakhir, dan bagaimana pergaulannya. Aku menjawab semua yang aku tahu mengenai Rindang. Begitu kedua petugas di depanku puas dengan semua jawaban-jawabanku, mereka pamit. Aku mengantar kepergian mereka sampai gerbang.

Melatih diri setiap hari untuk terlihat tenang ternyata sangat membantu. Aku yakin seberapa pun pengalamannya para petugas menginterogasi seseorang, mereka pasti tidak akan menyadari kegelisahanku.

Kegelisahan ini entah bersumber dari rasa bersalah karena menurunkan Rindang di sembarang tempat atau karena ada hal lain yang kuragukan. Aku sendiri tidak tahu.

Sebagian dari diriku benar-benar menyesal, tapi sebagian lagi membenarkan tindakanku. Tidak ada pilihan lain. Rindang mencoba menggodaku dan aku nyaris saja terjerumus. Jika aku tidak segera menurunkannya, entah apa yang akan terjadi.

Mulut bisa berbohong tapi tidak selalu bisa diikuti oleh anggota tubuh yang lain. Aku tahu itu. Tangan, mata, dan sikap tubuh lainnya terkadang membuat gerakan yang mencurigakan tanpa sadar saat seseorang berbohong. Asal aku menjaga anggota tubuhku dengan baik dan tidak melakukan gerakan yang mencurigakan, aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Cukup mengikuti alur dan memasang ekspresi tenang.

Aku benar-benar tidak berharap alasanku menurunkan Rindang dipertanyakan. Aku sudah menduga pertanyaan seperti itu sebelumnya, tapi tetap tidak yakin bagaimana harus menjawabnya. Karena sudah ditanyakan yang bisa kulakukan hanya mengarang kebohongan pertamaku.

Kemudian kebohongan kedua mengenai mobil yang rusak.

Harun dan Setiawan telah mengkonfirmasikan keteranganku sampai pada aku menurunkan Rindang di jalan. Jadi, jika mereka terus menelusuri jejakku, mereka akan tahu mobilku sempat terparkir tanpa penghuni untuk beberapa lama di pinggir jalan.

Jika aku bilang aku pulang tepat pada waktunya, mereka akan menemukan aku berbohong. Jika mengatakan aku jatuh tertidur dan tidak sadarkan diri, kebohongan pertamaku akan terekspos. Karena Rindanglah alasanku tidak sadarkan diri. Untuk menutupi celah itu, aku harus menciptakan kebohongan yang lain.

Pulang dengan berjalan kaki mungkin terdengar aneh di jaman ini. Setiap orang bisa memesan kendaraan Online hanya dengan mengunduh aplikasinya, kemudian melakukan pembayaran di rumah. Tapi sekali lagi mereka pasti akan memeriksa jejakku dan akan menemukan aku benar-benar berjalan kaki pulang. Karena berjalan kaki pulang bukan kebohongan, aku tidak perlu memalsukannya.

Sebenarnya aku tidak ingin berbohong, aku bertengkar dengan Rindang dan menurunkannya di jalan adalah kebenaran. Lalu apa? Apa dengan begitu aku memiliki motif untuk membunuh karyawanku sendiri?

Masalahnya, aku tidak ingin pertengkaranku dengan Rindang sampai di telinga Kasturi. Aku tidak ingin membuatnya cemas. Tidak ingin membuatnya berpikiran yang tidak-tidak. Tidak ingin dia mencurigaiku.

Prioritas utamaku adalah perasaan Kasturi. Jika dengan seribu kebohongan akan membuatnya baik-baik saja, akan aku lakukan tanpa ragu.

Satu lagi, bagian dari ingatanku yang terputus. Aku harus mengkonfirmasikannya lebih dulu. Yang terjadi hari itu benarkah aku tidak terlibat sama sekali atau ada sesuatu yang lain.

"Dewa!"

Suara Kasturi membuyarkan semua hal yang ada di pikiranku.

_abcde_

Chương tiếp theo