webnovel

"Mike, jangan tidur disini!"

"Silahkan menikmati."

"Sudah ku bilang jangan masak terlalu banyak! Ini terkesan kita menyambut kehadiran mereka," omel Mike saat Devan menyajikan banyak hidangan lezat di meja makan. Bukan bermaksud tak menghargai kerja keras remaja itu, tapi Mike hanya merasa kesal jika semakin banyak orang yang merasakan kelebihan Devan. Seakan tak cukup dari ketiga anak buah Mike kemarin, hari ini disusul cepat oleh Gista dan Benny, lalu siapa lagi? Sepintas pikiran gila Mike malah ingin mengungkung Devan, biar semua orang tak mengenal pria imut itu terlalu dalam.

Sedangkan Devan yang mendapat teguran seperti itu pun menjadi serba salah. Ia tak masak banyak, ini menu hidangan yang sudah sering ada, ia hanya menambah sedikit porsi agar cukup dimakan empat orang. Menipiskan bibir tanpa berniat membalas ucapan Mike, Devan pun mendudukkan diri tepat di samping pria yang mempertontonkan tatto indahnya itu.

Hening selama beberapa saat, sampai Devan dikejutkan dengan usapan lembut dibelakang kepalanya, itu Mike. Segera Devan mengalihkan pandangan pada Mike yang ternyata fokus pada ponsel yang ada digenggaman. Devan sungguh tak memahami seorang Mike, bukankah ia terkesan begitu menyukai sentuhan kulit dengannya? Gigi Devan pun reflek menggigit bagian dalam pipi saat jari tangan Mike semakin turun untuk meraba leher belakangnya. Ini gila, Devan berusaha keras untuk tidak melenguh nikmat, itu salah satu bagian sensitif miliknya.

"OMG! Aku baru menyadari sesuatu!" pekik Gista yang membuat kaget ketiga pria disana. Semua sontak menatap wanita yang menahan kesenangan dengan membekap mulutnya sendiri itu. Setelah melihat Gista sesaat, mereka langsung mengalihkan pandangan dengan abai, wanita itu terlalu gila. Ia gila karena melihat bekas merah dileher Devan yang membuatnya berpikir mesum. Mereka pasti telah melewati malam romantis dengan suasana panas, itu pikirnya.

"Ehem! Aku Benny, sepupunya Mike. Kau Devan, kan?" tanya Benny memutus keheningan dan ketidakjelasan Gista. Pria yang duduk tepat didepan Devan itu pun mengulurkan tangan untuk berjabat.

"Y-ya... Aku Devan, senang berkenalan dengan mu," balas Devan berusaha mengeluarkan suara senormal mungkin, ia pun dengan cepat menyambut uluran tangan itu. Tentu alasan yang jelas, karena Mike masih saja sibuk dengan ukiran abstraknya di leher Devan.

"Sial! Aku tak bisa menahan hawa sekitar yang jadi romantis seperti ini," celetuk Gista yang akhirnya menampakkan senyum yang begitu lebar. Kedua lengannya pun langsung menumpu wajah dan memandang aksi romantis dari Mike.

"Ada apa dengan mu, kau mulai gila, lagi?" tanya Benny yang membuat senyum Gista langsung meredup. Pria itu pun sebenarnya juga mengetahui dengan pasti kalau ada yang tak beres dengan gelagat Mike kepada Devan, pun sebaliknya. Ia sama sekali tak ingin berkomentar ataupun mengekspresikan persetujuan seperti tindakan berlebih Gista, karena ia lebih kearah tidak peduli jika pun keduanya ada rahasia.

Dengan memincingkan mata tajam Gista pun langsung membalas, "Huh! Kau mana mengerti dengan hal seperti ini!"

"Sebenarnya dalam rangka apa kalian menggrebek rumahku?" tanya Mike langsung pada intinya, ia sudah begitu malas untuk menghadapi kedua orang didepannya itu. Perut yang sudah lapar ditambah aroma semerbak racikan bumbu membuat Mike dengan cepat mengumpulkannya pada satu piring. Hal itu pun langsung diikuti oleh yang lain. Mereka mulai melahap beberapa suap dan memuji betapa enaknya masakan Devan. Ya, ini juga yang tak disukai Mike, bibir Devan yang tersenyum tipis untuk orang lain.

"Oh ya, aku hampir saja lupa. Begini Mike, hasil fotomu dengan Gista akan segera rilis dan akan ada sedikit pesta karena itu," ucapan Benny membuat Mike langsung menghempaskan sendok garpunya. Ia sudah menduga, kedatangan kedua makhluk itu pasti akan mengusik waktu bahagianya.

"Aku tak akan hadir," balas Mike dengan cepat. Pandangannya pun langsung beralih ke arah Devan yang terlihat mengernyitkan dahi. Devan penasaran, dan itu sangat mengusik Mike. Ia jelas tak ingin kalau Devan mengetahui banyak sisi di dalam dirinya yang ternyata kelam.

"Ini tentang pekerjaan Mike, mohon mengertilah sedikit!"

"Itu bukan pekerjaan, kau jelas memaksaku, kemarin. Kau tau pasti kalau aku tak bisa di desak. Aku peringatkan sekali lagi, jangan coba-coba untuk mengancam ku!" peringat Mike dengan kedua lengan yang terlipat di depan dada, lagaknya seperti penguasa yang memberi ancaman pada bawahan.

"Lalu aku harus bagaimana kalau mereka meminta untuk melihat kau secara langsung?" ucap Benny dengan cemas. Sungguh, kelanjutan hidupnya ditentukan oleh keputusan Mike. Ia bisa saja mati jika rencana pamannya itu tak berjalan mulus.

"Itu masalahmu," balas Mike tak acuh.

"Oh ayolah Mike, bantu saudaramu ini sampai tuntas," ucap Benny dengan memelas, ia sudah tak bisa lagi mengancam Mike. Pria itu sudah memegang kartu as nya, mereka satu sama.

"Tetap tidak. Cepat selesaikan makanan kalian dan lekas pergi!" titah Mike dan seketika membuat kedua orang tamu itu lemas. Ya, memang begitu sulit untuk membujuk Mike.

"Kenapa kau bersikap seperti itu pada mereka?" tanya Devan pada Mike. Ia yang sejak tadi memilih diam karena memang itu bukan masalahnya. Saat ini mereka kembali duduk berdampingan dengan menatap layar datar yang menampilkan sebuah drama. Ya, itu hanya sekedar pelengkap saat mereka selalu fokus pada percakapan.

"Aku tak harus menjaga sikap pada kedua orang yang selalu mengusikku itu," balas Mike yang duduk dengan posisi setengah berbaring, kedua kakinya bertumpu di meja depan.

"Hahahaa... Kau terlihat seperti bocah, pilih-pilih kawan, heh?" sindir Devan tak pelak mengundang perhatian Mike. Pria itu pun langsung menatap Devan dan mencubit pipi menggemaskannya.

"Pada dasarnya aku bukan tipe orang yang pilih-pilih kawan, tapi terkadang pikiran dewasa memberi alasan kuat untuk memutuskan hal itu. Setiap waktu pasti timbul masalah dan aku tak ingin pikiran ku terganggu dengan hal tak penting masalah pertemanan. Kita harus memendam rasa tak suka pada seseorang yang terpaksa harus kita dekati, itu membuat kita terlihat munafik. Sedangkan aku lebih memilih untuk langsung menghindar dan mencari jalan keluar untuk tak berurusan. Bukan pengecut, ku garis bawahi!" ucap Mike panjang lebar.

"Itu terlihat kau memilih golonganmu. Kenapa tak kau coba hilangkan rasa risih atau bahkan bencimu pada mereka, barangkali mereka dapat mendatangkan hal positif untukmu? Karena kita sebagai manusia tak akan pernah tau siapa yang berpengaruh besar dalam perubahan hidup kita."

"Yang kau ucapkan memang benar, tapi terkadang langkah itu diambil oleh orang yang dapat mengendalikan emosi, sedangkan aku?" tandas Mike membuat Devan semakin tertarik dengan topik pembicaraan. Ia pun membenarkan posisi dengan bersila menghadap Mike secara penuh.

"Kau kenapa?" timpal Devan yang memang begitu penasaran dengan Mike. Dia sama sekali tak mengenal sosok Mike walau itu hal yang mendasar sekalipun. Ya, mereka memang tak membicarakan hal pribadi sama sekali. Dan yang seperti sudah terlihat, Devan terlalu dini untuk menaruh hati pada seseorang seperti Mike.

"Oh ayolah... Aku orang yang penuh emosi, Dev!"

"Benarkah? Aku malah semakin menatap penasaran. Bagaimana saat wajahmu menegang, alis yang menyatu, rahang yang mengetat, bibir yang terkatup rapat, aku sungguh penasaran!" ucap Devan antusias. Sekilas ia mengingat kejadian siang tadi. Mike yang mendesaknya untuk menjawab asal mula tanda merah di lehernya. Pikiran Devan memberi sebuah alasan, mungkin saja Mike marah karena ia beranggapan itu sebuah hickey? Akhh...! Yang benar saja! Kalau itu benar pasti Devan sudah berguling-guling karena girang. Sebentar, lagi-lagi ia seperti ini! Apa Devan harus setiap saat menunda niatnya untuk menghilangkan rasa suka pada Mike?

"Yakinlah kalau aku tak akan menampilkan wajah terseramku padamu. Lagipula tak ada alasan untuk itu kan?"

"Kau melakukannya tadi."

"Bukan kepadamu, kan?"

"Waktu di mobil tadi!"

"Memang aku marah?"

"Ya, kau jelas membentak ku, tadi!"

"Hei, tolong bedakan! Aku tak membentak, itu hanya kata desakan karena kau tak lekas menjawabku!" ucap Mike mengutarakan alasannya.

"Kau melakukannya lagi. Kalau boleh jujur, kau menyeramkan dengan rautmu sekarang. Aku tak bisa membayangkan bagaimana kalau kau sedang marah besar," balas Devan saat pria itu lagi-lagi meninggikan suara dengan alis yang bertaut.

"Jangan dibayangkan! Sudah, anak kecil tidur dulu," perintah Mike yang dengan cepat mematikan televisi kemudian berdiri dari duduknya.

"Huaaa... Mike!" pekik Devan yang sama sekali tak mengira kalau Mike akan memanggulnya di bahu. Ia pun memukul belakang tubuh Mike yang malah dengan santai berjalan kearah kamar Devan.

Mike pun lantas menghempaskan Devan ke ranjang dan diikuti Mike yang menggulingkan remaja itu untuk memberinya tempat. "Hei! Kenapa kau ikut berbaring disini, Mike!" tanya Devan yang langsung mendudukkan diri menatap Mike yang sudah memejamkan mata dengan posisi tidur tengkurap.

"Aku sudah begitu malas untuk beranjak, aku tidur disini saja."

"Mike, jangan tidur disini!" cegah Devan saat bayang-bayang tidur berdua mengotori pikirannya.

"Kenapa? Kita tidur bersama dua hari lalu kan?" balas Mike yang kini membuka mata. Ia membalik posisi tidurnya dengan satu lengan menumpu kepala.

"Ya, karena kau menyelinap!"

"Hei, dengar! Ini masih tempat kekuasaan ku, dan kau tak berhak protes. Cepat tidur!" putus Mike dan tanpa aba-aba menarik lengan Devan untuk berbaring di dekatnya. Ini gila, posisi mereka sangat dekat bahkan saling menempel karena Mike memeluknya dengan erat. Ia tak bisa bergerak menghindar karena kaki Mike dengan cepat memberhentikan rontaannya. Bahu kekar Mike yang menjadi bantalan kepala Devan, serta wajah yang saling memandang dengan begitu dekat. Sudah dipastikan, mereka terserang insomnia mendadak.

Chương tiếp theo