webnovel

Mata senior

Satu minggu telah berlalu, akhirnya MADABINTAL telah berakhir. Sesampainya diasrama semua orang langsung memasuki diasramanya masing-masing. Tubuhku rasanya kelelahan, saat menyentuh kasur aku langsung tidur. Dengan begini setidaknya tubuhku bisa bersantai sebelum datangnya badai. Di kasur bawah kulihat Yoga tertidur pulas sambil mendengkur, mulutnya yang terbuka, serta rembesan air dari selah mulutnya, menandakan bahwa ia sangat kelelahan. Keesokan harinya, kami bangun tanpa tekanan. Biasanya kami dipaksa untuk bangun, pukul empat pagi kini semua orang bisa merasakan kebebasan. Kecuali para perwakilan asrama, yang harus bangun pagi untuk mengambil katering di Pos jaga.

Hari ini adalah giliranku untuk mengambil katering. Saat aku berjalan kaki kananku masih terasa sakit, akibat lecet yang disebabkan oleh long march (Jalan jauh). Jika seandainya aku tahu lebih awal, mungkin alas sepatuku akan diberi softex. Dengan menggunakan softex sebagai bantalan, maka akan mengurangi gesekan pada alas kaki. Setelah itu aku tidak akan membawa, barang berlebih untuk mengurangi beban di dalam tas. Suasana hari ini terasa sangat sepi, mereka semua berada didalam asrama untuk beristirahat. Semoga lelah mereka menjadi berkah. Sesampainya dipos jaga, para senior memberikan enam kota katering ke setiap catar.

Kulihat hari ini adalah giliran senior Soni dan Robi, yang bertugas membagikan katering. Sambil membagikan katering, mereka memberitahu bahwa hari ini dan dua hari kedepan kegiatan akan diliburkan. Satu persatu perwakilan kembali ke asramanya masing-masing. Sekarang adalah giliranku untuk menerima katering, saat aku sedikit menjulurkan kedua tangaku, kulihat mereka menatapku seolah ingin menerkamku. Entah mengapa aku merasakan aura kebencian, yang terpancar saat didekat mereka. Melihat hal itu aku tak bisa memandang mereka lebih lama, lalu aku putuskan untuk sedikit menunduk. Senior Soni pun berkata.

"Gue kecewa sama elu babi, merengek-rengek minta pulang apa maksudnya itu? Mau mempermalukan kota Subang iya!" kata senior Soni.

"Mungkin disana ada pelatih Sugianto, tetapi kalau disini jangan harap hiduplu bisa tenang!" kata senior Robi.

"Saat liburan berakhir, habis elu!" kata senior Soni.

Setelah menerima katering aku langsung kembali ke asrama. Mengingat perkataan mereka, terdengar seperti sebuah ancaman. Namun tidak ada yang bisa aku lalukan saat ini, selain pasrah dan menerima keadaan dengan berlapang dada. Memang perbuatanku sebelumnya adalah perbuatan yang sangat memalukan. Selain mencoreng nama baik akademi, juga dapat menurunkan wibawa para senior. Menurutku seharusnya mereka mengerti, bahwa setiap manusia memiliki mental dan karakter yang berbeda. Lalu mereka juga harus menyemangati para juniornya dengan motivasi, bukan sebuah ancaman.

Jika sebuah ketakutan adalah pedoman, suatu hari nanti mereka akan menerima akibatnya. Banyak kasus pembunuhan, yang dilakukan junior kepada seniornya yang aku lihat ditelevisi. Dari situlah mereka seharusnya belajar, jangan terpaku menggunakan sistem yang lama, sebaiknya perlu dilakukan sedikit perubahan sistem lama, agar bisa mendidik juniornya menjadi berkualitas. Tetapi jika tidak dirubah juga tidak masalah, mungkin memang seharusnya seperti itu. Sesampainya diasrama aku membangunkan yang lainnya, lalu membagikan makanan satu persatu.

Kami pun mulai menikmati hidangan bersama-sama, lalu kami pun saling bertatapan. Mereka mulai membicarakan saat kegiatan MADABINTAL. Kemudian mereka mulai membicarakan tentang diriku, lalu mereka tertawa ketika menceritakan diriku yang tengah menangis. Aku menerimanya dengan lapang dada, sudah sepantasnya diriku untuk ditertawakan. Lagipula aku juga menyesalinya. Orang yang paling puas tertawa adalah Paijo, sebab ia adalah orang pertama yang memprediksikannya. Dodi pun penasaran mengapa diriku mengatakan, bahwa aku ingin pulang. Lalu aku pun menjelaskan, bahwa aku mengatakan hal itu hanya sebagai permulaan dalam mengawali percakapan.

Mendengar hal itu Paijo tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Dia beranggapan bahwa itu adalah sebuah kebohongan. Sementara yang lain, ada yang percaya dan juga ada yang tidak. Kemudian Yoga menyemangatiku, lalu ia berkata bahwa setelah ini semua akan baik-baik saja. Seketika aku mengingat perkataan senior Soni dan Robi, lalu aku berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh Yoga sepertinya tidak benar. Setelah menyantap hidangan, kami mulai membersihkan asrama. Sebelum itu kami membagi tugas, aku dan Yoga membersihkan halaman depan, Piras dan Paijo didapur, terakhir Dodi dan Muner membersihkan kamar.

Aku bertugas untuk mencabuti rumput, sementara itu Yoga bertugas memungut sampah dan membersihkan selokan. Ketika sedang mencabuti rumput, kulihat Farhan sedang melintas sambil membawa sebungkus seblak untuk dirinya. Dia melirik ke arahku lalu ia datang menghampiriku, yang sedang mencabuti rumput.

"Hei mas Jul, lagi piket?"

"Iya nih, seblaknya kelihatannya enak" ujarku sambil melihat bungkusan ditangan kirinya.

"Ha.ha.ha. hayuk kalau mau nanti gue beliin, habis ini mampirlah ke asrama gue kita ngopi" ajak Farhan.

"Ok" jawabku.

Selesai membersihkan asrama, aku langsung pergi berkunjung ke asramanya. Saat aku memasuki kamarnya, kulihat ada dua orang temannya yaitu Narzib dan Husni. Narjip memiliki kulit sawo matang, meta yang lebar, dan gigi sedikit tidak beraturan. Sedangkan Husni, memiliki badan yang tinggi, berkulit hitam, dan memiliki postur agak gemuk. Mereka berdua langsung memanggil namaku, lalu memerintahkanku untuk duduk bersila disamping mereka. Lima belas menit kami menunggu, namun Farhan tak kunjung datang. Kami bertiga memutuskan untuk tidur sejenak, tiba-tiba Farhan pun datang lalu mengetuk pintu. Dia datang dengan sebuah pelastik berukuran sedang, berisi tiga wadah styrofoam.

"Lama yah?" tanya Farhan.

"Iyah lama banget, lu kemana dulu sih?" tanya Narjip.

"Santai bos, seblaknya ngantri"

"Yaudah sini gak sabar nih gue" ujar Husni, sambil mengusap kedua tangannya.

Kemudian Farhan langsung membagikan seblak, yang ia bawa kepada kami. Lalu kami pun mulai memakan seblak dengan lahap. Sebelum makan kami tambahkan dengan nasi, entah mengapa tanpa nasi kami merasa ada yang kurang. Rasa dari seblak ini pas dengan seleraku, rasa pedas, asin, dan gurih bercampur menjadi saty lalu bergelimpangan di atas lidah. Tak terasa, seblak yang kami makan telah habis. Setelah makan, kami membuang sampah lalu mencuci piring yang telah kami pinjam.

Lalu kami duduk bersama dihalaman depan asrama, kulihat banyak catar yang berlalu-lalang di jalan. Merekapun mulai bercerita suka dan duka saat MADABINTAL. Selesai membicarakan hal itu, mereka mulai membicarakan alasan mereka memasuki akademi maritim. Yang pertama adalah Narjip, alasan ia untuk masuk akademi ini adalah untuk membantu ayahnya yang bekerja di pelabuhan Jakarta. Pekerjaan ayahnya adalah memastika seluruh persediaan berada didalam kapal. Selain itu Ayahnya juga mengurusi bagian administrasi kelautan. Melihat Ayahnya yang sibuk, dia termotivasi untuk bergabung di akademi.

Yang kedua adalah Husni, alasan ia memasuki akademi ini adalah dia ingin bekerja di pelabuhan King Abdul Aziz, Saudi Arabia. Dengan bekerja disana, ia berharap dapat mengikuti ibada umrah tanpa harus memesan tiket pesawat. Meskipun hanya sebuah rencana, tetapi ia mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Lalu dia berkata, bahwa ia ingin mencari calon istri disana. Sebab menikahi wanita lokal, merupakan hal biasa yang dia lihat, maka dari itu dia ingin mencoba hal yang berbeda. Lagipula jodoh dan kematian, tidak ada yang tau kecuali Sang Pencipta.

Selesai bercerita, kami pun memberikan tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi. Husni pun senang melihatnya lalu ia menyuruh Farhan untuk bercerita. Kini giliran Farhan, alasan ia memasuki akademi pernah diceritakan sebelumnya. Maka aku tidak akan menceritakannya kembali. Dan terakhir adalah giliranku, lalu mereka meminta diriku untuk segera menceritakannya.

"Ayo Mas Jul, sekarang giliranlu" kata Narjip.

"Gak apa-apa Jul, ceritakan saja semuanya" kata Farhan.

"Ok baiklah. Jadi alasan gue masuk akademi, jujur gue gak tahu. Tetapi gue pengen banget kerja di pelabuhan Jepang. Terus gue pengen ngerasain musim salju disana. Itu aja sih bro alasan gue, gak ada yang spesial seperti kalian" ujarku.

"Gak apa-apa segitu udah bagus kom" kata Husni.

"Thanks guys" ujarku.

Setelah itu kami pun menyeduh secangkir kopi hitam. Cuaca yang sejuk serta bebas dari tekanan, membuat suasana hari ini terasa nikmat. Lalu Husni pergi ke kantin untuk membeli gorengan, setelah itu ia bagikan kepada kami. Kulihat ada beberapa catir yang akan melintas, biasanya ketika melihatku mereka langsung menyapaku. Kini mereka tidak melakukannya, mungkin saja mereka tidak melihatku. Lalu aku memutuskan untuk menyapa terlebih dahulu, kulihat mereka membalas dengan senyuman sinis. Mungkin saja mereka berdua sedang mengalami datang bulan. Selesai berkunjung aku pun pamit untuk kembali ke asrama. Ditengah perjalanan, aku bertemu dengan senior Robi yang sedang melintas. Kulihat ia menatapku dengan penuh kebencian, lalu dengan sengaja ia menabraku dengan tubuh kekarnya. Dia pun berkata.

"Dasar anak cengeng mengganggu pemandangan saja!" gertaknya.

Melihat sikapnya aku hanya bisa terdiam, lalu berjalan sambil membungkukkan kepala. Dari sini aku semakin yakin, bahwa kebenciannya kepadaku bukanlah main-main. Keesokan harinya, seluruh catar keluar dari asrama untuk berlibur. Ada yang pergi ke waterboom, mal, pasar, bahkan ada sebagian dari mereka kembali ke rumah. Sebelum melakukan hal itu, mereka sudah izin dengan para penjaga asrama. Sedangkan aku hanya bermalas-malasan di dalam asrama. Selama tidak ada mereka, aku bisa merasakan ketenangan. Biasanya saat ada mereka, suasana di asrama sangat berisik. Untuk mengisi waktu luang, aku berlatih huruf Jepang yaitu hiragana dan katakana, dengan sebuah buku kosong.

Ini semua adalah langkah awal, dalam mengejar impianku untuk pergi di Jepang. Sebenarnya keinginan ke Jepangku itu, sudah ada saat diriku menduduki bangku SMK. Waktu itu aku mendengar cerita, dari seniorku yang pernah pergi ke Jepang. Dia bercerita bahwa Jepang adalah negara yang indah, disana terdapat banyak sekali bunga sakura. Bukan hanya itu saja, Jepang terkenal dengan budaya dan juga even-even menarik. Bahkan waktu itu aku melihat ia membawa calon istrinya yang berasal dari Osaka. Kemudian dia pulang ke Indonesia, dengan mengantongi uang sebesar delapan ratus juta. Sekarang ia sudah memiliki rumah di Jakarta, dan juga kontrakan di Bandung.

Itulah motivasi awalku ingin pergi ke Jepang. Jika seandainya aku lulus seleksi pemagangan ke Jepang, mungkin impian itu bisa terwujud. Sekarang aku berada di tempat yang tidak aku inginkan, seorang diri sambil menatap bintang di langit. Berjalan mengikuti sebuah, arus yang tak berujung di lautan lepas. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua belas, namun para penghuni asrama belum kembali. Suasana di dalam asrama sangat panas, lalu aku nyalakan kipas yang ada di pojok ruangan. Namun itu tidak cukup, kemudian aku membuka pintu asrama.

Angin pun mulai berhembus cukup kencang memasuki ruangan, akhirnya cuaca panas hari ini bisaku atasi. Sekarang aku bisa melanjutkan latihanku dengan tenang, kulihat senior Soni sedang berpatroli keliling asrama. Tiba-tiba ia meliriku lalu ia menatapku dengan tatapan kebencian. Setelah itu ia kembali melanjutkan patroli, mengelilingi asrama. Entah hal buruk apa yang akan menimpaku, namun aku harus menghadapinya dengan jantan. Tak terasa libur telah berakhir, sudah saatnya para taruna memulai kegiatan seperti biasa. Hari ini adalah pembagian kelas sesuai jurusan, selesai pembagian kami pun diminta untuk memasuki ruangan.

Kami pun memilih tempat untuk duduk, semua anak dikelas berebut untuk duduk di kursi belakang. Sayangnya aku tidak mendapatkan tempat itu, sehingga aku terpaksa duduk paling depan. Disamping kiriku ada Muni taruni berkulit sawo matang, berambut pendek sedangkan di samping kanan ada taruna yang bernama Jukri. Kami bertiga saling berkenalan, ketika aku ingin berkenalan mereka sudah tau lebih awal tentang diriku, sehingga diriku tidak perlu memperkenalkan diri. Kami pun sempan berbincang mengenai akademi ini, untunglah mereka tidak membicarakan soal diriku saat MADABINTAL. Sebab itu adalah hal yang memalukan bagiku. Lima belas menit telah berlalu pelajaran pun dimulai. Mata kuliah hari ini adalah, bahasa indonesia, PKN, agama, dan terakhir akutansi dasar.

Namun karena hari ini adalah hari pertama, maka kegiatan belajar mengajar hanya diisi dengan perkenalan saja. Selesai perkenalan Sang Pengajar meminta kami untuk beristirahat, sebab ia tahu kegiatan apa saja sebelum memasuki kelas. Sementara itu Sang Pengajar itu sendiri, sibuk melihat layar phonsel miliknya. Kesempatan ini tidak kulewatkan begitu saja, tangan dilipat lalu dijadikan bantalan untuk tidur. Sekilas kulihat tiga poltar sedang mengawasi kami, mereka tersenyum melihat kami. Masa bodoh dengan mereka, aku pun kembali melanjutkan tidurku.

Sekian lama aku tertidur, aku mendengar seperti ada yang memanggil namaku. Lama kelamaan suara itu mulai menghilang, tiba-tiba aku terbangun oleh seseorang yang menepuk pundakku cukup keras. Kemudian aku mulai membuka mata, lalu menoleh ke arah belakang. Rupanya orang yang menepuk pundakku adalah poltar. Kulihat seluruh teman sekelasku berdiri dengan sikap sempurna, lalu Sang Pengajar sudah tidak ada di mejanya. Jantungku berdekat bergitu kencang, keringatku mulai mengucur, sungguh malang nasibku. Lalu poltar itu berkata.

"Selain jago menangis, rupanya kau jago tidur rupanya." Menjewer telingaku.

"Siap!" Berdiri sikap sempurna.

"Sekarang maju ke depan, kita mau kasih relaksasi." Menunjuk ke arah papan tulis dengan jempolnya.

Setelah itu, aku diperintahkan untuk membungkuk, lalu mereka langsung mencambuk punggungku dengan selang. Kemudian mereka memintaku untuk push up sebanyak tiga puluh kali, lalu disambung dengan menyanyikan lagu Garuda Pancasila. Selesai menjalani hukuman, mereka bertiga memperingatiku, agar diriku tidak mengulanginya kembali.

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

Tampan_Beranicreators' thoughts
Chương tiếp theo