webnovel

Toko Buku

Aku merapatkan jaketku, memerangkap kehangatan supaya tubuhku bisa bertahan di hawa malam yang dingin. Hari ini salju turun lebih awal disertai angin yang berhembus kencang dari arah timur, namun semua itu tak menyurutkan langkahku menuju toko buku milik Kakek Cio yang ada diujung jalan.

Toko buku Kakek Cio adalah favoritku di kota ini, selain yang paling dekat dengan apartemen ku disana juga jenis-jenis bukunya menurutku lengkap bahkan seringkali ada diskon.

Dan.. siapa yang tidak suka diskon disini? Aku pikir kebanyakan orang suka, tak terkecuali aku. Tapi aku bukan pemburu diskon, aku hanya−suka− diskon, jadi tolong dibedakan yaa! Beda cerita kalau menyangkut soal buku, jangan ditanya seberapa besar aku 'mencintainya' sebab lambang infinite sudah mewakilinya.

Ahh, ternyata sudah hampir sampai, tinggal beberapa meter lagi. Dulu kupikir Kakek Cio adalah seorang antagonis yang menyeramkan. Kau tahu mengapa? Yeah, karena raut wajahnya judes serta sorot matanya yang tajam seperti ingin memakan seseorang, membuat nyaliku ciut saat pertama kali melihatnya.

Sewaktu aku berumur 18 tahun, ayahku mengajakku pergi melihat festival tahunan yang diselenggarakan di alun-alun kota. Kami yang tinggal pedesaan berangkat mengendarai mobil klasik warisan kakek kami.

Butuh waktu 30 menit diperjalanan sampai kami tiba disana. Suasananya sangat meriah, orang-orang berlalu-lalang, sebagian dari mereka mendekat ke podium tempat walikota memberi sambutan di sisi utara. Aku yang berada di parkiran, berdiri disamping mobil dapat melihatnya dengan jelas sebelum ayahku menarik tanganku ke arah berlawanan.

Aku bertanya. "ayah, kita tidak mendengar sambutan walikota terlebih dahulu?"

"Tidak perlu. Aku jamin, sambutan itu pasti lama," sahut ayah tanpa menoleh. Dia sibuk menerobos keramaian dengan aku yang setia mengikut dibelakangnya.

"Darimana ayah tahu?"

"Hanya menebak saja," ayah mengendikkan bahu. "Tetaplah mengikutiku, aku tidak mau kehilangan anak banyak makan seperti kau."

"Ayah!!"

"Sudah, cepatlah."

"Terus kita akan kemana?"

"Ayah ingin melihat ke stand buah, katanya ada pameran buah raksasa disitu."

"Tapi ayah–"

Pertanyaanku terinterupsi saat mendengar suara anak kecil menangis, lantas aku menengok.

"Kakek, aku ingin itu!" Dia menunjuk pada permen lollipop besar berwarna pelangi di salah satu stand. Tangan mungilnya menarik-narik ujung baju sang kakek.

Aku mengamati mereka dari belakang.

"Tidak boleh!! Bukankah kamu baru sembuh dari sakit gigi?! Lagipula kakek tidak membawa uang."

"Tuan Arcio?"

Ini suara ayah. Tapi tunggu, ayah mengenalinya?

Kakek itu berbalik.

"George? Kaukah itu?"

Setelah melihat ayah, dia lalu menatapku. Bola matanya mendadak melotot, tatapannya menusuk, dan err.. dia tidak akan menelanku bulat-bulat kan?? Aku bahkan sampai bersembunyi di belakang tubuh ayahku serta memegang erat lengannya seakan-akan dihadapan kami ini adalah seorang penjahat, namun nyatanya beliau hanya seorang kakek kan?

Sungguh pertemuan awal yang menyeramkan, sejak saat itu aku telah melabeli dia sebagai orang yang menakutkan, tidak ramah, tidak baik, dan sederet lainnya. Tapi kini semua berubah, prasangka burukku padanya telah sirna berkat pertemuan kami yang kedua sewaktu aku pertama kali masuk ke toko bukunya semenjak pindah ke kota. Yang kulihat hanyalah seorang pria tua baik hati dengan senyuman tulus melayani pengunjung tokonya. Oh, jangan lupakan janggut putihnya yang panjang.

"Selamat malam, Kakek Cio," sapaku ramah.

Dia sedang mengeluarkan buku-buku dari kardus dan menatanya di rak kayu bertingkat. "Ryn?"

Chương tiếp theo