Tidak tau sebenarnya tau. Tidak memandang tapi terlihat. -fatah
🍁🍁🍁
Saat ini Inge mencelakai dirinya sendiri dengan meletakkan serpihan kaca di sepatunya.
"Demi Juna bisa peduli dengan gue. Apapun itu asalkan Juna gak nolak kehadiran gue lagi. Ya, pasti kasihanlah," Inge tersenyum membayangkan wajah Juna khawatir dengan keadaannya nanti.
"Nah, sudah siap," Inge beralih mengemudi Lamborghini-nya menuju SMA PERMATA.
Juna yang baru saja sampai di sekolah dan melihat Lamborghini milik Inge mempercepat langkahnya ke kelas.
'Kenapa berangkatnya bisa kebetulan? Ck, Inge merepotkan sekali. Kenal gak, tau-tau panggil Juna. Sok deket, sok cantik, emang dikira gue tertarik apa?' batin Juna kesal.
Inge yang melihat Juna mempercepat langkahnya pun berusaha menyusulnya. Namun rasa perih, sakit, dan goresan serpihan kaca itu melukai kakinya.
"Aww, sakit," Inge meringis, berekspresi kesakitan.
Juna menoleh, melihat Inge memegangi kakinya.
'Ck, cuman rasa belas kasihan manusiawi aja. Gue juga males nolongin dia,' dengan terpaksa, Juna menghampiri Laura.
"Kaki lo kenapa?" tanya Juna dengan wajah datarnya, menandakan ia malas memperhatikan keadaan Inge yang sama sekali tak guna dan membuang waktunya.
"Gak tau. Sakit banget, perih juga," jawab Inge dengan ringisan sakitnya. Berhasil, Juna peduli padanya.
Juna berjongkok. "Coba lo lepas sepatunya," tangan Juna geli sendiri jika menyentuh kaki Inge, bukannya kesakitan tapi kepaberan.
Inge melepas sepatunya. Memperlihatkan kaos kaki putihnya terdapat bercak darah.
Juna refleks memegan pergelangan kaki Inge.
"Kok bisa berdarah?"
Beberapa siswa yang melihat kejadian itu penasaran.
"Paling cuman pura-pura buat caper sama Juna"
"Halah, ratu drama banget sih. Kan bisa di obatin sendiri,"
"Yaudah, naik. Gue gendong lo," ucap Juna ogah-ogahan. Pasti Inge senyum-senyum sendiri. Benar saja, pipi Inge bersemu.
"Tapi kan, malu Jun di liatin," ucap Inge malu-malu aslinya ia senang. 'Andai aja Jun, kamu romantis. Pasti semanis ini,' batin Inge, terlalu berharap sakit hati adalah temannya, tapi jika sudah jatuh cinta apapun akan ia lakukan demi mendapatkan hati Juna.
Inge menaiki punggung Juna. Tangannya memeluk leher Juna. Tatapan heran, jijik, serta memandangnya rendah membuat Inge malu dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Juna.
Laura yang baru saja sampai ke sekolah dengan lari dan nafas tersengal pun kecewa melihat pemandangan itu. Juna dengan Inge?
'Apa mereka bener-bener ada hubungan ya?' tanya Laura pilu. Jika iya, Laura akan menjauhi Juna daripada ikut campur dan membuat beban di kehidupan cowok itu.
Laura berjalan menuju kelasnya dengan langkah gontai.
'Jangan pingsan disini. Jangan, jangan, jangan,' Laura merapal doa dalam hati.
Namun rasa pusing dan asam lambungnya yang kambuh membuat Laura tak kuat menahan rasa sakitnya, perlahan pandangannya menggelap sebelum teriakan para siswa agar memanggil PMR.
Juna yang belum sampai di kelas mendengar teriakan Laura tengah pingsan pun terkejut. Ia menurunkan Inge seenak dahi.
Inge yang di turunkan begitu saja dan Juna berlari entah kemana pun menggeram kesal.
"Ish, kok pergi sih?" Inge berjalan dengan pincang, semakin ia melangkah serpihan kaca di dalam sepatunya menusuk semakin dalam.
Juna membelah kerumunan, rupanya petugas PMR sengaja memperlambat kedatangannya sendiri.
Juna menggendong Laura ala bridal style membawanya ke UKS.
Saat di UKS, Tiara yang bertugas berjaga di hari ini pun kesal. Juna menggendong Laura? Drama apalagi ini?
"Juna? Laura kok bisa pingsan? Kenapa?" tanya Tiara mencoba ramah, tapi dalam hati ia terus merutuki Laura. 'Bentar-bentar pingsan, emang ya suka cari perhatian' kesal Tiara dalam hati.
"Gak tau. Tolong tinggalin gue," titah Juna dingin, ia hanya ingin berdua dengan Laura. 'Karena gue gak mau ada yang ganggu Laura disini,'
'Ck, awas aja ya. Terutama lo Laura!' Tiara pergi dengan langkah di hentakkan.
Laura terpejam dengan wajah pucat pasi. Pipi yang tirus, dan lingkaran hitam di bawah matanya membuat hati Juna pilu. Apakah kehidupan Laura baik-baik saja?
Pintu UKS di ketuk, pak Madun melihat Juna yang masih duduk menunggu Laura sadar.
"Maaf Juna, kamu harus mengikuti pelajaran, bukannya membolos hanya demi Laura," tegas pak Madun, Tiara telah melaporkannya.
Tiara yang berada di ujung jendela pun tersenyum menang.
"Rasain lo Jun, lagian ngapain nunggu cewek penyakitan sadar?"
Saat Juna beranjak, Tiara berlari bersembunyi.
"Bukannya Tiara yang bertugas menjaga kenapa kamu Juna?" tanya pak Madun heran.
"Saya tidak ingin Laura kenapa-napa pak," Tiara bisa saja melakukan apapun.
"Tiara gak akan menyakiti Laura, toh dia kan petugas PMR. Pasti menjaga Laura dengan baik," ucap pak Madun meyakinkan.
"Tapi, nanti kalau istirahat. Saya boleh kan pak ke UKS lagi?" Juna ingin melihat Laura sadar, membelikan makanan dan menyuapinya.
"Asalkan ingat waktu saja Juna," pak Madun tak akan melarang Juna, mengikuti pelajaran sangatlah penting. Nilai tugas, ulangan harian, tugas kelompok, serta praktek untuk tambahan nilai rapot.
Setelah memastikan Juna dan pak Madun jauh, Tiara memasuki UKS.
"Halo putri tidur. Tidur yang nyenyak ya, atau sekalian aja gak usah bangun. Ngerepotin semua orang," cibir Tiara emosi, biarlah Laura sadar dengan sendirinya. Ia malas mengoleskan minyak kayu putih di pelipis Laura.
🍁🍁🍁
Pada saat istirahat, Inge memanggil Juna.
"Juna, mau ke kantin ya? Disini aja deh, aku gak ada temennya. Cuman kamu yang aku kenal," pinta Inge memelas.
"Sama aku gak kenal? Wah, udah lupa ya," celetuk Sam, merasa tersindir.
"Sungguh teganya, teganya, teganya, teganya, teganya. Oh teganya," nyanyi Alvaro dramatis.
Juna tak menggubrisnya, tujuannya hanya UKS.
Namun saat sampai di UKS, Juna tidak menemukan Laura. Ia kalang-kabut, apakah Tiara telah melakukan suatu hal jahat pada gadisnya itu?
Juna mencari Laura ke SAESTU tidak ada, perpustakaan pun sama. Tapi di kantin Juna melihat Laura satu meja dengan Bram, lagi.
"Eh kamu tau gak? Sayang banget loh gak ikut pelajaran matematika tadi, seruuu banget," ucap Bram antusias. Laura pingsan di pagi hari pun ia sudah tau, juga bagian dimana Juna menggendongnya hingga UKS.
"Kenapa? Pak Khomsin lempar soal lagi ya?" tanya Laura setelah menelan roti gandum pemberian Bram.
"Iya, dan aku dapat nilai seratus loh," ujar Bram bangga.
Juna yang melihat interaksi keduanya berdecak kesal.
Sam berdehem. "Kayaknya butuh kipas angin nih," mengenai Juna cemburu, hawa di sekitar mejanya mendadak panas.
"Nih Sam, kipas anginnya," Radit menyodorkan kipas sate dengan polosnya. Kipas itu ia dapatkan dari Jaka setelah membeli 10 tusuk sate tadi.
Sam meraihnya. "Wah, sejuk banget nih. Hemm, tapi masih kurang,"
"Gue bawain semua kipas sekolah mau lo?" tanya Satya geregetan. Sudah di kasih minta lagi.
Melihat kemarahan Satya, Sam menggeleng.
"Gak deh, makasih,"
"Gimana sama yang kemarin Jak?" tanya Adit mengalihkan topik, semuanya kembali serius, termasuk Juna.
Jaka menyunggingkan senyumnya. "Tenang, semuanya kembali seperti semula. Dan bokap gue udah lock semua folder pentingnya,"
Keenamnya menghela nafas lega. Syukurlah, usaha keras, dan saling menjaga rahasia selama ini harus tersimpan rapat-rapat.
Pandangan Juna beralih pada Laura.
'Senyum itu, kenapa cuman Bram yang bisa bahagiaan Laura?' Juna memandangi Laura yang tengah tersenyum semanis gula Jawa pada Bram. Padahal saat Juna meminta Laura agar ikut dengannya melaksanakan hukuman, Bram mendorong Laura.
'Apa cuma sebatas teman?' batin Juna bertanya-tanya.
Duak!!!
"Woy Al, kaki gue jangan di injek!" pekik Sam. Alvaro baru saja kembali lagi seusai membeli mie ayam.
Juna terperanjat. "Bikin kaget aja!" sentaknya garang.
Jaka, Radit dan Adit tertawa melihat Juna kaget.
"Haduh bos, masih pagi jangan marah-marah terus," ujar Jaka santai.
"Tiada hari tanpa api, kekeringan air hujan pun tak jadi," Radit berpuisi.
"Tanpa pujaan hati. Ak-" belum selesai Sam melanjutkan pantunnya, Satya menyuapkan cilok bulat-bulat ke mulut Sam agar diam. Sam berpantun tidak akan selesai walaupun menunggu lebaran tahun depan.
"Huahuahua, rasain lo. Satya ngamuk tuh," Alvaro tertawa melihat Sam menderita.
🍁🍁🍁