"Minggir...." Suara berat seseorang terdengar dan membuat semua kawanku menoleh ke arah sumber suara, setelah itu aku tidak tahu lagi yang terjadi. Mataku seketika gelap.
Aku pingsan.
~~~
Aroma paracetamol dan minyak kayu putih sedikit menusuk hidungku, perlahan kesadaranku mulai pulih. Kepalaku pening, membuat pangkal alisku jadi berkedut saat aku coba membuka mataku yang berat. Dimana ini? Oh, di UKS sepertinya. Aku kenapa ya? seingatku tadi aku jatuh kesandung dan peru-- Nyyuut...nyeri di perutku mulai terasa lagi membuat aku meringis sesaat setelah bisa membuka mataku.
Iya, aku ingat kalau tadi aku pingsan karena perutku nyeri luar biasa, mulutku terasa sedikit pahit sekarang. Tapi siapa yang bawa aku kesini? Ah, mungkin Sari dan Dwi yang bopong aku.
Haduh bikin malu pake pingsan abis kesandung! Aku yang masih terbaring di ranjang UKS refleks menutup wajah dengan 2 tanganku sebab teringat kalau aku jatuh tersandung ditambah pingsan pula. Apa tadi koridor lagi ramai ya? pikiranku jadi disibukkan dengan ingatan sesaat sebelum aku tumbang yang baru terasa memalukan, tentu saja saat ini perutku masih sangat sakit, maka itu aku memilih tetap berbaring.
"Udah bangun?"
Suara berat yang sangat aku kenal baru saja menyapaku, aku jadi terkejut karena ku pikir tak ada orang lain di ruangan ini. Ku lepaskan tangan yang menutupi wajahku dengan cepat lalu menoleh ke samping kananku, ke arah sumber suara itu.
Orang itu sedang duduk di sebuah kursi di sisi kanan pembaringan dan lebih dekat ke kaki ku, dengan melipat kedua tangannya di depan dada, ia menatapku dengan mata sendu seolah aku ini pasien kanker stadium 4 yang sudah di tunggu malaikat pencabut nyawa.
Aku jadi sedikit risih dengan tatapan iba nya itu.
"Kamu pusing? Butuh apa?" tanya nya ketika melihatku mencoba mendudukkan badanku dan dia bergegas membantu aku duduk dengan memegangi bahu dan tanganku agar aku bertumpu pada tangannya saja dan tak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk duduk.
Dia lalu menggeret kursi yang tadi ia duduki mendekat kepadaku, dan meletakkan pantatnya disana, menatapku kembali tanpa suara bersamaan denganku yang melakukan hal serupa. Entah apa yang ada di benaknya, aku tak berhasil menemukannya meskipun sudah ku cari di dalam kedua mata jelaga itu, mata yang sedang sendu entah kenapa. Aku tak dapat menebak.
Yang aku tau saat ini, banyak hal yang sangat ingin ku tumpahkan padanya tapi seperti prediksiku, aku kelu. Tak mampu berucap.
Mulutku diam, hanya mataku yang akhirnya mengambil alih luapan perasaan ku selama lebih dari 3 hari ini. mereka tumpah lagi, tak sanggup ku tahan. Aku menggigit bibir bawahku agar dapat tersadar dari emosi, agar tenang kembali.
Kenapa dia disini?
Padahal tadi menatapku saja dia tak ingin.
Padahal tadi menyapaku saja dia enggan.
Padahal tadi dia bersikap seakan tak kenal.
Dia masih diam, seolah menunggu aku bicara tapi aku terlalu sesak untuk mulai berucap. Aku hanya bisa sesenggukan menundukkan pandanganku pada selimut yang sudah melorot karena aku duduk, rambut panjangku terjulur menutupi wajahku yang kutenggelamkan, ku genggam kuat selimut yang dipasang disana agar rok sekolahku tak tersingkap, lengkap sudah rasa sakitku.
Diantara sunyi ruang UKS sekolah, tak ada yang terdengar kecuali hembusan nafasnya yang teratur serta sesenggukanku yang sedikit memecah keheningan.
Dia menggenggam tanganku yang dingin, mengelus punggunggku dengan lembut tanpa kata, tapi aksinya itu berhasil membuatku makin tersedu.
"Ssshhh...sudah Ray"
Dia berdiri dari duduknya, menarikku dalam peluknya agar aku mereda. Dia hangat, dia wangi, dia lembut seperti biasa, dia mengecup pucuk kepalaku dengan pelukan yang semakin erat menarikku.
Perlahaan aku mulai tenang, isakanku tak lagi jelas. Akhirnya aku bisa mengendalikan diri lalu ku hapus jejak tangisku tadi dengan telapak tangan.
Dia duduk kembali di tempatnya, memandangiku lagi tanpa suara.
"Ditinggal 3 hari aja udah sakit ckckck."
Dia membuka percakapan dengan ledekan dan senyum tipis di bibirnya.
Alisku bertaut heran, bukankah dia marah?
"Kamu pikir aku marah sama kamu sampai gak kasih kabar kalau jadi naik merapi?"
Aku mengangguk sambil membuang mata kearah lain.
"Kamu tuh polos banget Ray"
Hmm?? Aku memiringkan kepalaku tanpa sadar karena bingung.
"Aku sudah pernah bilang untuk perhatikan sekelilingmu kan? Kenapa kamu masih juga ceroboh? Aku kesal karena kamu bisa mudah dikondisikan oleh orang seperti Rangga"
"Kamu gak marah karena aku larang kamu mukul Rangga?"
Dia menggeleng pelan, masih dengan senyum hangatnya yang kurindukan.
"Aku pergi waktu itu karena gak mau kamu yang jadi pelampiasan rasa kesalku, makanya aku pilih menghindar saja"
"Tapi kenapa gak bilang waktu kamu pergi naik gunung? Kan udah janji..."
Mataku berkaca-kaca lagi, sebenarnya ini yang bikin aku paling sedih.
"Aku masih kesal, kalau ketemu atau ngobrol denganmu aku takut keceplosan marah padamu, aku tau Rangga bohong soal kamu yang suka saat dia mendekati, anak TK juga tau kalau dia ngarang, yang aku tidak terima dia memanipulasi kamu, ditambah kamu nya gak sadar. Dasar gak peka! makanya kubilang untuk perhatikan sekelilingmu Jaenab!"
Ujarnya sambil menyentil pelan keningku.
"Maaf, aku gak hati-hati," sesalku.
"Kedepan jangan lagi, itu bikin aku khawatir"
"Iyaa..terus kenapa dari pagi kamu sok gak kenal sama aku? Itu ngeselin gau gak!"
"Hmm? Kapan? Aku selalu lihat ke kamu dari awal kamu baris di lapangan upacara sampai tadi kamu jatuh terus pingsan."
"Hah? Kamu lihat aku jatuh terus pingsan?"
"Iya, aku mau nyamperin kamu sebab ku perhatikan kamu pucat banget, tapi tiba-tiba kamu pingsan jadi aku langsung lari buat gendong kamu ke ruang UKS."
"Kok gak nyamperin dari pagi?"
"Kamu kan masih marah"
"Ih kata siapa?"
"Gak marah?"
"Marah sih, tapi udah enggak"
"Hehe..jadi kangen ya?"
"Enggak!" Kataku sok menyangkal, padahal sih iya.
"Hehe..tau gak, aku gak bisa fokus di gunung karena kepikiran kamu? Padahal aku mau nenangin pikiran kesana biar gak merasa kesal lagi padamu saat ketemu"
Bimo bicara sambil merebahkan kepalanya pada pahaku, dan menghadap ke arahku. ranjang UKS memang tidak terlalu tinggi, bukan ranjang yang biasanya di rumah sakit, hanya ranjang biasa dengan rangka tempat tidur terbuat dari besi.
"Makanya pamit!" Kataku kesal.
"Hahahah...iyaaa, kedepan aku pamit meskipun sedang marah"
"Awas bohong! gak enak kalau gak ada kabar tau Bim..."
"Iyaaa..cengeng..maaf"
"Kan kamu yang suka bikin aku nangis"
"Masa?"
"Iya ish!.."
"Gak percaya, kamu kan nonton ayat-ayat cinta aja mewek"
"Pfftt...beda ih! Awh!" nyeri perutku seperti tersentak saat aku sedikit tertawa tadi, membuat aku refleks meng-aduh.
"Masih sakit?" tanya Bimo dengan wajah khawatirnya, kini aku tau kenapa tadi matanya sendu, sebab dia khawatir padaku.
Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Bimo tadi sambil memegang perutku yang masih saja setia menyiksaku.
"Hayuk pulang aja Ray, aku anter. Biar istirahat di rumah aja"
"Kamu bolos dong kalo anter aku pulang?"
"Ck! Terus siapa yang mau nganter? Memangnya kamu bisa pulang sendiri sekarang?"
"Enggak sih"
"Yaudah gak usah bawel makanya"
Bimo jadi galak kalau sudah menyangkut kesehatan. Seperti mamah, dia juga gak segan buat ngomel padaku soal makan atau soal tidur kemalaman, padahal dia sendiri sering begadang.
"Oiya Bim, aku sudah pernah cerita ke kamu soal mas Bara belom?"
Aku sengaja mengalihkan pembicaraan supaya dia tak makin cerewet mengomeliku.
"Belum, emang dia siapa?" tanya Bimo dengan tampang penuh selidik.
"Mas Bara itu tetangga yang tinggal persis di depan rumahku dulu, tapi sekarang sudah pindah. Nah, mahasiswa yang di ceritakan Bayu ke kamu itu ya mas Bara, kami memang dekat dari dulu, sama Dwi juga dekat. Sudah seperti abang kandung"
Ujarku menjelaskan dengan panjang lebar agar Bimo tak salah paham.
"Ooh..nanti kenalin kalau gitu"
"Oke!"
"Yuk siap-siap, aku anter pulang aja. disini gak bakal bisa isturahat juga kamunya Ray"
"Yaudah deh iya, perutku juga masih sakit banget"
"Terus masih bisa jalan? Kalo enggak biar aku gendong" ucapnya enteng.
"Hah?! Gak usah..gak apa-apa, aku masih bisa jalan hehe"
Kujawab dengan ketawa canggung, gila apa main gendong-gendongan. Bisa-bisa jadi tontonan orang satu sekolah kalau Bimo gendong aku keluar.
"Yakin?" tukasnya ragu.
"Yakin!"
"Yaudah.."
Bimo lalu membantuku turun dari ranjang dan membantu memapahku berjalan menuju kelasku untuk mengambil tas dan peralatan sekolahku serta minta izin pada guru.
"Bim, aku juga minta maaf kemarin sudah marah sama kamu padahal kamu sedang membelaku, aku cuma gak mau kamu di hukum lagi kalau pak Baroto lihat kamu berantem di sekolah"
Kami sedang berjalan ke arah kelasku, aku meminta maaf padanya karena tidak menimbang posisinya saat itu. Dia menoleh padaku sebentar lalu menghadap ke depan lagi, masih sambil memegangi lenganku untuk memapah aku jalan.
"Iya, aku juga salah. Maaf sudah bikin kamu kuatir."
Ujarnya dengan ekspresi wajah yang tak dapat kutebak.
Sampai dikelasku, terdengar suara bu Sondang yang sedang menjelaskan soal sejarah pangeran Diponegoro di depan kelas, aku masuk kelas lalu pamit untuk mengambil tas dan peralatan serta izin pulang lebih awal karena sakit.
"Araya sakit apa?" tanya bu Sondang padaku.
"Maag saya kambuh bu" ujarku sambil masih memegang perutku yang nyeri dengan badan sedikit membungkuk.
"Itulaaah...jangan diet-diet juga, gak sehat itu." Ujar bu Sondang sok tahu.
"Saya gak diet bu, hanya sering telat makan" jawabku
"Sama galau kepikiran pacar!" celetuk Galih dari bangkunya disana, membuat aku seketika mendelik padanya.
"Bah! siapa pacarmu memangnya?" ngomong-ngomong, Bu Sondang itu memang orang batak.
"Tuh bu, orang nya di depan pintu" kini beberapa teman sekelasku ikutan menyahut sambil cengengesan seperti puas melihatku jadi senyum-senyum kaku karena introgasi bu Sondang. Memang teman gak ngotak.
Bimo di sana hanya nyengir kuda lalu hormat bendera pada bu Sondang.
"Halo bu..saya bolos ya, mau nganter Raya pulang" katanya sambil nyengir ala pepsoden
"Ckckck..Kamu pacarnya? Haaih...Araya besok kalau cari pacar yang benerlah, pantesan kamu stress."
Sontak kawan sekelasku terbahak dengar komentar bu Sondang, sedangkan aku hanya tertawa-tawa canggung dan Bimo ikutan terbahak, padahal dia yang lagi diomongin.
~~~
"Minggir..."
"Eh Bim! Tolongin gendong Raya cepetan"
"Iya bantuin pegangin"
Bimo dengan wajah kagetnya berlari menghampiri aku yang terduduk menyandar pada tiang koridor, aku bisa dengar suaranya sebentar lalu pingsan tepat saat ia meraih pundakku untuk ia angkat, semua kawanku yang sedang disitu panik termasuk Dwi dan Sari, bahkan Dwi sampai mewek karena lihat wajahku yang sudah sangat pucat.
Bimo mengangkatku seperti gendong pengantin, lalu dengan cepat menuju UKS diiringi kawanku yang lain. Diletakkannya aku di pembaringan sempit itu dengan hati-hati lalu Sari menutupi setengah badanku dengan selimut agar rok sekolahku tidah tersingkap kemudian dengan sigap ia mencari minyak kayu putih di dalam lemari obat-obatan dan mengoleskannya di dekat tulang selangka bawah leherku, lalu di bagian keningku sedikit.
"Dia kenapa?"
"Maag-nya kambuh dari kemarin sabtu, kamu juga pake gak ada kabar! Tau sendiri Raya suka over thingking.." Dwi ngomel padanya.
"Hhaaiih..." Keluh Bimo sambil mengusap rambut belakangnya dengan kasar. Merasa frustasi dan sedikit menyesal mungkin?
"Kemarin Bayu sudah ceritain semuanya Bim, dia kaget banget waktu tau kelakuan si Rangga, aku juga sih..gak nyangka Rangga anaknya begitu. Tapi kamu juga salah karena main pergi aja gak ngasih kabar, nambahin pikirannya Raya."
Dwi bicara pada Bimo soal aku yang stress belakangan ini karena dia juga merasa bersalah sebab Bayu juga ikut andil memperkeruh suasana kami, jadi dia pikir akan bagus kalau dia bantu aku untuk menjelaskan pada Bimo. Ini juga Dwi yang cerita padaku bagaimana kejadian setelah aku pingsan.
Mereka bertiga masih di UKS, sedangkan temanku yang lain sudah lebih dulu kembali ke kelas.
"Hhhhhh...nanti aku bicara sama dia soal itu, sekarang kalian balik aja ke kelas, biar aku yang nungguin disini"
"Jangan macem-macem loh Bim, itu anak orang lagi sakit" Tukas Sari dengan menyipitkan matanya seperti meragu.
"Astaghfirullah...aku gak sebejat itu, gila!" Balas Bimo sedikit tersinggung.
Sari terkekeh pelan lalu mengangguk paham.
"Yaudah kami balik ke kelas, kalau dia bangun nanti ajak pulang aja Bim biar istirahat di rumah, daripada disini gak nyaman." Sari kali ini yang memberi saran.
Bimo hanya mengangguk paham, lalu di raihnya sebuah kursi plastik dan duduk di bagian samping kaki ku menghadap ke arah kepalaku yang terbaring.
Dia diam saja sambil melipat kedua tangannya, dia diam tanpa suara dan hanya melihatku sampai aku tersadar 15 menit kemudian.
Alhamdulillah.. udah baikan..
jangan lupa komen dan reviewnya..
happy reading !! ❤❤