webnovel

Keputusan Berat

Di usia mereka yang masih terlalu muda ini, dia belum berpengalaman, dan memiliki rasa percaya diri, sehingga saat menghadapi masalah seperti ini dirinya hanya bisa merasa takut dan cemas. Dia bisa memahami Alana.

Haruskah dia memberitahu orang tua Alana? Orang dewasa biasanya lebih membantu dalam membuat keputusan yang lebih baik. Mereka biasanya lebih bijak dalam memilih sebuah penyelesaian masalah.

Tetapi dia juga tahu bahwa Alana mengatakan tidak tahu siapa ayah dari anak yang dikandungnya. Hanya ada dua kemungkinan. Alana benar-benar tidak tahu siapa, atau Alana tidak mau menyebutkan siapa pria yang telah menghamilinya. Tidak peduli mana yang benar dan mana yang salah, keduanya tidak lebih baik.

Jika dia terus-terusan memaksa Alan, maka gadis itu akan merasa tertekan dan menderita.

Alana memandang Jessica, dan tiba-tiba merasakan perasaan haru dalam hatinya.

Dia meraih tangan Jessica dan dibawanya ke pipinya. Alana berkata dengan suara tercekat, "Jessica ... terima kasih ..."

Jessica mengusap rambut Alana pelan dengan satu tangannya yang lain.

Alana mendengus, lalu berkata, "Aku ingin kau membantuku merahasiakannya dan jangan memberi tahu tentang ini pada siapa pun."

"Jangan khawatir tentang itu! Apa lagi yang bisa kulakukan?" tanya Jessica.

Alana tersenyum dan berkata, "Juga ... bantu aku menyiapkan kompetisi dansa!"

"..."

"Kenapa wajahmu begitu?" tanya Alana.

"Alana, kau ini kenapa! Bisa-bisa masih sempat berpikir tentang kompetisi dansa itu?" Jessica tidak habis pikir jika dengan kondisi kesehatannya seperti ini, Alana masih memikirkan kompetisi dansa klubnya.

"Hmm… Kata dokter aku dalam kondisi kesehatan yang buruk. Aku harus menunggu sampai kesehatanku kembali pulih dan fisikku sudah kuat untuk menjalankan proses aborsi. Paling lambat satu bulan, atau kurang dari sebulan, atau bisa lebih lama lagi ... aku tidak bisa mengambil cuti kuliah setiap saat, jadi ... ini adalah kesempatanku! "

"Apakah kau punya uang untuk operasi?" Jessica berpikir bahwa bantuan terbesar yang Alana butuhkan adalah uang. Dia tahu bahwa Alana tidak memiliki cukup banyak uang untuk melakukannya.

"Jangan khawatir tentang ini. Saat aku sudah agak baikan, aku akan mencari pekerjaan paruh waktu. Aku harus segera mendapatkan uangnya." jawabnya dengan optimis.

"Kalau kau--"

"Aku tahu! Aku akan akan bilang padamu kalau aku membutuhkan sesuatu!"

Jessica menghela napas dan menepuk kepalanya pelan. "Bagaimana kau bisa terkena masalah seperti itu?"

Ya, mengapa dia mengalami masalah saat dia mabuk malam itu?

______

Dalam beberapa hari berikutnya, Alana tetap beristirahat di apartemen Angga. Jessica selalu datang setiap hari dan akan menginap jika terlalu malam.

Alana dikejutkan oleh ciuman yang tak disengaja di antara mereka sebelumnya, dan selalu merasa bahwa sesuatu akan terjadi jika Angga terlalu dekat dengannya. Jadi dia memiliki prinsip harus menghindari Angga!

Dia sangat berharap dapat menghindarinya juga di malam hari, ketika Angga berada di apartemennya selepas bekerja!

Alana, yang lebih baikan merasakan nafsu makannya meningkat tajam. Makan tiga kali dalam sehari tidak cukup baginya!

Malam ini, Alana sedang gelisah di ranjangnya dan tidak bisa tidur karena dia kelaparan! Angga pergi bekerja saat pagi-pagi sekali, dan mungkin belum pulang.

Dia memutuskan untuk pergi ke dapur dan mulai masak dengan bahan-bahan yang berada di dapur. Dia memasak semangkuk besar mie untuk dirinya sendiri! Memasukkan banyak-banyak saus pedas dalam mienya!

Alana yang begitu lahap memakan mienya. Dia begitu khusyuk duduk dan tidak menyadari kehadiran Angga. Pria itu saat ini hanya bersandar di pintu dan melihat Alana dengan diam.

Dia mengawasi Alana dengan matanya yang tajam ...

Mengawasinya dalam diam ...

"Enak?" tanyanya

"En--"

Alana yang baru saja akan kembali memakan mienya, terkejut saat mendengar suara yang dia kenal.

"Paman?!"

Melihat Alana menatap dirinya dengan matanya bulat besar, Angga mengangkat bahu dan tersenyum lagi.

Alana diam mematung karenanya ...

Senyuman yang dia tampilkan begitu terlihat tulus, dan bibir tipisnya terangkat keatas dengan mempesona. Sangat menawan dan tampan ...

Mata itu tidak setajam biasanya, Alana merasakan perasaan aneh saat menatap mata kelam itu.

"Kenapa begitu terkejut melihatku di rumahku sendiri?" tanyanya.

"Tidak, bukan … itu, aku kupikir kau tidak pulang malam ini!"

"Kalau aku tidak berada di rumah, kau berani keluar dari kamarmu, kan?" tanyanya menyelidik.

"Hah? ... uhuk-uhuk..."

Angga berjalan ke arahnya, dan berdiri di sebelahnya. Tubuhnya lebih tinggi dari Alana, membuatnya merasa begitu terintimidasi.

Dia refleks menyingkir, tetapi pergelangan tangannya ditarik Angga.

"Paman...?"

"Pama? ... heh, Alana, apakah aku pikir aku setua itu?"

Alana merasa bahwa Angga saat ini berbahaya, dirinya menelan ludah dengan gugup...

"Tidak, Jessica bilang kau sudah tiga puluh dua… M-mungkinkah dia berbohong padaku?" tanyanya gugup.

"..." Tidak ada jawaban.

"Jadi, berapa umurmu sebenarnya ...?"

Faktanya, Alana merasa bahwa Angga belum menginjak tiga puluh dua, dia terlihat lebih muda dari itu. Mungkin dua puluh delapan ..

Angga menatapnya dengan wajah bodoh …

"Umurku tiga puluh dua, tapi—"

"Bukan itu! Kau membuatku takut!" Alana melepaskan genggaman tangan Angga, mengusap lengannya yang sakit, dan memutar matanya. "Aku baru sembilan belas tahun! kau memang lebih tua dariku."Kenapa aku tidak boleh memanggilmu Paman? "

Mata Angga sedikit menyipit.

"Kenapa kau menatapku seperti ini?" tanya Alana.

Alana gugup dan menjauh darinya tanpa sadar, namun Angga juga maju mendekat!

"Jangan … jangan mendekat!" Alana mendorong tubuhnya, Angga hanya meliriknya dengan santai, dan kemudian mengambil mangkok berisi mie itu di meja dapur.

"Mangkuk ini milikku."

"..."

Alana berkedip dan memperhatikan wajah Angga yang begitu tampan sehingga dia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun!

Mengapa pria ini seperti ini?!

Meskipun dirinya ingin kabur dari situ, dirinyatidak bisa mengabaikan pria di sebelahnya ini!

Seperempat jam kemudian, dia memasak semangkuk mie lagi, menatap Angga, dan akan pergi ke kamar untuk makan, suara Angga menghentikannya.

"Duduklah di sini, mari kita bicara sebentar."

Angga menunjuk ke kursi dapur di depannya.

Alana bertanya-tanya dalam hati? Bicara? Apa yang harus mereka bicarakan! Apa dia tidak bisa membiarkan Alana makan dengan tenang?

Dia akhirnya duduk dengan berat hati dan menatap Annga dengan penuh kebencian, kemudian berkata, "Apa yang ingin kau bicarakan denganku?"

"Kau membenciku?"

"Sedikit ..." Alana berkata dengan bosan.

"Karena malam itu?"

"Lebih dari itu..." Dia menggumamkan kata-kata itu sambil memakan mie pedasnya.

"Apa lagi?"

Angga menaruh telur rebunya tadi ke mangkuknya.

Alana membeku sejenak, dan kemudian mendengus. "Tidak ada gunanya memujukku dengan dengan memberiku telur rebus, aku tidak akan tertipu..."

"Aku tidak suka telur rebus."

"..." Alana menganga dan kemudian berkata, "Kau sungguh menjengkelkan! Kau selalu memberiku makanan yang tidak kau sukai! Kau pikir aku ini tempat sampah?! Mengapa aku harus makan apa yang tidak kau makan? Apa?!"

"Ini yang kau goreng. Kurasa kau suka memakannya, dan ... kita tidak boleh tidak menyia-nyiakannya. Kau mengerti kan, gadis kecil?"

"..." Alana memerah karena marah, dan meletakkan sendoknya dengan cepat. "Orang tua brengsek! Aku tidak ingin berbicara denganmu! Aku membencimu!"

Dia selalu membuatnya jengkel, menipunya, tidak ada yang dia sukai dari pria itu! Menggodanya? Hah, dia adalah pembohong! Dia bisa menjaminnya! Pria itu benar-benar brengsek dan tidak punya perasaan!

"Tapi apa yang bisa aku lakukan?" Angga menatapnya dan berkata dengan santai, "Aku sangat menyukaimu."

Chương tiếp theo