Tak terasa akhir pekan sudah berlalu saja. Rasanya baru kemarin Lisa dan kawan - kawan melepas penat di Sky Lounge, kini ia telah kembali pada rutinitas para pekerja kantoran seperti biasanya. Hari Senin memang hari yang paling tidak disukai para pekerja kantoran terlebih bagi Lisa. Akhir pekan lalu rencananya untuk bersenang - senang bersama dengan Andien dan Dimas hancur total. Tidak disangka ia bakal bertemu dengan presdir baru perusahaan Petersson Communication di Sky Lounge.
Rasanya bakal sangat canggung satu kantor bersama dengan seorang pria yang pernah menidurimu dan akhir pekan lalu ia baru saja menggodamu di sebuah kelab malam. Sungguh aku tidak mau ke kantor pikir Lisa. Namun apa boleh buat, Lisa masih harus membayar segala kebutuhan keluarganya.
Lisa tiba di kantor tepat 5 menit sebelum terhitung terlambat. Setelah mengisi absensi, wanita bertubuh langsing itu langsung melenggang ke ruang kerja barunya. Hari ini merupakan hari pertamanya sebagai sekretaris pribadi presdir. Ada banyak sekali tugas yang harus ia tunaikan sejak ia diutus untuk menjadi sekretaris pribadi Oscar.
Lisa masih belum terbiasa dengan pakaian kantor barunya. Kemeja putih dengan paduan rok sepan yang sangat pendek. Jika saja bukan atas permintaan Oscar, Lisa tidak akan mungkin mengenakannya!
Rok sepan yang sangat pendek itu membatasi gerakan Lisa dalam beraktifitas misalnya, Lisa yang dulunya mampu menaiki anak tangga hanya dalam waktu yang cukup singkat kini menjadi lebih lambat demi menjaga agar roknya tidak menyingkap. Tidak hanya itu, nyaris seluruh karyawan yang bekerja di perusahaan itu langsung memandanginya dengan tatapan penuh nafsu. Belum lagi karyawati - karyawati yang sirik melihat betapa seksi baju kantor yang Lisa kenakan. Oscar sialan umpatnya dalam hati.
"Hei Lisa, seksi bener lo hari ini!" goda salah satu rekan kerja pria yang berpapasan dengan Lisa.
"Coba lihat itu si Lisa, semenjak berganti jabatan dia jadi berpakaian seperti wanita tuna susila!" bisik salah satu rekan kerja wanita kepada teman wanitanya.
"Ih iya ya, maklum dia kan dulunya anak kampung!" Si rekan wanita lain menimpali, menatap Lisa dengan sudut mata.
Lisa hanya bisa mendengus kesal. Tidak ada waktu untuk berdebat dengan orang - orang yang sirik kepadanya. Time is money, begitulah prinsip kerja Lisa.
Lisa melanjutkan langkahnya menuju tangga. Ia memang lebih suka menggunakan tangga. Menurutnya, naik turun tangga setiap hari dapat membuat postur tubuhnya tetap terjaga. Ia tidak mau tubuhnya menggelambir karena tidak sempat berolahraga.
Suara dering handphone memecah konsentrasi Lisa saat ia berjalan melewati lorong. Lisa mengerenyit memperhatikan nama penelepon dan segera mengangkat telepon itu. "Kenapa Ndien?"
"Ciye sekretaris baru nih! Gimana Pak Oscar kalo lagi kerja Lis? Serem nggak?" goda Andien dari balik telepon.
"Ndien, gue masih jalan ke ruang presdir! Jangan sembarangan lo kalo bicara! Mentang - mentang lo sekarang beda lantai sama gue." Lisa mendengus kesal mendengar sahabatnya.
"Ah Lisa lo selalu tegang deh! Eh ngomong - ngomong posisi kamu dulu di departemen keuangan diganti siapa ya?"
"Halah paling si Damar yang gantikan Ndien. Sepertinya bakal ada rapat besar buat nentuin siapa yang bakal gantiin posisi gue di departemen keuangan. Kita harus tunggu keputusan presdir dan pimpinan departemen lainnya."
"Ya udah ya gue kerja dulu, lo juga balik kerja sana Ndien!" Lisa menutup teleponnya dan membuka pintu ruang presdir dengan perlahan.
Setibanya di ruang presdir, Lisa langsung menatap sosok pria berambut emas yang sedang berdiri membelakanginya. Bayangan pria itu terpantul di depan kaca jendela, ia sedang menggenggam handphone, berbicara dengan seseorang. Wajahnya yang tampan bagai dipahat dewa diterpa oleh sinar matahari pagi. Rambut ikalnya disisir ke samping dengan rapi, tampak berkilau. Pagi itu Oscar mengenakan kemeja putih yang dibalut dengan jas biru tua, sangat menawan.
Pria itu membalikkan badan dan kembali duduk di kursinya, kali ini ia bertukar pandang dengan Lisa yang masih berdiri di ambang pintu, terdiam takjub. Kelemahan Lisa masih sama, yaitu sulit menatap wajah Oscar yang selalu tampak dingin namun dalam waktu bersamaan juga menarik hati. Lisa mengalihkan pandangan ke arah kiri ruangan, berpura - pura tidak menatap paras tampan Oscar yang tengah berbincang dengan seseorang di telepon.
"Iya oke Pak kita lanjut lagi nanti sore, selamat pagi." Oscar menutup percakapan dari telepon. Alisnya terangkat satu, menyapa Lisa dari kejauhan.
"Lisa, kemarilah. Mengapa terdiam di sana? Banyak pekerjaan yang harus kamu selesaikan hari ini!" suruh Oscar sambil mengetuk jam tangan merk yang ia kenakan. Ekspresi wajah Oscar mendadak menjadi dingin.
"Oh maaf Pak," ucapnya gugup sambil melihat ke bawah. Lisa berjalan ke arah Oscar dengan langkah kecil, rok sepan mininya sangat membatasi gerakan Lisa. Tangannya menggenggam erat tas jinjing hitam dengan erat. Keringat mulai membasahi sela - sela jemari lentiknya, gelisah.
Lisa tidak menyangka hari pertamanya sebagai sekretaris pribadi Oscar bakal terasa amat sangat canggung dan aneh. Biasanya, saat ia masih menjabat sebagai manajer keuangan Lisa selalu menghadapi hari - harinya di kantor dengan percaya diri. Baru kali ini Lisa merasa kecil dan gugup. Aura pria ini sungguh menakutkan! Pikir Lisa.
Lisa meletakkan tas jinjingnya di meja kerjanya. Ia mulai mengeluarkan map berisikan kertas - kertas laporan. Oscar menghampiri meja Lisa, tangannya bertopang pada ujung meja kerja baru Lisa.
"Jadi Lisa," pinta Oscar. "Saya mau kamu menyusun jadwal harian saya terhitung mulai hari ini!"
Lisa mengangguk, masih gugup. Ia mengeluarkan buku catatan hariannya dengan sedikit gemetaran. Celaka! Kepercayaan diriku mulai terombang ambing pikirnya.
"Kemudian tolong jadwalkan pertemuan saya dengan direktur perusahaan televisi swasta pukul tiga sore nanti. Kemudian atur ulang jadwal . Seluruh karyawan kantor ini harus tahu presdir baru Petersson Communication!"
"Baik Pak," angguknya dengan tatapan gugup.
"Oh satu lagi Lisa." Oscar mendekatkan wajahnya ke wajah Lisa yang merona dipoles pemerah pipi. Tangannya menggenggam dagu Lisa dan berkata, "Saya ingin besok kamu memakai lipstick merah menyala seperti yang kamu gunakan di Sky Lounge."
"Tetapi Pak, saya ke sini untuk bekerja bukan untuk berpesta!"
"Kau ingin saya keluarkan dari perusahaan ini Lisa?"
"Tidak Pak," gelengnya pasrah.
"Karina saja berani pakai, masa kamu tidak?"
Lisa mengangguk lagi. Semenjak ia menjadi sekretaris pribadi Oscar, Lisa hanya mampu mengangguk dan mengikuti perintah presdir baru itu. Pria ini benar - benar menakutkan!
Menit demi menit berlalu, Lisa masih berkutat dengan buku agenda sembari menyusun jadwal baru presdir dengan komputernya. Oscar yang duduk di mejanya sibuk membaca daftar karyawan baru yang mendaftar di perusahaannya.
"Lisa! Tolong buatkan saya kopi!" suruh Oscar dari mejanya.
Lisa beranjak dari tempat kerjanya dan membuatkan Oscar kopi. Ia menyalakan mesin pembuat kopi, menuang bubuk kopi premium dan menyeduhnya. Aroma kopi yang harum langsung memenuhi ruangan itu.
Oscar kemudian mengambil secangkir kopi yang dibawa Lisa, menghirup aromanya yang semerbak. Disesapnya kopi panas itu perlahan - lahan. Tak sengaja Lisa yang masih berdiri di samping Oscar menatap bibir penuh Oscar yang sensual itu menyeruput kopi. Entah mengapa semakin Lisa menatap Oscar yang sedang minum kopi itu, semakin ia ingin mencium bibir penuh itu. Lisa menelan ludah melihat pemandangan indah di pagi hari itu.
"Kok masih berdiri? Kenapa? Kau mau mencicipi kopi ini juga Lisa?"
"Tidak Pak, terima kasih. Saya mau lanjut dengan pekerjaan saya."
Oscar menaruh gelas kopinya di meja, menarik tangan Lisa dan menatapnya dengan nakal.
Lisa sedikit tersentak, tangannya menepis genggaman Oscar. "Hentikan Pak!"
"Bagaimana penawaran saya akhir pekan lalu? Apakah kamu mau?"
"Pak, sebaiknya anda tidak membahas urusan pribadi di kantor!"
"Ini kan kantor saya sekarang? Terserah saya mau buat peraturan seperti apa!"
"Jika demikian, jawaban saya adalah tidak!"
"Heh, aku yakin kau pasti akan berubah pikiran jika tiba saatnya." Oscar menggertaknya dengan percaya diri. Ia sangat yakin wanita lokal dengan penghasilan yang biasa - biasa saja mau menikahi pria asing berduit sepertinya. Tinggal tunggu waktu saja pikirnya.
Oscar bangkit dari tempat duduknya, merangkul Lisa dan meletakkan wanita itu di atas mejanya. Sontak Lisa menutup kedua kakinya rapat - rapat.
"Eh tidak usah malu Lisa, anggap saja ini latihan menjadi seorang istri yang baik." Oscar membuka kedua kaki Lisa denga lembut.
"Pemandangan yang sangat indah..." Pria itu menggigit bibir bawahnya, tergoda untuk menghabisi wanita yang duduk di mejanya itu.
Yang lebih gila lagi, Lisa tidak menghentikannya. Walaupun Lisa berusaha keras untuk tidak terpengaruh, namun Oscar memancarkan sensualitas maskulin yang sangat kuat sehingga tubuh Lisa bereaksi seperti halnya wanita muda yang haus akan sentuhan.
Seorang wanita berbaju merah tiba - tiba datang dan masuk tanpa mengetuk pintu, dilihatnya Lisa tengah duduk di atas meja Oscar dengan kaki menganga.
"Lisa!?"