webnovel

Epilog 32 : Setitik Cahaya Dalam Kegelapan (2)

((Oh, utusan keabadian dan epilog, apakah kau sungguh ingin melepaskan segelku?))

Ruangan gelap di dalam sebuah kastil bawah tanah, seorang pria yang memakai topeng putih setengah wajah membungkuk di depan patung  seorang Dewa yang dirantai, Dewa Tersegel.

Ruangan tersebut berada di lantai paling bawah kastil bawah tanah dan hanya dia lah yang dapat masuk ke sini, dia telah merencanakan segalanya untuk meraih tujuannya, apapun itu meski dia bukan lagi manusia dan emosinya telah lama mati.

"Aku melakukannya."

Balasannya yang singkat menimbulkan guncangan dalam ruangan itu, obor yang dipasang di sudut ruangan persegi berkobar.

((Kau sangat memahami konsekuensinya, tak ada yang bisa kembali ke masa lalu, ingatlah! Tapi, kau bisa melalui percabangan dimensi, kenapa kau menolaknya?))

"Aku ingin menguasai semua langit dengan kekuatanmu."

Jawaban mengerikan dari pria itu menyebabkan patung Dewa Tersegel bergerak. Itu terlihat sangat marah bahkan ada aura keunguan yang muncul dari belakangnya bersiap menelan pria itu kapan saja.

((KAU! Beraninya, kau!!! Makhluk hina sepertimu berani menargetkan langit?!))

Sedikit seringai terbentuk di mulut pria itu, atmosfer menjadi berat dan mencekik, namun dia masih tenang, itu ketenangan yang sangat luar biasa.

"Itu cukup, pembicaraan ini selesai."

Pria itu berdiri dengan cahaya mata keserakahan yang sangat jelas mengarah ke patung Dewa Tersegel. Kemudian, dia berbalik sambil mengabaikan curahan kekuatan yang berusaha menahan dan menelannya, semua kekuatan tersegel tak berguna melawannya yang hampir menguasai langit.

Di luar kastil yang berada di atas tanah yang gersang, pria itu memandang ke langit yang telah berubah warna menjadi kemerahan seolah kiamat akan datang, dia mengingat kembali peringatan dari Dewa Tersegel.

—Tak ada yang bisa kembali ke masa lalu.

Dia menghela napas kuat-kuat lalu mengarahkan tangan kanannya ke langit.

"Jatuh!"

Petir putih menyambar, awan hitam pekat berkumpul untuk menutupi langit yang berada pada bidang pandangannya. Seolah langit akan runtuh, dan meteorit-meteorit di luar sana menerjang, dunia menangis dengan gempa yang sangat kuat.

<Terkutuklah kau yang menargetkan langit!>

Dewa dunia itu mengutuknya bersamaan dengan gagalnya pelepasan segel, dia untuk pertama kalinya semenjak puluhan ribu tahun yang berulang selama 1000 kali, gagal. Entah karena sedikit keraguan yang muncul ataukah memang mustahil?

Dia tahu bahwa dia tak bisa mati meski sangat mengharapkannya, kedamaian sesungguhnya. Dia memohon dan memohon agar dia bisa terbebas, namun itu sia-sia. Maka, dia memulai jalan sebagai makhluk terkutuk yang mencoba menargetkan langit. Dia ingin menguasainya sehingga dia bisa tahu alasannya harus menderita di awal dan melalui kehidupan tanpa akhir ini.

Setidaknya kali ini, pria itu memiliki pemikiran bahwa dia benar-benar akan mendapatkan kedamaian karena kegagalannya.

Namun, itu salah.

<Selamanya sumpah kematian yang kau langgar akan terus menggerogoti jiwamu>

Dia dulu pernah melakukannya untuk melindungi sesuatu, namun akhirnya mengingkarinya.

<Tak ada akhir untukmu selain tidur abadi>

Karena dia tak bisa mati sehingga kehidupan tak memiliki arti baginya. Hanya berkeliaran dan menyebabkan kekacauan serta kehancuran, itulah yang bisa dia lakukan karena —

<Jika kau menaruh sedikit saja kasih sayang berlebih pada seseorang, maka orang tersebut akan 'mati' tanpa bisa bereinkarnasi>

Yang artinya jiwa orang tersebut benar-benar musnah.

Itu adalah akibat pengingkaran sumpah kematian dengan Dewa Kematian pada kehidupan pertamanya yang sangat lama, malangnya dia tak bisa melupakan setiap kenangan kehidupannya. Makhluk lain diberikan keajaiban 'kelupaan' agar mereka takkan menjadi gila dengan kenangan yang terus menumpuk. Akan tetapi, dia tidak, dia mungkin dimaksudkan untuk menjadi penghancur.

<Dan kau akan mengulangi 1000 kehidupanmu di dunia yang berbeda, wahai makhluk terkutuk>

Pria itu saat ini sedang mempersiapkan diri menghadapi dunia selanjutnya.

<Dan 'hanya mereka' yang memiliki hubungan denganmu tanpa kematian membayangi mereka, yang bisa mewujudkan kedamaian bagi jiwa terkutukmu>

Demi mendapatkan kedamaian yang selalu diinginkannya, dia membagi jiwanya menjadi dua, itu adalah pengoyakan jiwa yang terlalu menyakitkan untuk dijelaskan. Yang satu adalah 'keabadian' dan lainnya adalah 'epilog' yang bisa berarti 'akhir'. Keduanya akan menuju dunia yang berbeda.

Dia melanjutkan penghancurannya sampai tubuhnya memudar menjadi abu.

"Distorsi waktu."

Dia memainkan permainan terakhirnya di sini.

***

"Nama Kim Dokja. Dokja," gumam seorang anak berusia sepuluh tahun di kamarnya yang sempit.

Wajah dan tangannya memiliki memar dan lecet, namun bukan itu yang terpenting. Pada saat ini, anak itu mendapatkan semua ingatannya dari kehidupannya yang sangat jauh berbeda dari dunianya sekarang.

Dia di kehidupan sebelumnya adalah seorang pemimpin, yang paling kuat dan bahkan berani menantang Dewa sampai dikutuk.

Selama beberapa hari, anak itu mengurung diri untuk memproses ingatannya agar kepalanya tidak meledak, dia anehnya sangat tenang.

Namun, suatu hari —

—Kau takkan sanggup menerimanya, jadi biar kuambil kembali cerita itu.

Dan setelahnya, anak itu tidak lagi mengingat kehidupan sebelumnya dan suara aneh yang menggema di kepalanya itu. Sangat disayangkan bahwa pada saat itu terjadi, emosinya menjadi tumpul.

Kim Dokja, begitulah namanya, sering dipukuli oleh ayahnya yang pemabuk, ibunya tak punya waktu untuknya karena harus bekerja dan bekerja demi dia. Pada suatu hari, Kim Dokja kecil mulai bertanya-tanya kenapa dia merasa sangat tenang, seolah emosinya tak berfungsi.

Meskipun begitu, ada beberapa orang yang berhasil membangkitkan emosinya dan membuatnya menyukai mereka. Namun, beberapa hari kemudian, mereka mati.

Kim Dokja awalnya mengira bahwa itu adalah waktu kematian mereka dan terjadi secara kebetulan setelah bertemu dengannya, tetapi lama-kelamaan bahkan orang di pinggir jalan yang sering lewat di depan apartemen kumuhnya secara kebetulan mati setelah dia memiliki sedikit rasa suka, itu karena orang tersebut memberinya sebotol susu.

Kim Dokja ketakutan dengan penafsirannya yang absurd terhadap sebab-akibat itu, jadi dia tak lagi keluar dari kamarnya dan hanya membaca buku, banyak sekali buku sampai dia mengira buku adalah teman terbaiknya. Ibunya seringkali menasihatinya untuk bergaul dengan anak-anak lingkungan sekitar, tapi Kim Dokja masih takut. Dia memiliki perasaan bahwa dia telah menjadi pembunuh.

Bukankah itu sangat kebetulan jika si pengantar susu, tukang daging, tetangga flat mereka, dan seorang anak perempuan yang sehat yang mengajaknya bermain, mati selang tidak kurang dari lima hari setelah bertemu dengannya dan mengembangkan rasa sukanya?

Kim Dokja yang berusia sepuluh tahun tidak bodoh, dia tahu ada yang tidak beres dengan jiwanya atau apapun itu yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Jadi, Kim Dokja menyerah untuk menemukan teman, dia hanya akan fokus pada dirinya sendiri dan juga ibunya, dia bersyukur bahwa ibunya tidak terpengaruh oleh apa yang dia sebut 'kutukan'. Mungkin, Dewa yang mengutuknya masih mengasihaninya.

"Dokja, kenapa kau tidak membacanya lagi?" tawar ibunya, Lee Sookyung sambil menyerahkan sebuah novel yang berisi cerita seorang protagonis yang akhirnya bahagia bersama pasangannya.

"Itu sudah berakhir, ibu."

Kim Dokja merengek.

Lee Sookyung tersenyum lembut, dia sangat jarang memiliki waktu bersama putranya yang malang, oh dia sangat ingin memberikan lebih banyak waktu jika bisa, seandainya semuanya sedikit lebih mudah baginya.

"Tidak, cerita takkan berakhir selama kau masih membacanya, baca lagi dan kau akan menemukan sesuatu yang baru."

Emosi tumpul Kim Dokja mulai tersentuh oleh pernyataan itu. Sungguh? Apakah suatu cerita takkan berakhir jika dia terus membacanya? Kim Dokja senang mengetahui itu. Kemudian, dia membacanya lagi dan lagi tanpa rasa bosan.

Lee Sookyung tak punya apa-apa untuk diberikan pada putranya selain buku-buku yang kebetulan adalah pemberian adiknya, semua buku itu adalah buku bekas yang tak lagi dibaca oleh adiknya dan keluarganya sehingga diberikan padanya daripada menumpuk di gudang rumah mereka.

Dia sedikit terhibur setelah melihat putranya baik-baik saja dengan itu, meski kecemasannya meningkat hari demi hari karena putranya sangat tertutup dari dunia luar seakan dia takut.

Kim Dokja sendiri sudah masuk sekolah dasar, tapi bukan itu intinya. Kim Dokja tetaplah Kim Dokja, dia tidak memiliki teman sebab kesadaran diri atas 'kutukan' itu.

Hari demi hari berlanjut dan kegelapan di hatinya semakin menumpuk, dia berulang kali mencoba mengakhiri hidupnya sehingga takkan ada yang mati hanya karena dia menyukai mereka. Betapa kejamnya kutukan itu... Kim Dokja ingin menangis, tapi dia tidak bisa.

Pada usianya yang ke-14, Kim Dokja berhenti berpikir tentang hidupnya, dia seperti boneka yang menjalani tiap hari tanpa keluhan menuruti jadwal tetap, serta tak ada komunikasi dengan siapapun selain ibunya. Bahkan ayahnya pernah menyebutnya anak bisu lalu memukulinya lebih banyak, dia tidak masalah dengan itu.

Di hari yang cerah pada musim panas, liburan sekolah, Kim Dokja menghadapi aksi pembullyan di taman bermain dekat sekolahnya. Seragamnya robek dan kulitnya berdarah di sana-sini, namun ekspresinya tetap sama datar, sesakit apapun itu dia tak peduli.

"Hei, ekspresimu mengerikan, tahu. Mengeranglah!!! Ayo, menangis!!! Dasar anak dungu!!! Pukuli dia!!!"

Pemimpin geng pembully memerintah anggota gengnya.

Pukul, pukul, dan pukul. Kemudian tendang, dan robek pakaiannya.

Kim Dokja meringkuk menutupi wajahnya yang sudah memar, ada sesuatu dalam hatinya yang mengatakan bahwa ini bukan apa-apa.

Dia pikir dia akan pingsan sebentar lagi, namun —

"Apa yang kalian lakukan?!"

"Aahh, Jonghyuk, jangan ikut campur, ayo pergi, oke?!"

Dua suara dari anak perempuan dan laki-laki seusianya saling bersahutan di belakang kelompok pembully.

"Tidak, hei kalian!!! Itu terlalu kejam, tahu! Apa kalian mau dikeluarkan dari sekolah, lihat!"

Anak laki-laki itu membawa smartphone-nya dan menunjukkan video aksi mereka, kelompok itu saling pandang ketakutan saat melihatnya. Baru kemudian mereka menyadari siapa yang telah menginterupsi dan mengancam itu.

Kelompok itu akhirnya berlari terbirit-birit sambil memohon pada anak itu untuk tidak dilaporkan. Anak itu hanya mendengus jijik kemudian mengalihkan perhatiannya ke Kim Dokja yang masih meringkuk.

Sementara itu, anak perempuan yang menghentikannya menyerah dan akhirnya ikut serta.

"Hei," sapa anak laki-laki itu.

Suaranya terdengar halus dan lembut membuat Kim Dokja dengan hati-hati meliriknya.

"Serius, kejam sekali mereka. Jonghyuk, ini..."

Anak perempuan itu tercengang melihat luka-lukanya, terlebih setelah mengamati ekspresinya, dia membeku.

Jonghyuk tidak memperhatikan respon temannya, dia menatap mata gelap Kim Dokja dan merasa sudut hatinya sakit, dia tidak tahu kenapa.

Kim Dokja berdiri terhuyung-huyung sambil menepis uluran tangan mereka dengan pelan, dia menunduk tak ingin melihat wajah mereka karena rasa takutnya.

"Hei, tunggu sebentar."

Jonghyuk memegangi lengannya, Kim Dokja panik dan langsung memukulnya untuk kemudian merasa menyesal.

"M-maaf."

Dia belum pernah memukul siapapun karena dia lah yang selalu dipukul. Kim Dokja menguatkan diri dari rasa bersalah lalu berlari meninggalkan kedua penyelamatnya.

...

Selama liburan musim panas kali ini, setelah peristiwa waktu itu, dia tidak dibully lagi.

Dan dia bertemu mereka berdua lagi di tempat yang sama. Kim Dokja tidak ingin dikasihani, jadi dia terus mengabaikan mereka.

Namun, anak laki-laki itu terus mengganggunya dan membuat perasaan takut dari 'kutukan' itu lebih besar.

Akhirnya dia tak tahan lagi.

"Dengar, jika kalian terus mendekatiku, kalian akan mati beberapa hari lagi!"

Anak laki-laki itu yang dipanggil Jonghyuk justru tertawa mengejek, sementara anak perempuan itu, Sooyoung, memiliki ekspresi seperti baru saja makan sesuatu yang pahit.

"Itu tidak akan terjadi, aku tidak percaya hal semacam itu. Ayo berteman," ajak Jonghyuk.

Kim Dokja keras kepala menolak, mereka berdua terlalu baik sehingga dia tidak bisa menyukai mereka.

Akan tetapi, Kim Dokja harus mengakuinya bahwa dia sedikit menyukai mereka setelah beberapa hari diganggu. Dia cemas setiap kali menunggu di taman, takut keduanya takkan datang lagi. Namun, keduanya tetap datang hari berikutnya dan seterusnya sampai Kim Dokja merasa 'kutukan' itu sudah hilang.

Kim Dokja pada akhirnya berteman dengan keduanya lalu dia menceritakan alasannya selama ini menghindari mereka.

"Wow, itu menyeramkan. Aneh juga karena aku dan Jonghyuk tidak terpengaruh, jika tidak... aku pasti sudah ada di akhirat," canda Sooyoung sambil terkekeh.

"Anggap saja itu hanya kebetulan bukan 'kutukan', kalau begitu ayo mulai dari awal. Aku Yoo Jonghyuk."

Kim Dokja memperkenalkan dirinya,"Aku Kim Dokja."

Sooyoung tersenyum ceria melihat keduanya kemudian dia berdehem.

"Ehem, aku Han Sooyoung, aku sangat suka menulis. Dokja(anak tunggal), Dokja(pembaca), hei kau pasti suka membaca buku."

Kim Dokja mengangguk senang. Dia menyadari bahwa sekarang kegelapan di hatinya telah diterangi oleh dua titik cahaya kunang-kunang di depannya.

"Jonghyuk adalah protagonis yang kujadikan acuan karena wajah tampannya," sindir Sooyoung.

Jonghyuk yang duduk di samping Kim Dokja menyeringai.

"Aku memang tampan dan kuat," balasnya.

"Tidak, kau lemah, tahu!" ucap Sooyoung."Ups, maaf Jonghyuk." dan merasa bersalah saat melihat Jonghyuk cemberut.

"Seandainya aku punya tubuh yang kuat," gumam yang terakhir pelan. Dia takkan tahu bahwa Kim Dokja mendengarnya.

"Jangan khawatir, kau akan menjadi protagonis terkuat dan paling tampan," ucap Kim Dokja sambil menepuk bahunya.

Mereka bertiga tertawa bersamaan.

***

Chương tiếp theo