<Kim Dokja Umur 28 Tahun(end)>
Itu terjadi pada saat skenario pertama dimulai, deja vu yang aneh menimpaku dan rasanya seolah keberadaanku bukan bagian dari dunia ini.
Aku berpikir, menyusun skema, dan menyimpulkan. Seperti apa rasanya untuk sesaat hidup sebagai orang lain? Aku tak bisa menjawabnya dengan tepat, tapi satu hal yang ingin aku akui adalah aku egois.
Pada akhirnya aku harus kembali, jadi mengapa aku merasa sangat enggan? Aku tidak ingin menyelesaikan tujuan dan perjanjian itu. Ini tidak benar.
Tampaknya keadaan emosiku yang menjadi labil menimbulkan bencana besar, hah serius inilah yang terjadi.
Aula Besar itu datang ke dunia tanpa skenario, tak ada probabilitas di dunia itu yang bisa mengekangnya. Namun, probabilitas yang dibutuhkan untuk mengeluarkan kekuatannya berasal dari emosi labilku, sial.
Aku adalah seorang Penjelajah yang Tertinggal, menelusuri berbagai alam semesta paralel lalu cukup beruntung untuk mendapatkan kualifikasi dalam kompetisi penciptaan dunia baru.
Aku seorang pembaca yang menghidupkan sebuah garis dunia hanya dengan membacanya, tapi karena keserakahan, aku akhirnya membuat perjanjian yang seharusnya tak kulakukan.
Lalu, sekarang aku membahayakan garis dunia asli yang kupinjam. Mungkin lebih tepat menyebutnya menyalin, apa jadinya jika yang asli hancur? Apakah salinannya bisa menggantikan yang asli? Itu tidak mungkin.
Salinan takkan pernah bisa menggantikan yang asli, mungkin pengertiannya sama dengan Avatar.
Aku menyalin ingatan, kepribadian, dan semua tentangnya sambil memendam semua tentang diriku sampai waktu perjanjian datang. Aku bukan dia sejak awal....
Entah kenapa rasanya sangat sesak dan menyakitkan, tapi aku tak bisa menangis, jika itu terjadi makhluk itu akan mendapatkan lebih banyak probabilitas.
Dewa Luar adalah sesuatu yang tak bisa kukendalikan, seperti karakter yang berubah menjadi individu. Jadi, aku harus menghentikannya, satu-satunya cara adalah mematikan perasaanku. Namun, bukan aku yang akan melakukannya.
Itu Kim Dokja.
***
"Ohu, apakah kalian berhubungan dengan targetku?"
Han Sooyoung dan kelompoknya menoleh ke asal suara, seorang pria cantik berambut perak dengan hoodie coklat memperhatikan mereka dengan cermat.
"Siapa kau?!"
Pria itu hanya tersenyum pada pertanyaan Han Sooyoung. Yoo Jonghyuk di sisi lain mengeluarkan pedangnya, itu adalah insting bertahan hidup.
Shin Yoosung dan Lee Gilyoung bersiaga, mereka yang pernah bertarung dengan mempertaruhkan nyawa pasti menyadarinya, pria itu lebih kuat dari mereka semua, dan yang paling penting adalah pria itu bukan bagian dari dunia ini. Eksistensi yang terlepas dari kendala probabilitas, seolah sejak awal probabilitas tak bisa mengekangnya.
"Tenang, terlalu merepotkan kalau aku menghancurkan dunia ini. Aku akan didiskualifikasi... Haha, aku hanya ingin tahu tentang targetku. Bisakah kalian memberitahuku?"
Pria berambut perak dengan mata merahnya menebarkan pesona, pengunjung cafe yang lain ternganga dan menjadi idiot.
Han Sooyoung mengerutkan kening.
"Tepatnya kenapa dia targetmu?"
"Dia juri yang paling sulit ditemukan. Aku harus menemukannya agar bisa lolos tes."
Pria itu mengoceh omong kosong yang tak bisa dimengerti. Dia menjilat bibirnya dan dengan 'hnm' lampu cafe padam. Pengunjung lain menjadi panik.
Brak!
"Ugh."
Dia mencekik Han Sooyoung dan mata merahnya menyala menyeramkan.
"Katakan padaku di mana dia?! Lalu, sebagai tambahan aku mencium bau Penjelajah sialan itu dari kalian!"
"Omong kosong apa!"
"Kuak... Arg, l-lepas!"
Han Sooyoung tergantung seperti boneka lalu terbanting ke lantai.
Ttang!
Tangan putih pria itu sekeras baja yang bisa menahan Black Demon Sword Yoo Jonghyuk.
"Oh, wow, kau mau bertarung denganku? Hebat, kau karakter favorit para juri. Tapi, sebelum itu.... "
Lampu tiba-tiba menyala.
"Aahhhhh."
Dat!
Brak!
Puok!
Dan darah mengalir ke kaki mereka.
Mereka lupa tentang pengunjung lain yang tak bersalah. Seharusnya mereka membawa orang berbahaya itu ke tempat yang sepi, tapi sudah terlambat.
Yoo Jonghyuk mengayunkan pedangnya dan menggunakan Breaking Sky Swordmanship. Kaca jendela cafe dan interiornya pecah dan hancur, serpihan-serpihan yang terbang hanyalah kotoran bulu. Ruangan menjadi remang-remang karena sejumlah bola lampu meledak.
Itu tidak sedahsyat ketika Yoo Jonghyuk menggunakannya di dunia skenario, tapi itu tetap kuat.
Namun, pria itu justru tertawa tanpa sedikit pun goresan.
"Hebat, hebat. Aku harus... Hah?!"
Pada saat itu—
Hujan badai tiba-tiba datang dan udara menjadi menyesakkan.
Pria berambut perak melebarkan matanya dengan terkejut lalu melihat ke langit.
"Wow, sungguh. Apa dia mau membakar karyanya sendiri?"
—Apa yang akan terjadi jika yang asli hancur? Tentu saja, yang palsu takkan memiliki nilai.
Itu Aula Besar, kemunculan entitas yang tak bisa dikendalikan.
Pria itu tampaknya lupa apa yang telah dia lakukan, dia memandang ke langit dengan takjub lalu melompat turun dari lantai tertinggi gedung mall tanpa khawatir.
Han Sooyoung dan kelompoknya melongo.
"Aula Besar?! Bagaimana mungkin? Ah, Jonghyuk, kau bisa menggunakan skill?"
Yoo Jonghyuk mencengkeram erat-erat pedangnya sambil menjawab dengan anggukan.
Mereka semua saling berpandangan.
Serius? Begitu?
Bagaimana jika di dunia tanpa skenario muncul makhluk semacam itu?
Yang pasti tak ada probabilitas yang bisa mengekangnya, tapi itu tetap tidak masuk akal.
"Mungkin, apakah dia mengirim kita ke sini untuk menghentikan itu?"
Jung Heewon menanyakan pertanyaan terpenting saat ini.
"Tidak, aku pikir bukan itu.... Dia membuang kita."
Han Sooyoung pesimis dalam menjawab.
"Apa itu??!"
Orang-orang di jalanan berseru ketika melihat awan hitam melingkar-lingkar di langit, sangat menakutkan.
"Apa maksud orang itu dengan target?"
Jung Heewon menelan ludahnya sambil menatap ke langit, tidak salah lagi perasaannya benar. Itu Aula Besar, kemunculan Dewa Luar di dunia tanpa skenario.
"Aku harap itu bukan 'dia'."
Mereka bisa melihat semua orang di luar memuntahkan darah lalu satu per satu menjadi zombie.
"Apa ini?!"
Lee Jihye melihat film Resident Evil terjadi di kenyataan. Dia ngeri dan melihat yang lain juga memiliki ekspresi yang sama.
Han Sooyoung menunduk di tempatnya bersandar, dia mengingat kenangan yang sering muncul.
—"Ada kau di sana, mereka bisa bertahan tanpa aku."
—Itu memiliki dua arti, yang satu adalah keabadian dan lainnya adalah epilog.
Yang terakhir membuat ekspresinya mengeras, itu bukan bagian dari ingatannya.
"Sooyoung-ssi?"
Lee Hyunsung menatapnya dengan cemas, yang lain mengikuti.
"Kita harus menemukan Kim Dokja."
Han Sooyoung bangkit sambil memutuskan tujuan. Dia menatap Yoo Jonghyuk, lalu berseru, "Di mana Secretive Plotter saat ini?"
"Ada di sini."
Suara itu bukan dari Yoo Jonghyuk yang diam. Mereka berbalik. Secretive Plotter menunjukkan wajahnya dengan ekspresi lelah.
***