Tentatif di malam hari.
Rakai Pikatan duduk di tepian kayu di depan pondok tidurnya. Bulan sudah meninggi di langit menandakan bahwa malam sudah sangat larut. Di sekelilingnya ia dapat melihat pondok – pondok cendekiawan – cendekiawan lainnya. Obor menyala di sudut – sudut bangunan, meninggalkan kesan temaram di malam hari. Di depannya terbentang sebuah lapangan dan pondok utama yang juga merupakan tempat bermalam Mpu Galuh sebagai pemimpin cendekiawan. Rakai Pikatan menyapu pandangannya ke seluruh bangunan dan melihat hanya dua mpu yang sedang berbincang – bincang di depan pondoknya masing – masing. Maklum, malam sudah larut.
Bukan tanpa alasan Rakai Pikatan termenung di malam hari. Pembicaraan dengan wakil tanah Sumatera membuatnya tidak bisa menutup mata. Ia sendiri menyadari bahwa ia bukanlah manusia yang terbiasa dengan dinginnya angin malam dan lolongan serigala yang memecah keheningan. Hanya saja pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam kemungkinan yang akan terjadi dan mengancam kerajaan baru ini. Kekhawatirannya yang semakin menjadi ditunjukkan dengan gerakan mondar – mandir di depan bilik tidurnya.
Sepasang sorot mata menatap lekat pergerakan Rakai Pikatan. Menangkap kecemasan yang ditunjukkan calon pewaris tahta, pemilik sorot mata tersebut memilih keluar dari pondoknya dan menemui sang pemuda.
"Bukan waktu yang tepat untuk menjadi gelisah, kawan?"
Rakai Pikatan terkejut. Ia tidak menyadari bahwa Mpu Galuh sudah berada di hadapannya.
Mpu Galuh memulai percakapan sembari tersenyum, "Mata lembing masih jauh dari jangkauan, namun nampaknya seseorang di sini sudah mencari sumur yang sangat dalam."
Rakai Pikatan sedikit tersentak. Mpu Galuh memang merupakan orang yang senang memakai ungkapan dalam menyatakan maksudnya, sehingga diperlukan kehati – hatian dalam menerjemahkannya. Dalam usiannya yang sudah mencapai dasa delapan, ingatannya dan kemampuannya dalam merangkai kata tidak berkurang. Rakai Pikatan sangat menghormati Mpu Galuh dalam hal ini.
Ia tahu maksud kedatangan Balaputradewa dan Udayaditya ke tanah ini, bukan? Begitukah yang ia maksud? Rakai Pikatan terlihat ragu – ragu dalam menerjemahkan ungkapan Mpu Galuh. Melihat kekosongan yang ditunjukkan Rakai Pikatan, ia tersenyum. Sang pemimpin duduk di depan bilik sang pemuda, menyuruh Rakai Pikatan untuk duduk di sebelahnya.
Mpu Galuh kembali mengucapkan ungkapan, "Pada waktu ini langit berwarna hitam, namun jika kau perhatikan baik – baik, sang padi tetap berwarna kuning. Semakin tua ia, maka akan semakin menunduk. Ya, Rakai Pikatan, aku sudah mengetahui maksud kedatangan sang Otak ke istana ini."
Rakai Pikatan terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Simpati pun tidak akan membantu.
"Aku tidak mendengar langsung. Aku hanya bisa menerka – nerka maksud kedatangan mereka. Melihat ayah Pramoda begitu larut dalam ruang pertemuan dari pagi hingga malam, aku tahu mereka sedang membicarakan sesuatu yang besar."
Mpu Galuh kemudian menengok ke samping, dan dengan sebuah gerakan rahasia ia membisikkan sesuatu, "Dapatkah engkau menjaga rahasia? Aku hendak memberitahukan sesuatu."
Rakai Pikatan mengangguk.
"Pada pagi hari sebenarnya ruang pertemuan kosong. Mereka tidak berada di dalam." Rakai Pikatan sedikit kaget dengan informasi yang diberikan oleh sang penghulu cendekiawan.
"Di manakah mereka berada?" Mpu Galuh berhenti sebentar, "jika kau memerhatikan cerita – ceritaku terdahulu maka kau akan mengetahui keberadaan mereka dan apa yang mereka lakukan. Ya, mereka pergi berburu ke Hutan Undir. Kemarin aku melihat raja menyamar menjadi rakyat biasa membawa rusa hasil tangkapan mereka ke gudang penyimpanan."
Rakai Pikatan menatap Mpu Galuh penuh ketidakpercayaan.
Mpu Galuh tersenyum, "Tidak berubah, kedua orang itu. Saudara kandung dan memiliki hubungan layaknya sahabat baik. Sungguh disayangkan mereka mengurung diri di ruang pertemuan. Jika mereka menampilkan diri di hadapan publik, aku yakin isu yang buruk seperti sekarang ini tidak akan berkembang."
Rakai Pikatan menatap Mpu Galuh. Dirinya kehilangan kata – kata. Apakah ini pertanda baik bagi Kerajaan Medang?
Yang ditatap kembali mengerti maksud tatapan tersebut, serta melanjutkan, "Bagi orang tua sepertiku, menatap tanah adalah pekerjaanku selanjutnya. Mungkin mengasingkan diri ke hutan dan menjalankan tapa. Yang aku harapkan adalah kedamaian. Aku hanya ingin melihat senyum di muka seorang ayah yang sedang bermain melempar bola bersama anaknya. Menjaga kerajaan ini adalah tugas generasi muda sepertimu. Mengenai kau pantas khawatir atau tidak, ingatlah, bahwa Kerajaan Sriwijaya bukanlah Balaputradewa seorang. Raja sedang berunding, aku menyarankan kau menunggu pengumuman darinya."
Pengumuman raja. Ya benar, segala sesuatu bergantung kepada raja. Rakai Pikatan kembali menundukkan kepalanya sambil membayangkan beban seberat apa yang akan ditanggungnya kelak ketika ia menjadi raja. Itupun jika kerajaan ini masih berdiri. Ia tertawa ringan.
Seorang prajurit berlari – lari kecil datang menghadap Rakai Pikatan dan Mpu Galuh, membuat kedua orang tersebut terkejut, "Yang mulia Rakai Pikatan, engkau ditunggu di ruang pertemuan oleh yang mulia raja sekarang."
Rakai Pikatan dan Mpu Galuh berpandang – pandangan. Ia terkejut. Terlalu banyak pertanyaan yang menghinggapi benak Rakai Pikatan. Tengah malam begini? Di ruang pertemuan? Apakah raja masih berunding? Mengapa hanya aku yang dipanggil, tidak dengan Mpu Galuh?
Rakai Pikatan mencoba bertanya kepada prajurit, "Apakah yang mulia Balaputradewa hadir di ruangan?" Pertanyaan tersebut dijawab dengan anggukan, dan sesaat kemudian Rakai Pikatan merasakan darahnya berdesir kencang.
Mpu Galuh berucap, "Pergilah, nak. Jangan sampai melakukan kesalahan."
Rakai Pikatan kemudian bangkit, memohon diri kepada Mpu Galuh, serta berjalan pelan menuju ruang pertemuan. Ia tidak tergesa – gesa, karena ia sedang memikirkan segala sebab dan kemungkinan yang akan terjadi. Ia berusaha mengingat – ingat sejarah dan pengetahuan mengenai kerajaan - kerajaan, sebab itulah kekuatan utama dirinya. Barangkali saja raja membutuhkan pengetahuanku.
Pintu ruang pertemuan tertutup rapat. Rakai Pikatan kemudian mengetuk pintu seraya berkata, "Yang mulia raja, hamba Rakai Pikatan."
Raja kemudian menyahut dari dalam, "Masuklah, Mpu Manuku."
Penglihatan pertama Rakai Pikatan ketika memasuki ruang pertemuan adalah raja yang sedang duduk di depan meja utama dengan peta nusantara di atasnya. Kondisi raja tidak baik. Ia termenung di atas kursinya sambil bersender dengan tangan kanannya. Mukanya musam. Rakai Pikatan mencari seorang lainnya. Sang pangeran dari tanah Sumatera sedang melakukan semedi di pojok ruangan. Ia mengenakan sari dan sorban kuning, serta wajahnya terlihat tenang. Berbeda sekali dengan raja yang tampak lemas.
Sembari bersender, raja menatap Rakai Pikatan, "Aku baru saja kembali dari anjungan saat mencari angin segar. Aku melihatmu belum tertidur dan sedang berbicara dengan Mpu Galuh di pondok cendekiawan. Aku berpikir ada baiknya aku mengundangmu kesini untuk memberikan pandanganmu. Aku tidak ingin memancing keributan, oleh karena itu aku hanya memanggilmu seorang."
Satu demi satu pertanyaan di benak Rakai Pikatan mulai terjawab. Namun pertanyaan utama belumlah terjawab: mengapa aku diundang ke tempat ini?
Raja kembali ke posisi semula. Selama beberapa hitungan ruangan tersebut diisi oleh keheningan malam. Suara jangkrik dan kodok terdengar bersahutan di halaman luar. Tidak tahan dengan keheningan malam, Rakai Pikatan memberanikan diri bertanya, "Maaf, wahai paduka raja, jika paduka raja berkenan, bolehkah hamba mengetahui maksud kedatangan hamba ke ruangan ini?"
Raja menatap Rakai Pikatan dan kemudian mengerling ke ujung ruangan dimana Balaputradewa sedang bersemedi.
"Adikku sudah berubah, Mpu Manuku. Ia bukan lagi sosok yang kukenal." raja berujar.
Merasa namanya disebut, seseorang berpakaian serba kuning membuka matanya, bangkit berdiri, berjalan pelan menuju sumber suara.
"Kau salah. Aku sama sekali tidak berubah. Tidak ada yang berubah." ujar Balaputradewa.
Saat itu merupakan pertama kalinya Rakai Pikatan mendengar Balaputradewa bersuara. Pada saat perjamuan besar di hari pertama ia sama sekali tidak bersuara. Keponakannyalah yang mengurus semua keperluan Balaputradewa. Kali ini berbeda. Suaranya begitu tenang, lembut, dan menghanyutkan.
Raja menatap adiknya, kemudian menggeleng – gelengkan kepala.
"Sudah hampir tiga hari kita berbincang – bincang. Empat mata, hanya kau dan aku, dan aku hampir saja tidak merasakan itikad buruk dari negeri seberang. Hanya satu kalimat yang mengusik hati nuraniku. Tidak tergoyahkan, tidak dapat dihapus, tidak dapat diperbincangkan ulang. Sekarang aku mengerti mengapa ayah mengirimkan engkau sebagai utusan negeri. Jika utusan itu merupakan kacung biasa, maka sudah dipastikan ia kembali tanpa kepala. Ayah begitu pintar, ia mengirimkan seseorang memiliki hubungan ikatan untuk mencegah pertumpahan darah."
Balaputradewa tersenyum, "Apa yang kaumaksud? Siapa bilang aku menghendaki pertumpahan darah?"
Raja menatap Balaputradewa lekat – lekat, "Penyerahan mahkota kerajaan. Itukah yang kalian inginkan?"
Balaputradewa tersenyum dan mengangguk.
"Kita ini saudara, kak. Selama ini kami menganggap Medang adalah bagian dari Sriwijaya. Penolakan kakak untuk menyerahkan mahkota ini menimbulkan pertanyaan bagi kami warga Sriwijaya. Apa yang ada di pikiranmu selama ini? Bukankah kedatangan kakak Samaratungga pertama kali ke tanah Jawa ini adalah untuk melakukan perluasan bagi Kerajaan Sriwijaya? Aku menjadi tidak mengerti, wahai saudaraku."
Samaratungga tidak langsung menjawab. Ia berdiri dan melangkah pelan menuju Balaputradewa.
"Akan kuulang dengan persis kata – kata Samagrawira saat ia dan ENGKAU kembali pulang ke tanah Sumatera dua puluh lima tahun yang lalu." jawab Samaratungga.
"Aku titipkan kerajaan baru ini kepadamu. Lakukanlah yang kau suka, namun harus tetap ingat kepada rakyat. Aku dan Balaputra akan pergi untuk mengurusi ayah di tanah Sumatera. Selamat tinggal."
"Perhatikan dengan baik kata – katanya. "Kerajaan baru". Bahkan ia sendiri sudah mengakui Kerajaan Medang ini. Selain itu ingatkah kau satu fakta lagi yang mengusikku?"
Balaputradewa tetap tersenyum dan menggeleng.
"Kurang lebih dua puluh lima tahun yang lalu kalian berdua datang setelah Kedu takluk! Aku sendirilah bersama pasukanku yang menerobos di tanah Jawa ini, menaklukkan Dieng, Mamrati, dan Merapi. Aku memang meminta ijin kepada Dharanindra pergi ke tanah Jawa untuk melakukan serangan sebagai latihan jika aku menjadi raja kelak. Namun aku tidak sudi jika hasil kerja kerasku diserahkan kepada orang lain, walaupun itu anggota keluarga sendiri."
Rakai Pikatan terkejut. Fakta ini baru ia dapatkan pada waktu ini. Ia menganggap, bahkan semua buku sejarah menceritakan hal yang sama, bahwa rombongan Sriwijaya yang terdiri dari Samagrawira, Samaratungga, Balaputradewa datang secara bersamaan.
Balaputradewa menanggapi, "Kakakku yang kucintai, sadarkah kau bahwa ucapanmu barusan justru menguatkan fakta dari ucapanku juga. "Jika aku menjadi raja kelak". Di dalam hatimu pun kau sudah bersiap menjadi raja Sriwijaya, bukan? Kau adalah kakakku, tentu mahkota Rakai Warak akan jatuh ke kepalamu begitu ia selesai bertugas atau mangkat. Cukuplah dengan basa – basi di kerajaan ini, terima mahkotamu di negeri terbesar nusantara: Sriwijaya."
Raja terdiam. Fakta ini merupakan penawaranan yang tidak dapat dibantah. Bahkan Rakai Pikatan pun dapat menebak pikiran raja: menjadi raja di kerajaan terbesar nusantara, hanya orang gila yang menolaknya. Namun pertanyaan berikutnya yang dilontarkan Samaratungga menjadi penting.
"Bagaimana dengan kerajaan Medang ini? Siapa yang akan menggantikanku untuk mengatur pemerintahan di negeri ini?"
Balaputradewa tersenyum, "Berita barukah bagimu Kerajaan Sriwijaya menaklukkan kerajaan – kerajaan lainnya? Apa yang terjadi dengan kerajaan – kerajaan itu? Adakah raja baru disana? Tentu tidak, kakak, pusat pemerintahan hanya satu yaitu Istana Palembang dan satu raja saja. Sebagai contoh, bagaimana dengan raja Indragiri Hilir yang kami taklukkan tujuh tahun yang lalu? Ia turun pangkat menjadi bupati Indragiri Hilir dengan batas pemerintahan kabupatennya saja. Ia setara dengan bupati – bupati di sekitarnya."
Samaratungga memejamkan matanya tanda geram, "Dengan kata lain kau mengatakan bahwa tidak ada yang mengatur pemerintahan disini setelah aku menjadi Raja Sriwijaya kelak? Seluruh kerja kerasku tidak ada artinya? Bagaimana jika mereka memberontak dan melepaskan diri?"
"Ada. Kau yang mengatur. Hanya saja dari kursi istana Palembang. Dan tidak hanya tanah Jawa saja. Kau akan berkuasa terhadap setengah wilayah dari nusantara ini."
"Lalu bagaimana dengan keluargaku? Dewi Tara, Pramodawardhani, Taradyahwardhani, bagaimana nasib mereka?" raja berhenti sebentar lalu melanjutkan, "Rakai Pikatan juga. Sudahkah ayah memikirkan ini semua?"
"Sudah kak, tenang saja. Mereka semua akan mendapatkan tempat kehormatan di istana utama. Mengenai Rakai Pikatan, itu terserah padamu. Kau bisa menjadikannya ahli warismu di Palembang, atau bisa saja ia menjadi bupati di Prambanan ini. Mudah bukan?" jawab Balaputradewa.
Aku menjadi ahli waris Kerajaan Sriwijaya. Tidak pernah terpikirkan. Semakin gila saja semuanya.
"Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Jika aku menjadi raja bukankah kau tidak akan menjadi ahli waris?" Samaratungga berhenti sebentar lalu melanjutkan, "Tunggu, apakah kau tidak berminat menjadi raja?"
Balaputradewa hanya tersenyum dan tidak menjawab. Dari tindakannya Rakai Pikatan menyimpulkan bahwa orang ini bukanlah orang ambisius. Ia jenis orang yang menantikan nasib dan Samaratungga mengetahui itu.
Raja kembali memejamkan mata. Pada waktu berikutnya ia bangkit dan berjalan mondar – mandir di samping meja. Ia melihat ke atas meja dimana peta nusantara terbentang. Penjelasan Balaputradewa semua masuk akal dan menenangkan jiwa. Berkuasa atas setengah wilayah Sumatera? Hanya orang gila yang menolaknya. Bahkan Rakai Pikatan yang sedari tadi berdiri pun ikut termenung. Kini semua tergantung pada sang raja.
"Tidak." Samaratungga berkata pelan.
"Tidak, hampir saja kau yakinkan aku untuk menyerahkan mahkota ini. Mahkota ini adalah lambang dari hasil kerja keras."
Balaputradewa menatap dingin kakaknya. Senyumnya kini menghilang.
"Kau tahu mengapa Dharanindra memanggil hanya dirimu dan ayah untuk pulang? Ia menghormatiku. Sejak awal ia tahu bahwa aku adalah pribadi yang senang dengan tantangan, dan ia tahu bahwa aku pasti berhasil dengan seranganku di tanah Jawa. Sejak awal kau sudah diproyeksikan untuk menjadi penerus Samagrawira, karena ia tahu, bahwa aku kemungkinan besar tidak akan kembali pulang ke istana Palembang."
Balaputradewa hanya terdiam. Rakai Pikatan menebak bahwa mungkin kini sang pangeran yang kehabisan kata – kata.
"Pulanglah, adikku. Segala ucapanmu tidak akan berarti untukku. Kerajaan Medang akan tetap ada di Pulau Jawa. Kerajaan Sriwijaya berhak mengambilnya, hanya sertakan lembing tajam saat kalian datang kembali. Kami akan bertahan. Aku dan rakyatku yang kucintai akan melawan kalian."
Balaputradewa tersenyum. "Itukah keputusan terakhirmu?"
Raja mengangguk dan kembali duduk di kursinya. Mengetahui bahwa keputusan Samaratungga tidak dapat diganggu gugat, Balaputra membungkuk, memohon diri, dan keluar ruangan meninggalkan raja dengan Rakai Pikatan di ruang pertemuan. Keheningan kembali mengisi ruangan.
Rakai Pikatan memberanikan diri membuka suara, "Yang mulia raja, kau bermaksud menyatakan perang?"
"Apakah kau takut, Mpu Manuku? Balaputradewa adalah perunding ulung. Aku yakin jika kau ada di posisiku tadi, kau tidak akan berpikir dua kali untuk menerima tawarannya."
Rakai Pikatan tertunduk malu.
"Mpu Galuh tentu sudah bercerita bagaimana aku menyamar menjadi rakyat biasa untuk berburu, bukan?"
Rakai Pikatan sedikit tercekat sambil mengangguk.
Raja melanjutkan, "Benar – benar baik adikku itu. Ia tidak berubah. Tidak. Kerajaan Sriwijayalah yang berubah. Aku mengerti ini. Semakin kuat, semakin kaya, semakin melimpah, semakin diberikan kemenangan, maka akan semakin serakahlah seorang lelaki. Tidak, Mpu Manuku. Kita akan melawan dan angkat senjata. Walaupun mereka adalah orang – orang yang kukenal."
Raja berdiri dan berjalan menuju anjungan ruangpertemuan. Di kejauhan ia mendengar lolongan serigala secara samar – samar.Bersama itu ia mengetahui bahwa masa depan Kerajaan Medang ada di dalam sebuah ketidakpastian.