webnovel

Lohgawe 1

Pagi yang cerah di Pasar Remuk. Lohgawe bersantai. Sambil menunggu calon pelanggan.

Lohgawe tidur – tiduran di bawah pohon beringin. Sambil mengulum ranting pohon, ia membetulkan pakaiannya yang hanya berupa jubah terusan berwarna abu – abu. Sepatunya merupakan sandal ikat yang beberapa talinya sudah berwarna kecoklatan. Memandang awan, ia menyenandungkan lagu yang ia sendiri baru ciptakan dengan cara bersiul.

Pagi ini sepi pelanggan. Di hadapannya terdapat meja bertaplakkan kain renda yang sudah usang. Di atas kain tersebut terdapat beberapa buku tipis berjudulkan Primbon Rakyat, Primbon Tua, Ramalan Kerajaan oleh Jayabaya, dan lainnya. Sebagai seorang peramal ia memang tidak memiliki perlengkapan yang baik. Namun bukti bahwa ia masih menjadi seorang peramal detik ini sudah cukup baginya untuk meneruskan mata pencaharian ini.

Lohgawe sebenarnya tidak benar – benar bisa meramal. Ia hanyalah seorang pemuda beragama Hindu yang berasal dari Gujarat, India yang terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya pada usia sangat muda. Perahu yang ia tumpangi mengarungi Laut Malaka, sempat berhenti di semenanjung Tumasik, melanjutkan perjalanan ke tanah Jawa. Pada awalnya mereka melempar sauh pada pelabuhan Sunda Kelapa, namun melihat situasi sedang terjadi pemberontakan Kerajaan Galuh melawan Kerajaan Sunda, kapal laut tersebut tidak tinggal lama. Setelah mendarat pada tempat kecil bernama Tuban, kapal tersebut mengosongkan isi muatannya, termasuk Lohgawe. Sudah menjadi rahasia umum masyarakat pelabuhan sekitar bahwa kapal tersebut berisikan orang – orang terbuang dari negara yang tidak mereka kenal.

Lohgawe tumbuh besar di Pasar Remuk, bagian dari Kerajaan Kediri. Ia mempertahankan hidupnya dengan cara - sesuai dengan perkiraan para pembaca cerita ini, mencuri dan berlari. Secara tidak sadar ia tumbuh menjadi bagian dari komunitas pasar. Ketakjubannya melihat ia bisa meraup uang dengan mudah ketika melihat seseorang ditentukan takdirnya, membuat ia memilih nasib menjadi seorang peramal. Bahasa dan budaya yang berbeda bukan menjadi kendala bagi Lohgawe, mengingat ia sendiri seorang Hindu yang taat ketika berada di tanah airnya dulu.

Seseorang melintasi tempat ramalnya.

"Kedaimu sepi, kawan?" tanya seseorang berambut gimbal panjang kehijauan.

Lohgawe membuka matanya dan melirik. Kebo Ijo. Bukan, nama aslinya adalah Seri Dharmawan. Namun dasar saja tukang kerbau dan berambut hijau, semua orang di pasar memanggilmu Kebo Ijo sekarang.

"Bukan pula urusanmu, kerbau." jawab Lohgawe seraya tersenyum dan menutup matanya kembali.

Kebo Ijo berjongkok tepat di depan meja ramal Lohgawe, dan ketika itu pula seseorang berambut ikal sambil menenteng keranjang ikan di tangan kanannya berjalan di depan dan berkata – kata.

"Hei brahmana, coba ramal aku dulu, kawan. Minggir kau Kebo Ijo, aku ingin diramal Lohgawe" sang tuan pasar membuka percakapan dan meminggirkan Kebo Ijo yang terlihat bodoh ke sampingnya.

Lohgawe membuka matanya, cepat – cepat bangun, dan mengambil sikap siap di hadapan Mas Bramono, sang pemilik kedai ikan di Pasar Remuk. Ia adalah seorang pejabat pasar yang dihormati oleh komunitas pasar.

Lohgawe membuka ramalan dengan suara sopan, "Bagian mana dari diri tuan yang ingin diramal, Mas Bramono?"

"Aku ingin mengetahui peruntunganku di bulan ini, brahmana." Mendengarnya Lohgawe segera membuka buku Primbon Rakyat. Namun segera Bramono melanjutkan, "Aku tidak ingin diramal melalui buku itu, brahmana. Aku tahu itu hanya karangan belaka. Temanku yang menulisnya setiap bulan dan ia menjualnya dengan harga murah, tidak di tempat ini, di Pasar Tuban. Jauh memang, namun aku yakin dari situlah kau mendapatkannya dengan harga murah." Bramono menutup dengan senyuman liciknya.

Orang ini pintar dan bukan orang sembarangan. Baiklah. Lohgawe kemudian mengeluarkan keris dari bawah mejanya. Melihat itu Bramono dan Kebo Ijo bergidik dengan pandangan terkejut, "Apa yang hendak kau lakukan, brahmana?"

Melihat itu Lohgawe tersenyum. Seorang peramal boleh salah menentukan nasib orang namun ia harus meyakinkan. Bahkan si jagal kerbau saja sampai terkejut. Hahaha. "Tenang saja, kawanku, ini hanya cara baru dalam meramal. Akan sedikit sakit, namun apakah kau ingin diramal, tuan?" jawab Lohgawe.

Berusaha menyembunyikan kekagetannya, Mas Bramono lalu berkata, "Apa yang harus aku lakukan?"

"Cukup ulurkan tangan Anda, tuan, dan hamba akan berusaha menentukan takdir dengan melihat isi darah Anda" jawab Lohgawe.

Mendengar kata darah membuat Bramono mundur, namun walaupun dipenuhi keraguan ia mengulurkan tangan kanannya ke depan. Melihat telapak tangan Bramono melayang di depannya, Lohgawe tidak membutuhkan waktu lama untuk mengayunkan keris tersebut dengan cepat ke atas tangan sang pejabat pasar, disusul dengan teriakan Kebo Ijo. Keris itu tepat berhenti di atas telapak tangan Bramono. Orang yang disebut terakhir hanya terduduk lemas.

Lohgawe hanya tersenyum. Ia menusuk telapak tangan Mas Bramono pelan – pelan hingga darah keluar dan memerahkan ujung keris miliknya. Setelah itu ia mengambil keris itu, menggenggamnya dengan kedua tangan di depan dadanya, dan mengambil posisi berdoa. Kedua kompatriotnya hanya bisa tercengang melihat itu.

Lohgawe kembali tersenyum. Seorang peramal boleh salah menentukan nasib orang, namun ia harus meyakinkan. Dewa Wisnu, Dewa Siwa, dan Dewa Brahma pun tahu kalau aku hanya berpura – pura. Setelah sekian lama menutup mata dan berkomat kamit, ia akhirnya menatap pelanggannya.

"Kau akan memiliki keuangan yang stabil bulan ini. Namun satu hal yang perlu diperhatikan, kawan, akan ada bencana besar datang ke kedaimu suatu hari. Aku tidak bisa menyebutnya, apa jenis bencana itu, siapa penyebabnya, dan kapan waktunya, namun hal itu akan memengaruhi keluarga Anda, tuan. Jadi saran saya, jaga keluarga tuan baik – baik, dan bersiap – siaplah karena kedatangan bencana ini tidak bisa diubah dan diganggu gugat. Ini merupakan keputusan Batara Wisnu." jelas Lohgawe panjang lebar.

Lohgawe bahkan harus berpura – pura untuk tidak tertawa karena apa yang ia lihat di depannya. Aku baru sadar ternyata Mas Bramono memiliki mulut yang besar, sekarang aku tidak dapat membedakannya dengan babon yang sedang menguap. Si tukang kerbau, sama – sama terkejut pula. Dasar dua orang bodoh.

Dengan mata yang masih terperanjat, pelan – pelan Mas Bramono jatuh lemas dan terkulai di depan meja ramal Lohgawe. Lohgawe mengira kata – katanyalah penyebab pelanggannya pingsan. Sudah merupakan pengetahuan masyarakat sekitar, kedai Mas Bramono seringkali menjadi sasaran empuk para pencuri ikan. Yang terakhir, leher anak Mas Bramono hampir lepas dari tempatnya akibat tebasan golok para pencuri dan ayahnya menyaksikan langsung kejadian itu. Lohgawe dan Kebo Ijo tidak terkejut melihat Mas Bramono pingsan. Kebo Ijo membawa sang pelanggan menuju kedainya untuk beristirahat. Maafkan aku, kawan.

"Kau orang hebat, pendeta. Sebaiknya kita berdoa kepada Dewa Wisnu agar tidak menjatuhkan musibah kepada orang baik ini." jelas Kebo Ijo.

Terserahmulah. Tunggu. Lohgawe bergegas mengejar Kebo Ijo yang sedang merangkul Bramono dalam keadaan pingsan, "Aku lupa sesuatu."

Ia kemudian merogoh kantong celana Bramono dan menemukan dua cetak perak di dalamnya. "Jangan lupakan layanan pelanggan" celetuk Lohgawe sambil membiarkan Kebo Ijo dan Bramono menjauh. Ia kembali ke tempat ramalnya dengan hati senang.

Kegembiraannya tidak berlangsung lama. Di depan tempat duduknya ia melihat seorang pemuda bertubuh kekar, berambut panjang, dan penuh luka gores di punggungnya. Di belakangnya ia melihat orang – orang yang mirip dengannya dari postur tubuh berdiri bergerombol. Lohgawe berpikir sejenak. Mereka bandit dan orang ini pemimpinnya.

Lohgawe sempat menghitung. Bandit – bandit itu - atau begitulah sepertinya, berjumlah sepuluh orang, termasuk sang pemimpin. Mereka tidak membawa apa – apa. Selama ini berada Pasar Remuk, Lohgawe memang sudah beberapa kali harus membayar biaya sewa kedai, namun tidak pernah hingga harus berhadapan dengan preman – preman pasar. Membayangkan dikeroyok sendirian oleh orang – orang kasar ini, Lohgawe bergidik ngeri. Lebih baik ia menyerahkan uang dua cetak peraknya yang diperoleh dengan susah payah sepanjang hari ini daripada harus merasakan bogem mentah para bandit dan bernasib sama dengan Mas Bramono. Malah aku akan lebih parah. Sial. Sampai jumpa dua cetak perak. Sampai jumpa makan siang.

Seseorang yang disangka pemimpin oleh Lohgawe duduk di depan meja ramal dan menatap Lohgawe dengan tajam dari kejauhan. Wajahnya sebenarnya tampan, masih sangat muda, sekitar dua puluhan, namun dari gerak – geriknya Lohgawe dapat menerka sifatnya. Meledak – ledak.

"Hai, brahmana! Cepat kembali ke sini, aku ingin diramal olehmu." sang pemuda memanggil dengan kasar.

Lohgawe bergidik ketakutan. Dengan tergopoh – gopoh ia melangkah menuju tempat duduknya. Keringat dingin mulai menetes menuju tengkuknya.

"Baik, tuan ingin diramal di bagian mana?" tanya Lohgawe seperti biasa ketika ia akan memulai ramalan.

��Tolong ramal masa depanku. Apakah aku akan menduduki posisi penting di masa depan?" jelas sang pemuda.

Lohgawe mengangguk. Tangannya membuka buku Primbon Hari Ini, namun ketika kembali menatap pemuda tersebut, ia tercekat. Sebuah tatapan mengancam melihatnya seakan mau menghabisi tanpa ampun. "Aku melihat orang tadi diramal dengan memakai penglihatan, aku ingin cara yang sama" jelas sang pemuda.

Bulu sukma Lohgawe mulai berdiri. Ini ketakutan yang sesungguhnya. Tenang, Lohgawe. Tenang. Seorang peramal boleh salah menentukan nasib orang namun ia harus meyakinkan. Lohgawe mengulang - ulang keyakinannya.

Lohgawe kemudian mengambil keris di bawah mejanya. Permintaannya agar tangan sang pemuda berada di atas meja ramal segera dipenuhi. Sebelum mengarahkan keris ke atas telapak tangan pemuda, Lohgawe menatap pemuda tersebut. Sama sekali tidak terlihat adanya rasa takut pada diri pemuda itu, berbeda dengan Lohgawe yang justru akan segera 'menusuk' telapak tangan pelanggannya.

Lohgawe menyipitkan mata, mengayunkan keris dengan cepat ke atas telapak tangan pemuda, dan berhenti tepat di atas telapak tangan pemuda tersebut. Oh tidak. Keris itu menghujam telapak tangan pemuda tersebut, walaupun tidak sampai menembus, namun darah telah mengalir deras di atas meja ramal Lohgawe. Matilah aku ini, pikir Lohgawe.

Pemuda tersebut menatap tajam ke arah Lohgawe, "Brahmana, apa yang kau lakukan? Bukankah engkau harusnya memanjatkan doa setelah menghujamkan keris ini tadi?"

Lohgawe menatap pemuda tersebut dengan tatapan tidak percaya. Tanpa berpikir panjang ia lalu menarik kerisnya (ia benar – benar menarik keris tersebut dari dalam daging tangan yang tertusuk), menggenggam dengan kedua tangan di depan dada, dan mulai memanjatkan doa. Kali ini ia benar – benar berdoa kepada dewa. Oh Dewa Wisnu, tolonglah hambamu ini, hamba masih ingin berumur panjang. Tolong selamatkan jiwa hamba dari bandit – bandit ini.

Pelan – pelan Lohgawe membuka mata. Seorang peramal boleh salah menentukan nasib orang, namun ia harus meyakinkan. Lohgawe membuka penjelasan, "Baik, tuanku yang mulia, Dewa Wisnu sendiri datang kepada diri hamba dengan menaiki Garuda dalam penglihatan hamba barusan. Ia bersabda demikian, "Pemuda di depanmu ini adalah titisan suci dari tempat kami, para dewa. Kami mengutusnya ke dunia agar ia mampu membela orang lemah dan membela kepentingan rakyat. Tentu saja ia akan menduduki posisi tinggi. Ia akan menjadi Raja Kediri suatu saat nanti. Tolong bilang padanya: Bersabarlah, waktunya akan segera tiba." Begitulah Dewa Wisnu bersabda tuanku, sebelum ia pergi dalam naungan awan."

Pemuda yang berada di depan Lohgawe melihat dengan tatapan kagum. Ia terdiam lama, terlihat takjub. Pemuda tersebut menatap anak buahnya, berdiri, dan berdiskusi. Lohgawe berharap hal itu bukanlah hal yang buruk. Kini ia berani berharap bahwa ia akan dibayar setelah pelayanannya.

Pemuda tersebut kembali ke tempat duduknya. Tangannya menggenggam sesuatu. Ia membuka telapak tangannya di atas meja ramal yang masih berlumuran darah. Uang – uang keping bernilai lima cetak perak bergemerincing di atas meja ramal Lohgawe. Ia tidak bisa menghitungnya. Ada sekitar lima hingga sepuluh keping.

Mata Lohgawe segera berbinar melihat keping – keping uang tersebut. Sebelum telapak tangannya menyentuh keping – keping uang, tangan sang pemuda lebih cepat menggenggam tanganya yang membuat Lohgawe tercekat dan kembali diselimuti ketakutan, "Brahmana, aku yakin kau memiliki kemampuan ramal yang baik. Pengetahuanmu juga pasti luas. Kau akan berguna buatku. Aku ingin kau bersama – sama denganku menguasai Kerajaan Kediri, hingga aku menjadi raja kelak". Sesaat kemudian sang pemuda menambahkan, "Jadilah penasihatku, tuan!" Kini sang pemuda bersujud di hadapan Lohgawe.

Ajakan yang diajukan pemuda tersebut membuat Lohgawe terduduk lemas. Siapa sebenarnya pemuda ini? Lagipula, aku, menjadi seorang penasihat?

Segala kebingungan membuat ia memberanikan diri bertanya kepada pemuda tersebut, "Siapakah engkau, wahai pemuda? Kau belum menyebutkan namamu."

"Namaku Ken Arok, brahmana. Sekarang aku menjadi ajudan Tunggul Ametung, Bupati Tumapel."

Kini giliran Lohgawe yang terjatuh lemas dan terkulai. Ternyata ia bernasib sama dengan Mas Bramono.

Chương tiếp theo