saat waktu menunjukkan pukul enam pagi, Luna dan Ethan masih terlelap dengan saling memeluk dan tanpa memakai pakaian. Tentu saja! Pertempuran semalam membuat mereka lelah dan ketiduran hanya memakai satu selimut berdua. Sudah pasti Luna tidur dengan wajah yang bersembunyi di ketiak Ethan, karena itu adalah kebiasaan nya.
Drett ... drett ....
Ponsel Ethan yang terletak di meja dekat ranjang bergetar, dengan malas Luna mengambil ponsel itu dan mengangkat telpon tanpa melihat nama penelpon.
"Hallo," sapa Luna dengan suaranya yang malas dan mata terpejam, sedangkan Ethan masih tertidur pulas.
"Hallo, Luna," balas Edward dari telpon.
Ya! Penelpon itu adalah Edward. seketika Luna membuka mata dan mendudukkan dirinya.
"Ada perlu apa menelpon Ethan?" tanya Luna dengan ketus. Dia takut mantan kekasihnya itu akan membuat suaminya marah atau mengadu yang tidak-tidak.
"Jangan terlalu emosian, aku hanya ingin bicara sebentar dengannya," jawab Edward terdengar ketus.
"Bicara denganku saja, nanti akan kusampaikan!" seru Luna.
"Oh ... apa kamu kangen mengobrol denganku, heem?"
"Jangan mimpi, aku bahkan mual hanya dengan mendengar suaramu," jawab Luna lalu kembali merebahkan tubuhnya di samping Ethan.
"Benarkah? Tapi aku tidak percaya. Setahuku, orang benci itu tandanya masih mencintai, aku yakin kamu masih mencintaiku, Luna. Hanya saja kamu tidak tega pada adikku."
"Jangan terlalu percaya diri!"
Ethan mendengar Luna yang sedang bercakap dengan seseorang di telpon itupun terbangun dan menoleh ke arah Luna.
"Siapa yang terlalu percaya diri?" tanya Ethan.
Seketika Luna menoleh dan menatap Ethan dengan ekspresi agak terkejut. 'Apa dia mendengar obrolanku dengan Edward barusan?' batinnya.
"Sayang." Ethan memanggil istrinya yang malah menatapnya seperti orang kaget.
"Eh ... ini, Edward menelponmu." Luna menyerahkan ponsel itu pada Ethan.
"Kenapa dia?" tanya Ethan sembari menerima ponsel itu.
Luna hanya menggeleng menanggapi Ethan. Dia segera mendudukkan dirinya dan menumpuk bantal untuknya bersandar.
"Hallo, Edward. Tumben pagi-pagi sudah menelpon." Ethan mulai berbicara dengan Edward.
"Hm, aku dan Viona akan segera berangkat ke London. Apa kamu yakin tidak ikut?" tanya Edward.
Ethan mendudukkan dirinya lalu bersandar pada pundak Luna yang sejak tadi mengawasinya. "Tidak, mana mungkin kami ikut ... perut Luna sudah besar, aku tidak ingin dia kelelahan karena melakukan perjalanan jauh."
Luna melirik Ethan yang sedang mengobrol dengan mantannya. Dia mengawasi untuk mendengar obrolan itu, siapa tahu Edward mengadu yang aneh-aneh tentang dirinya. Tampaknya wanita hamil itu menjadi sangat khawatiran, padahal jika dia jujur, mungkin Ethan tidak akan mempermasalahkan. Ah, siapa yang tahu? Mungkin dia hanya tidak ingin kakak beradik itu bertengkar dan berseteru panas karena masalah asmara.
"Yasudah kalau begitu, aku akan berangkat 30 menit lagi," ucap Edward terdengar kecewa.
"Iya, hati-hati dan hubungi aku jika sudah sampai," seru Ethan.
Sambungan telpon terputus, Ethan segera meletakkan kembali ponselnya ke meja, sedangkan Luna masih bergeming dengan meletakkan jemarinya ke dagu. Wanita hamil itu tampak sedang berpikir, membuat suaminya merasa aneh dan penasaran.
"Kenapa?" tanya Ethan sembari merebahkan tubuhnya dengan posisi kepala di paha Luna.
"Tidak apa-apa," jawab Luna. "Apa kamu tidak ke kantor?" tanyanya megalihkan perhatian.
"Nanti saja," jawab Ethan. " Aku kan bos, tidak akan ada yang berani menghukumku jika berangkat telat," lanjutnya sembari memiringkan posisinya tepat menghadap ke perut Luna.
"Katamu, bos harus memberi contoh yang baik," ucap Luna sembari menyugar rambut Ethan.
"Sekarang aku akan menjadi bos yang bandel karena ingin selalu datang terlambat dan lebih cepat pulang, aku tidak bisa tidak melihatmu dalam waktu sehari pun," balas Ethan sembari menciumi perut Luna.
Luna tersenyum kecil merasakan bibir Ethan menyentuh permukaan perutnya. "Geli,"
"Aku selalu ingin bercinta jika terus bersamamu."
Luna terkekeh dan mencium kening Ethan. "Kamu sudah ketagihan."
"Iya, apa kamu tidak merasakan hal yang sama?" tanya Ethan sembari menatap Luna dari bawah.
"Tergantung situasi," jawab Luna dengan menyeringai pada Ethan.
"Menggemaskan." Ethan mencubit pipi Luna, lalu beranjak dari ranjang dan memakai handuk sebatas pinggang. Dia segera mandi, sedangkan Luna memakai bathrope lalu membereskan ranjang yang berantakan akibat ulahnya semalam dengan Ethan.
___
Viona menghampiri Edward yang sudah menunggunya di ruang tamu. Dia mengenakan jeans berwarna putih dipadu dengan blouse berwana pink dan membiarkan rambut panjangnya terurai rapi. wanita itu tampak cantik dan natural tetapi suaminya samasekali tidak tertarik.
"Ayo berangkat," ajak Viona sembari menatap Edward yang masih asik dengan ponselnya. Pria itu tidak menanggapinya, membuat dia berdecak kesal.
"Edward. Kita harus segera ke bandara sekarang!"
Edward menghela napas, lalu beranjak dari duduknya "Bersabarlah, kita tidak akan terlambat."
"Lagian kamu terlalu sibuk dengan ponselmu itu!" Viona melirik malas pada Edward yang kembali dengan sifat lamanya.
"Aku hanya menelpon Ethan tadi." Edward menyimpan ponselnya di saku.
"Kenapa telpon dia?" tanya Viona dengan tatapan menyelidik.
"Aku hanya memastikan dia mau ikut atau tidak," jawab Edward sembari berjalan keluar rumah dengan menyeret kopernya.
Viona mengikuti Edward sembari menatapnya penuh dengan perasaan benci. 'Kenapa harus mengajak Ethan? Jika dia ikut, Luna pasti akan ikut. Apa kamu ingin bermain di belakangku saat honeymoon? Dasar bajingan, aku tidak akan membiarkan wanita itu mengambilmu dariku!' batinnya geram.
___
Selama di mobil dalam perjalanan menuju bandara, Edward sesekali tersenyum licik seperti membayangkan sesuatu.
Viona yang menyadari tingkah suaminya aneh sejak semalam pun penasaran. 'Sebenarnya apa yang sudah kamu lakukan, kenapa kamu terlihat aneh dan sekarang malah senyum-senyum sendiri,' batinnya.
"Edward." Akhirnya Viona memanggil suaminya itu. Dia tidak tahan jika hanya terus diam dengan rasa penasaran.
"Hmm," sahut Edward sembari menatap pemandangan dari jendela mobil, dia tidak mengemudi karena sudah ada supir.
"Kenapa sejak tadi senyum-senyum?" tanya Viona dengan menaikkan alisnya.
"Aku merasa bahagia akhirnya ada waktu untuk liburan, ini juga dapat membuat kita semakin dekat," jawab Edward penuh dusta.
Viona tersenyum tipis lalu bertanya, "benarkah?"
"Tentu saja, aku telah merugi membiarkanmu menunggu untuk kucintai," jawab Edward sembari mengusap pipi Viona dengan jemarinya yang kokoh.
"Jangan berbohong, Edward. Jika kamu memang bahagia dan berniat belajar mencintaiku, kenapa tidak mengizinkanku mengandung anakmu?" Viona memberanikan diri membicarakan masalah sensitif itu.
Edward bergeming sejenak lalau berkata, "Aku ingin menikmati kebersamaan kita. jika kamu hamil, kita tidak akan sempat berlibur seperti ini. Contohnya Ethan, dia tidak bisa mengajak Luna untuk honeymoon karena sudah hamil."
"Jadi, mereka tidak ikut?" tanya Viona.
"Tidak," jawab Edward sembari menggeleng.
Senyum mengembang di bibir Viona, tampaknya dia merasa lega karena tidak akan merasa terganggu oleh siapapun ketika honeymoon nanti. Dia akan terus memanjakan Edward, membuatnya jatuh cinta dan tentu saja dia akan melupakan soal pil penunda kehamilan itu.
'Aku akan membuatmu menjadi milikku selamanya, kamu tidak akan bisa menceraikanku atau kembali bersama Luna. Biarkan dia bahagia bersama suaminya dan kamu bahagia bersamaku,' batin Viona dengan rona wajah bahagianya membayangkan Edward akan menjadi miliknya selamanya, bahkan memiliki anak bersamanya. Dia hanyalah wanita yang ingin dicintai dan hidup bahagia seperti pasangan-pasangan lainnya.