webnovel

Chapter 26 - Hak (bagian 2)

Tembok yang menahan serangan mereka tenggelam kembali kedalam tanah, kedua gadis berambut pirang itu menghentikan perkelahian mereka "Hentikan! Apa yang kalian lakukan!? Penggunaan sihir tanpa izin itu dilarang, kalian tahu itu kan?"

Kedua kubu itu menatap kearah kedua gadis itu, kubu berseragam biru yang dominasi oleh para bangsawan itu berkata dengan keras "Jangan ikut campur Nona Blouse! Ini urusan kami dengan mereka!" Ucap salah satu dari mereka sambil menunjuk kearah kubu yang memakai seragam berwarna putih yang di dominasi oleh kaum kelas bawah atau rakyat biasa.

"Nona Blouse! Mereka mengambil tempat latihan kami, kami diminta pergi oleh mereka, padahal kami lebih dulu dan sudah mendapat izin dari guru," Ucap salah satu dari mereka, kubu berseragam putih.

"Hah!? Bukankah sudah kami bilang? Kami juga mendapat izin dan perintah dari guru untuk melakukan praktek sihir di tempat ini!"

Mereka terus saling berbalas ucapan, saling membentak, mengacungkan berbagai jenis tongkat sihir yang mereka miliki, itu menunjukan bahwa mereka tidak segan untuk mengeluarkan sihir mereka dan menyerang satu sama lain.

"Aaaaaah! Ini pasti kalian mengikuti pengawal Keluarga Blouse itu kan!? Sampai kalian berani melawan kami! Seharusnya kalian menuruti kami! Kami adalah bangsawan! Drajat kami lebih tinggi daripada kalian!" Teriak seorang murid kelas bangsawan dengan keras.

Mendengar itu, tentu Cattalina dan Celica yang berada disana sedikit terpancing emosi karena Pengawal mereka ikut terbawa pertengkaran mereka, namun mereka juga merasa bersalah karena itu

"Iya! Pasti karena pengawal keluarga Blouse!"

"Betul itu!"

"Tunggu! Apa yang–. Eh?" Celica ingin membantah mereka, namun Cattalina menghentikannya dengan mengangkat tangan kanannya.

"Kami minta maaf atas apa yang sudah terjadi sebelumnya. Tapi, seharusnya kalian mengerti apa yang membuat mereka marah, kalian mengambil tempat mereka, itu yang membuat mereka marah. Aku yakin ada kesalahpahaman disini, Celica panggilkan guru,"

"Itu tidak perlu, Nona Blouse," Perkataan Cattalina dipotong oleh seorang lelaki yang berada dibelakang kubu bangsawan itu, sosok yang tinggi dan pakaian yang berbeda dari mereka.

"Guru Norman …," Cattalina tidak begitu senang dengan kedatangannya, sesekali ia mengerutkan dan menyipitkan matanya, lalu kembali seperti biasa.

"Apa yang dikatakan murid-muridku itu benar, Saya sudah memberi izin kepada mereka untuk memakai tempat ini. Jadi mereka tidaklah salah, tapi Aku ragu jika mereka juga memiliki izin yang sama," Ucap Guru Norman dengan raut wajah yang licik.

Tatapan Cattalina pun teralih kepada kubu rakyat biasa, mereka langsung membalas "Ka-Kami juga memiliki izin! Kemarin Guru Liyue juga meminta kami untuk berlatih disini sendiri karena sekarang dia ada urusan!"

"Kalau begitu, kalian tidak bisa latihan disini, karena guru Liyue sedang ada urusan pasti kalian hanya akan bermain-main, bukankah lebih baik kalian kembali ke kelas?" Ucapan yang merendahkan mereka itu tidak dapat mereka balas, mereka hanya terdiam, begitu juga dengan Cattalina.

Gadis yang sebelumnya terus menatap Teo pun maju kedepan, semua tatapan terarah kepadanya, ia membungkuk dengan tangan kanan di dada kirinya "Maafkan kami," Ucapnya.

"Hah? Apa yang kamu katakan, Elise!? Bukankah, kamu yang–."

"Oh jadi kamu yang memulai pertengkaran ini," Potong guru Norman sambil tersenyum licik saat tahu yang memulainya adalah gadis bernama Elise.

"Ya, maafkan Saya karena memulai ini semua. Tetapi, Saya melakukan ini karena Saya muak selalu diperlakukan tidak adil!" Ucapnya dengan lantang meskipun di depannya adalah seorang guru "Padahal Anda adalah seorang guru, tapi Anda tidak pernah memperlakukan murid Anda dengan adil!" Ucapnya lagi.

Ucapannya membuat wajah guru Norman kesal untuk sesaat, lalu ia kembali tersenyum licik "Oh? Jadi kamu berani melawan guru ya? Begitu ya, begitu ya. Kamu akan kena hukuman berat, Elise!" Balas Guru Norman dengan suara yang tidak kalah keras.

"Sekolah ini punya aturan khusus, dimana para guru harus mempelakukan murid bangsawan dan rakyat biasa itu sama, tapi Anda sama sekali tidak seperti itu," Elise semakin melawan ucapannya, keadaan semakin panas ketika Elise membuka suara, bahkan raut wajah guru Norman terlihat tidak dapat menahan amarahnya lagi.

"Ka-Kau! Kau nanti akan mendapat hukuman berat Elise! Tidak! Sekarang kau ku hukum! Element ice, ice spike!" Es keluar dari tanah, bentuknya bagaikan tombak runcing, es itu melesat hampir mengenai leher, dan diantara kedua kakinya sampai seragamnya sobek dan membuat luka gores di kaki dan tangannya, es itu terus bermunculan dari berbagai sisi sampai Elise tidak bisa menggerakkan tubuhnya.

"Hah!? Guru Norman! Apa yang Anda lakukan!?" Teriak Cattalina, ia langsung bergegas mendekati Elise.

"Jangan mendekatinya, Nona Blouse. Itu hukuman untuknya karena memulai pertengkaran, sesuai peraturan sekolah nomor 13, murid dilarang melakukan pentengkaran sesama selama murid masih di lingkungan sekolah. Lalu, dia juga melanggar peraturan sekolah yang melarang murid menggunakan sihir secara sembarangan," Ucap Guru Norman dengan tenang, meskipun raut wajah liciknya masih begitu terlihat jelas.

"Tapi murid Anda–."

"Ya tentu mereka akan mendapat hukuman juga, tetapi karena Elise membangkang, Aku menghukumnya disini agar menjadi pelajaran untuk kalian semua!" Ucapannya itu terdengar penuh rasa keadilan, tetapi tidak bagi Cattalina, Celica dan para murid rakyat bawah lainnya yang sudah sangat kesal dengan Guru Norman "Kalau begitu, kalian kembalilah. Nona Blouse, bukankah kalian juga ada kelas hari ini? Anda tidak ingin membolos kan?" Ucapnya lagi sambil tersenyum kepada mereka.

Meski begitu, tidak ada satupun dari mereka yang beranjak dari tempat mereka berdiri. Cattalina mengambil langkah, mendekati Guru Norman "Guru, bukankah Anda berlebihan,"

"Ada apa? Aku sudah bilang, Alasannya kan? Ini adalah hukuman, pelajaran untuk kalian semua," Guru Norman mengulangi ucapannya itu dengan raut wajah yang terlihat sudah mulai kesal.

"Maaf, tetapi Saya tidak menyukai cara Anda menghukum Elise. Setidaknya Anda harus mendengarkan apa yang mereka–."

"Apa Kamu juga akan membangkang?"

"Eh, tidak–."

"Kalau begitu kamu Juga, Cattalina! Karena Pengawalmu dan dirimu yang bersikap seperti pahlawan! Kau juga aku hukum!" Seakan kehilangan akal, Guru Norman tanpa segan mengeluarkan sihir yang sama kepada Cattalina

"Eh!?" Es yang sama pun keluar dari bawah kaki Cattalina, Kakinya tidak bisa digerakan karena terkejut kalau dirinya juga kena serangan guru Norman.

"Nona!" Dengan cepat, Zack yang datang dari kerumunan kubu rakyat biasa itu mendorong Cattalina sampai terpental cukup jauh "Ugh!"

"Zack!" Cattalina langsung berdiri meskipun lututnya terluka.

"Nona Cattalina, apa anda baik-baik saja?" Ucapnya, ia mencoba menggerakan tubuhnya, namun apa yang ia lakukan itu hanyalah sia-sia.

"Kamu baik-baik saja!?" Tanya Cattalina kepadanya.

"Saya baik-baik saja, jangan khawatir … Hanya saja terasa sedikit dingin," Jawabnya dengan santai dan senyuman diwajahnya, meskipun ia merasakan rasa sakit akibat luka gores dan rasa dingin, ia mencoba tetap tenang agar Tuannya itu tidak Khawatir.

"Guru! Anda keterlaluan! Fire," Cattalina mengeluarkan sihir Api dengan kedua tangannya dan mengarahkannya kearah es yang membuat Zack tidak bisa bergerak.

"Cih, Anda punya pengawal yang sangat hebat ya, Nona Blouse," Ucap Guru Norman, meskipun pujiannya itu tidak membuat kedua putri Blouse senang "Percuma saja, meskipun Anda memakai sihir api, es itu tidak akan meleleh. Karena yang Saya gunakan adalah es khusus agar tidak mudah meleleh dan hancur,"

Cattalina langsung menghentikan sihirnya dan terdiam, raut wajahnya pun terlihat sangat kesal dan ia mengepalkan tangannya begitu erat. Sementara itu, Celica terus menoleh ke arah kanan dan kirinya semenjak Zack datang menyelamatkan Kakaknya "Zack, dimana dia?" Tanyanya pelan kepada Zack.

"Dia? Oh, Dia akan segera datang," Zack menjawabnya dengan senyuman.

Melihatnya tersenyum begitu, Celica langsung menatapnya datar "menjijikan," Ucapnya begitu pelan, namun Zack dapat mendengarnya dan membuat senyumnya itu langsung menghilang.

Celica, melihat kembali kearah Kakaknya yang tubuhnya sudah bergetar hebat. Celica terkejut melihatnya, karena ia tidak biasanya melihat Kakaknya penuh emosi seperti itu "Tolong, hentikan," Ucapan Cattalina itu tidak disangka, bahkan sampai membuat murid dari golongan rakyat biasa terkejut bukan main. Karena, Cattalina yang biasanya selalu memberikan perlawanan, kini terdengar sudah menyerah "Saya mohon, hentikan," Ucapnya lagi.

"Oh? Tidak biasanya, bukankah Anda selalu membela mereka apapun yang terjadi?" Tanya Guru Norman terdengar mengejek apa yang Cattalina lakukan sekarang.

"Saya mohon, hentikan. Maafkan saya karena berbuat lancang kepada Anda," Ucap Cattalina, ia terdengar menahan suaranya "Saya tidak ingin ada yang terluka, karena itu, tolong hentikan," Ucapnya lagi.

Guru Norman hanya menatap Cattalina yang tengah menunduk dengan kedua tangannya yang mengepal begitu erat. Guru Norman tersenyum lebar bagaikan dirinya telah meraih kemenangan besar, ia tertawa pelan sampau menarik perhatin para muridnya "Baiklah, Kamu akan Saya maafkan, Cattalina. Tetapi sebelum itu …," Cattalina mengangkat kepalanya ketika mendengar Ucapan yang seolah memberinya harapan "Berlututlah," Harapannya seketika hancur.

Para murid bangsawan juga terkejut, namun setelahnya mereka langsung tertawa lepas. Bagi seorang bangsawan, sangat pantang bagi mereka untuk berlutut ke seseorang, pengecualian kepada keluarga kerajaan dan orang tua mereka. Karena itu, sangatlah hina bagi mereka ketika berlutut dihadapan orang lain.

Lalu dari kubu rakyat bawah, mereka terlihat merasa bersalah karena melibatkan Cattalina sampai sejauh ini dan mereka tidak dapat membantunya disaat Cattalina sedang terpojok.

Kaki Cattalina bergetar hebat, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Adiknya memegang lengannya dan menatapnya tajam, ia mengerti maksud darinya agar ia tidak berlutut, namun ketika melihat Elise yang sudah terlihat pucat membuatnya semakin ragu.

Elise melirik kearah Cattalina dengan tatapan yang lemah, ia tersenyum lemah kepada Cattalina, setelah itu dengan perlahan ia menggelengkan kepalanya, lalu berhenti bergerak. Cattalina merasakan sakit yang luar biasa di dadanya, meski Adiknya menahan, ia memaksakan dirinya untuk berlutut "Kakak!"

Cattalina dengan berat hati, ia perlahan berlutut. Raut wajahnnya terlihat begitu pasrah, namun dalam dirinya ia sudah siap menanggung akibatnya. Ia pun berlutut, namun tidak sepenuhnya begitu karena seseorang menahan dirinya dengan tangan di dadanya dan memegang pundak tirinya "Jangan pernah berlutut, Nona Cattalina," Suara yang tidak asing itu, entah kenapa membuatnya sedikit lega. Ia menoleh perlahan kebelakang, seorang pria dengan mantel putih tersenyum kepadanya "Anda adalah Bangsawan, setahu saya, seorang bangsawan tidak boleh sembarangan berlutut. Apakah disini berbeda?" Tubuhnya semakin bergetar ketika melihat wajahnya "Saya mohon, berdirilah, Nona Cattalina," Ucapnya lagi.

"Ti-Tidak, Jika Aku berdiri, Elise..." Teo tersenyum kepadanya, ia memaksa Cattalina untuk bangun lalu mengeluarkan pedangnya, kemudian ia melemparkan pedangnya dengan cepat kearah es yang mengurung Elise.

Pedangnya tertancap pada es itu, mengeluarkan aura berwarna merah gelap "A-Apa yang kau lakukan!?" Teriak Guru Norman dengan suara yang keras dan Teo hanya tersenyum kepadanya tanpa berkata apa-apa

*Crack* "Eh?" Suara retakan, membuat semua perhatian mereka melihat kearah pisau yang menancap itu. Es-nya, retak, semakin besar dan semakin besar, sampai akhirnya.

*Crank!* Es itu pecah dan membebaskan Elise dari kurungan itu "A-A-Apa!? Mustahil! Itu mustahil! Bagaimana bisa!?" Tentu, semua yang ada disana tidak percaya. Sihir kurungan es milik Guru Norman adalah sihir tingkat 5 yang tidak akan mudah dihancurkan dengan segala macam sihir dan benda, tidak heran jika dialah yang paling terkejut melihat es-nya dihancurkan.

"Anda adalah Guru Norman, kan?" Tanya Teo, ia melangkahkan kakinya mendekati Guru Norman yang wajahnya terlihat sangat marah "Saya membawa surat untuk Anda," Teo memberikan surat yang ia bawa kepada Guru Norman.

Dengan kasar ia mengambil surat itu dan membacanya "Ini … Begitu ya," Dalam sekejap, emosinya mereda setelah ia membaca itu, meskipun raut wajahnya masih terlihat marah ketika melihat kearah Teo. Untuk beberapa saat, ia terus memandangi Teo dengan tatapan tajam dan ia berkata "Anak-anak, mari kita pindah ke tempat lain,"

"Eh!?" Keputusannya itu menimbulkan pertanyan dan protes dari murid bangsawan "Ada apa guru!? Kenapa kita harus mengalah!?" Tanya Seorang murid dari kalangan bangsawan

"Diam! Mereka lah yang lebih dulu disini, ayo pindah ke tempat lain," Ucap Guru Norman lalu pergi tanpa berkata apa-apa lagi, meskipun murid-muridnya masih mengeluhkan dan memprotes apa yang ia putuskan itu.

Lalu dari kubu murid rakyat bawah, mereka hanya terdiam melihat apa yang terjadi, mereka menatapi kepergian para bangsawan itu dan menatapi seorang pria dengan mantel putih yang membuat para bangsawan itu pergi.

Teo berbalik dan berjalan mendekati mereka, untuk beberapa saat ia menghela nafasnya berat dan mengeluh dengan suara pelan "Entah kenapa, Aku merasa masalah terus menghampiriku dan semakin jauh dari tujuanku, menyebalkan,"

"Anda hebat sekali!"

"Uwa! Eh?" Beberapa murid mendekatinya, mereka terlihat begitu gembira, raut wajah mereka menunjukan kekaguman mereka kepada pria bermantel putih itu.

Sebagian kecil dari mereka membawa Elise masuk kedalam sekolah agar ia bisa dirawat dan sebagian besarnya mengerumuni Teo, untuk pertama kalinya ia dikerumuni seperti itu "Terima kasih! Berkat Anda, kami bisa melakukan praktik di sini!" Ucap seorang murid laki-laki dengan semangatnya.

"Eh? Aku tidak melakukan–."

"Apa yang Anda katakan? Sudah jelas Anda yang membuat mereka pergi, jangan merendah seperti itu!" Sahut seorang murid perempuan memotong perkataan Teo.

"Tidak, Aku hanya–."

"Anda benar-benar seperti yang dibicarakan!" Potong seorang murid lagi.

"Bicarakan!? Apa maksudmu!?" Semakin banyak murid yang mengurumuni Teo, semakin membuatnya kesulitan berbicara.

Sementara itu kedua Tuannya hanya menatapnya dari jauh, Celica berkata pelan "Dia langsung mencuri perhatian, hebat,"

"Maaf saya berkata seperti ini, tapi sepertinya Teo menjadi lebih populer daripada Nona Cattalina ya, ahahaha," Ucap Zack lalu tersenyum melihat keadaan rekannya itu yang terus dikerumuni.

Dan Cattalina, hanya tersenyum dan tertawa kecil karena merasa lega setelah apa yang terjadi "Teo!" Panggilnya, Teo menoleh kearahnya dan berjalan mendekatinya setelah kerumunan itu memberikan jalan untuk Teo "Terima kasih, berkatmu, murid-murid bangsawan itu bisa pindah," Ucap Cattalina sambil tersenyum.

"Ah tidak, saya hanya melakukan apa yang diperintahkan, itu saja" Ucap Teo sambil menggelengkan kepalanya dan mengibaskan tangannya dengan telapak tangan kearah Tuannya.

"Perintah?" Tanya Cattalina.

"Iya, Sebenarnya …," Teo pun menceritakan kemana ia sebelumnya dan apa yang ia lakukan.

Beberapa saat sebelumnya.

Teo dan Zack terkejut mendengar suara ledakan yang cukup keras itu, karena penasaran, mereka langsung bergegas ke tempat suara itu berasal.

Ketika sampai disana, mereka melihat kedua kubu yang tengah kelihatannya tengah berselisih. Zack mengerutkan keningnya dan menghela nafas, Teo pun bertanya untuk memastikan "Mereka itu bukannya murid-murid yang tadi, kan? Iya kan?"

"Ya, sepertinya mereka mengambil langkah seperti yang kau katakan," Jawab Zack dengan wajah yang terlihat sedikit khawatir.

"Eh, begitu ya. Itu bagus,"

"Apanya!? Kau tidak lihat mereka melawan bangsawan!? Bisa-bisa mereka terkena masalah besar kau tau!" Bentak Zack karena Teo malah mensyukuri hal itu, Teo hanya tertawa terpaksa menanggapi bentakan Zack itu "Jangan tertawa!" Bentaknya lagi.

"Waaa!" Suara teriakan terdengar dari arah murid-murid itu, sebuah ledakan kedua terdengar kembali, keadaan semakin kacau, mereka semua memegang tongkat sihir mereka masing-masing.

"Gawat, sepertinya mereka benar-benar serius melawan para bangsawan," Ucap Zack yang semakin khawatir dengan peraelisihan mereka.

"Para bangsawan juga melakukan hal yang sama, lihatlah dan–. Eh? Itu …," Dari kejauhan, Teo dan Zack terkejut dan Zack semakin khawatir, dikarenakan mereka melihat kedua gadis pirang yang tiba-tiba datang, tidak lain tidak bukan itu adalah Tuan mereka.

"Aaaaaaaaaaaah! Teo ini semakin gawat, kalau Nona Cattalina dan Nona Celica ikut campur, bisa-bisa masalah ini menjadi panjang!" Ucap Zack yang semakin panik

"Sepertinya Kau benar, jadi apa yang harus kita lakukan?" Tanya Teo terdengar seperti ia melemparkan masalah itu kepada Zack.

"Jangan tanya aku!"

"Kyaaa!" Suara teriakan lagi-lagi terdengar dari arah murid-murid itu. Zack dan Teo saling menatap dengan raut wajah yang serius. Mengerti maksud mereka satu sama lain, mereka pun mendekati mereka sedikit agar dapat melihat apa yang terjadi.

Sekilas, mereka melihat sesuatu yang mengkilat. Zack yang menyadarinya langsung mengerutkan keningnya dan menajamkan matanya dan ia pun dapat melihatnya "Astaga!" Ucap Zack saat melihat sesuatu yang mengkilat itu

"Ada apa, Zack?" Tanya Teo.

"Ini benar-benar gawat Teo! Sepertinya seseorang menggunakan teknik tingkat 5, disekolah ini hanya para guru lah yang bisa memakainya!"

"Tunggu sebentar, apa maksudmu? Para guru memakai sihir tingkat 5? Kepada siapa?"

"Lonjakan es, guru itu menggunakan sihir itu kepada seorang murid rakyat bawah, membuatnya tidak bisa bergerak … Itu … Guru itu, Guru Norman" Jelas Zack yang ia tidak percaya saat tau siapa Guru itu. Raut wajah khawatirnya berubah menjadi marah, tangannya mengepal begitu erat, begitu juga dengan giginya "Jika ini terus berlanjut, masalah ini pasti akan menjadi panjang," Ucapnya lagi yang membuat Teo terkejut bukan main.

Wajahnya langsung terlihat lelah mendengar ucapan Zack yang terakhir "Itu paling berbahaya, Aku tidak mau terlibat masalah lagi," Ucap Teo sambil memalingkan wajahnya dari Teo.

"Teo! Kau panggil Nona Theresa atau Pak Lutin, hanya mereka yang bisa menghentikan mereka!"

"Aku kan sudah bilang tidak mau kena masalah lagi!"

"Kau adalah pengawal keluarga Blouse! Jika tuanmu terkena masalah, maka pengawalnya harus melindunginya! Kau paham!?" Zack terlihat begitu serius menatap Teo tajam.

Meski Teo menunjukan penolakan, tetapi Zack terus menatap tajam dirinya. Ia memalingkan wajahnya untuk sesaat dan berkata "Baiklah! Aku akan memanggil mereka! Sialan!" Ia langsung berlari kearah bangunan sekolah dengan cepat.

"Kalau begitu aku–."

"Apa kamu juga akan membangkang?" Suara itu terdengar jelas oleh Zack dan ia sangat tidak menyukainya. Zack berjalan cepat mendekatinya "Kalau begitu kau juga!"

Suara yang keras itu, membuatnya langsung berlari cepat mendekati Tuannya "Nona Cattalina!"

Sementara itu, Teo di dalam bangunan sekolah berlarian kesana kemari mencari dimana ruang guru berada "Sialan! Inilah kenapa aku selalu membenci tempat yang luas!" Ia menarik perhatian para murid yang melihatnya lari kesana kemari karena mendengar langkah kakinya.

"Ah, Celica itu kemana sih? Lama sekali," Ucap Erica. Di dalam kelas, Erica terlihat sangat bosan menunggu kembalinya Celica yang tidak kunjung kembali.

"Bersabarlah, Erica. Mungkin Celica sedang ada urusan lain–."

"Baiklah ayo cari dia!" Ucap Erica tiba-tiba sangat bersemangat dan memotong perkataan Aria.

"Eh? Ya Aku bilang–."

"Sudahlah, ayo-ayo, kita pergi, guru juga sedang tidak ada jadi tidak apa-apa," Ucap Erica, ia semakin mempercepat langkah kakinya menuju tangga.

"Erica, pelan-pelan!"

"Jika pelan, kita akan terlambat ke kel–. A-Aah!" Kakinya terpeleset ketika menuruni tangga. Tangan Aria secara tidak sengaja dilepas olehnya dan Aria karena terkejut, ia tidak dapat meraih tangannya.

Namun, bukan kerasnya lantai yang ia rasakan. Erica merasakan sesuatu yang lebih lembut, ia merasakan kedua pundaknya di genggam begitu erat "Aduh-duh. Maaf, Apa Anda baik-baik saja?" Tanya orang itu. Matanya terpaku kepada mantel putih yang orang itu kenakan "Nona?" Panggilan itu menyadarkannya dan membuatnya langsung berdiri dengan wajah yang memerah semerah tomat.

"Erica! Kamu baik-baik saja?" Tanya Aria bergegas menuruni tangga.

"U-Um!"

"Eh?" Langkahnya sedikit melambat ketika melihat orang bermantel putih itu "Jika tidak salah, Anda adalah pengawal baru keluarga Blouse, iya kan?" Pertanyaan itu, membuat Erica terkejut bukan main, begitu juga dengan para murid yang ada di sekitar mereka. Semuanya menatap kearahnya.

"A-Ah, benar sekali, Nona …,"

"Aku Aria, Aria de Floude," Ucap Aria memperkenalkan dirinya.

"A-A-Aku, Aku E-Erika, Erika de Druzhel," Perkenalan diri Erika terdengar sangat gugup, bahkan ia sama sekali tidak bisa mengangkat wajahnya dan menatap Teo.

"Kalau begitu, Izinkan saya memperkenalkan diri, Nama Saya Teo, pengawal dari keluarga Blouse. Nona Erica, apa Anda baik-baik saja?" Tanya Teo yang membuat wajah Erica semakin memerah dan gugup ketika.

"A-A-Aku baik-baik saja, terima kasih," Jawabnya meskipun wajahnya masih terus di palingkan dari Teo.

"Begitu, Syukurlah," Teo tersenyum tulus. Erica melihat senyumannya itu membuatnya semakin memerah, perlahan ia mengambil langkah kecil dan bersembunyi dibalik Aria.

"Erica?" Dibelakangnya, Erica mencengkram lengan Aria dengan sangat kuat "Terima kasih karena menyelamatkan teman ku.

Apa Anda ingin menemui Nona Celica atau Nona Cattalina? Ah tapi mereka saat ini–."

"Ah tidak, Saya sedang mencari ruang guru. Tapi tempat ini terlalu luas, jadi Saya sebenarnya tidak tau harus kemana, ahahaha," Tawa Teo itu membuat Erica semakin mencengkram lengan Aria semakin erat.

"Aw! Erica, kamu ini kenapa?" Bisiknya sambil menoleh sedikit kebelakang "A-Ah maaf, Anda mencari ruang guru? Itu ada di lantai 4. Naiki tangga 2 kali, lalu berjalan ke lorong kiri. Nanti Anda bisa menemukan ruang guru,"

"Begitu ya, Terima kasih, kalau begitu Saya permisi. Nona Aria, Nona Erica." Teo membungkuk dengan telapak tangan kanannya ditaruh di dada kirinya sebagai tanda pemberian penghormatan kepada kedua bangsawan itu dan lalu ia pun berjalan menaiki tangga.

Semakin jauh Teo menaiki tangga, Erica yang sedari tadi bersembunyi dibelakang Aria memunculkan kepalanya dan mengintip Teo yang sudah menaiki tangga, ia tiba-tiba menghela nafas lega "Aria, jangan-jangan … Kamu …,"

"Haaa-Haaah!? Apa yang kamu katakan!? Aku baik-baik saja!" Erica nampak salah tingkah dengan Ucapan Aria yang belum selesai dan wajah merahnya belum menghilang "Su-Sudahlah! A-Ayo kita kembali ke kelas!" Ucapnya lagi lalu menaiki tangga dengan terburu-buru.

"Tunggu, bukannya Kamu mau mencari Celica?"

"Tidak jadi!" Jawab Erica tanpa menghentikan langkahnya. Ia terus menunduk dan tidak bisa melupakan apa yang barusan terjadi, senyuman Teo terus terbayang dikepalanya, suaranya terus bergema di telinganya dan wajahnya semakin memerah karena itu "Uuuh, Apa-apaan itu tadi!?"

Di lantai 4, Teo berjalan menelusuri lorong sebelah kiri seperti apa yang dikatakan Aria. Namun meskipun ia sudah berjalan cukup jauh, ia masih saja melihat murid di dalam ruangan yang ada "Astaga, apa benar kesini arahnya?" Keluhnya dan mempercepat langkahnya lagi.

Menoleh ke kiri dan kanannya, mencari ruangan yang di dalamnya ada seorang guru. Tiba-tiba pintu ruangan yang ada di depannya tiba-tiba terbuka "Ah!"

"Wa-Waaah!" Seorang perempuan menabraknya lagi dan jatuh di depannya meskipun ia juga dapat menangkapnya seperti sebelumnya. Perempuan itu memakai seragam yang berbeda dari biasanya dan perempuan itu, Teo pernah bertemu dengannya.

Wajah perempuan itu memerah seperti Erica sebelumnya "Maaf, Anda baik-baik saja?" Tanya Teo kepadanya.

Perempuan itu langsung berdiri dan merapihkan rambut sampai pakaiannya sambil berkata "Y-Ya, Terima kasih," Ucapnya dengan pandangannya yang terus menunduk.

"Begitu, syukurlah. Anda, seorang guru kan?" Tanya Teo kepadanya.

"A-Ah, benar na-nama ku Maria, A-Aku guru disini dan Aku masih lajang!" Jawaban yang tidak diperlukan di akhir itu membuat Teo tersenyum dengan terpaksa.

"Be-Begitu ya," Respon Teo dengan singkat.

Mata Guru Maria pun melirik keatas dan melihat wajah Teo yang tersenyum meskipun terlihat kebingungan "Ka-Kamu pengawal keluarga Blouse kan?"

"Ah iya, sebenarnya saya mencari Guru Theresa, Apa anda tau dimana beliau?" Tanya Teo dengan sangat sopan.

Meski pertanyaanya sangat sopan, tapi wajahnya terlihat begitu kesal kepadanya "Cih," Suara decih itu terdengar begitu jelas saat Guru Maria memasang wajah kesalnya.

"Guru Maria?"

"Eh? Ah ada urusan apa Kamu mencarinya?" Tanya Guru Maria sambil tersenyum kepada Teo, walaupun ucapannya terdengar sedang kesal.

"Saya punya urusan mendesak dengan beliau, apa anda dapat memberitahu dimana beliau berada?" Tanya Teo.

"Begitu ya, biasanya dia ada ruangan Pak Lutin,"

"Benarkah? Dimana ruangan beliau?"

"Lantai paling atas," Jawaban Guru Maria membuatnya mematung tanpa berkata apa-apa lagi.

'Lantai teratas? Mana mungkin Aku kesana dengan kedua kaki ku kan?' Keluhnya dalam hati, Bahkan raut wajahnya berubah menjadi datar.

Melihat wajahnya begitu, Guru Maria menjadi tidak tega. Ia pun akhirnya memutuskan meskipun melanggar aturan "A-Aku bisa membantumu ji-jika Kamu mau, dengan teleportasi,"

"Sungguh!?" Teo terlihat langsung bersemangat mendengar ucapannya.

Guru maria mengangguk pelan sebagai respon dan Teo, ia langsung membungkukan sedikit tubuhnya dengan telapak tangan kanan di dada kirinya "Terima kasih," Ucapnya.

Wajah Guru Maria memerah saat mendapat ucapan terima kasih itu "Be-Berdirilah dibelakang ku," Ucapnya dan Teo pun langsung menurutinya berdiri dibelakang. Guru Norman menarik nafas panjang, lalu merapalkan mantra dengan suara yang sangat pelan "Teleport!" Ucapnya yang kali ini terdengar sedikit keras dan dalam sekejap, mereka pindah kedalam sebuah ruangan dengan Theresa yang sedang duduk diatas meja sambil membaca selembar kertas.

"Huh? Maria, Tunggu! bukaannya ada larangan untuk teleport ke ruangan ini?" Tegur Theresa menatapnya dengan sinis.

"Aku tahu jangan menatapku seperti itu. Pengawal keluarga Blouse ini mencarimu," Ucap Maria dengan raut wajahnya yang terlihat semakin marah.

Teo berjalan melewati Maria, lalu ia sedikit membungkuk dengan telapak tangan kanan di dada kirinya "Oh Teo! Kau sudah sehat rupanya, maaf aku tidak sempat menjengukmu," Ucapnya sambil tersenyum kepadanya. Ia pun menaruh kertas yang ia baca sebelumnya diatas meja lalu mendekati Teo

"Ah tidak apa-apa,"

"Jadi, ada apa kamu kemari?"

"Maaf menganggu, Saya ingin memberitahu. Dibawah, murid rakyat bawah dan murid bangsawan bertengkar, sepertinya mereka berebut tempat," Ucap Teo.

"Lagi? Mereka tidak pernah bosan ya, entah sudah berapa kali mereka bertengkar. Katakan saja kepada mereka, Aku akan kebawah dan menghukum mereka semua jika mereka tidak segera kembali ke kelas. Maria, Kau yang bicara kepada mereka," Ucap Theresa terdengar malas saat menanggapi pertengkaran antara bangsawan dan rakyat bawah.

"Aku?"

"Tunggu sebentar! Kau itu guru kan?" Gaya bicara Teo berubah dalam seketika ketika "Kau harus memisahkan mereka, apa-apaan sikapmu itu," Ucap Teo terdengar marah.

"Aku mengerti, bukannya tidak mau. Hanya saja ada hal lain yang harus aku urus, dan itu bukan sekali dua kali. Biar Maria saja yang urus itu," Ucapnya sambil tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali.

"Tapi ada seorang guru yang membekukan murid rakyat bawah!" Ucapan Teo yang cukup keras itu membuat mereka terdiam

Theresa mengerutkan keningnya mendengar itu "Begitu ya. Orang itu benar-benar bodoh rupanya," Ucap Theresa entah ditujukkan kepada siapa. Theresa mengambil kertas berwarna coklat emas dan pena, lalu menulis sesuatu diatas kertas itu. Setelahnya ia langsung menggulung kertas itu dan mengikar bagian tengah dengan pita merah yang punya semacam pin ditengahnya "Berikan ini kepada guru itu, orang itu akan pergi," Ucap Theresa.

"Lalu kau?"

"Sudah kubilang, Aku ada urusan yang lebih penting."

"Apa lebih penting dari murid-muridmu?" Pertanyaan Teo membuatnya terdiam sesaat. Dengan wajahnya yang menghadap jendela Guru Theresa menganggukan kepalanya.

Melihat jawabannya benar-benar membuat Teo sedikit tidak tahan dengannya. Meski begitu ia mencoba untuk tenang walau di dalam dirinya ia ingin memukul wajah wanita itu "Begitu, maaf mengganggu waktu Anda, saya permisi," Ucap Teo lalu berbalik.

"Ah tunggu! Teo kemari kan pedang mu," Ucap Theresa.

"Untuk apa?" Tanya Teo terdengar dingin.

"Sudahlah kemari kan pedang," Ucap Theresa lagi dan Teo pun menurutinya memberikan pedang itu kepadanya.

Theresa membawa pedang Teo keatas meja, matanya terpejam dan telapak tangan kanannya diatas pedang itu. Tak lama kemudian pedang itu memancarkan cahaya merah pada besi pedang itu "Tancapkan pedang ini pada es itu dengan begitu kau bisa menghancurkan es-nya. Lalu ini hanya bisa digunakan sekali, jadi hati-hati menggunakannya. Maria, antar dia," Ucapnya lalu memberikan pedang itu kembali kepada Teo.

"Aku tau. Te-Teo, berdiri dibelakang ku," Ucap Maria. Saat Teo mendekatinya, wajahnya perlahan memerah kembali dan Theresa menyadari warna wajahnya itu.

"Wah, Maria apa kamu demam?" Theresa bertanya sambil menggodanya dengan senyuman jahil.

Wajah Maria semakin memerah karena digoda oleh Theresa "A-Apa yang kau katakan! Ah terserah, Teleport!" Lalu mereka pun berpindah tempat.

***

"Jadi kurang lebih begitu," Ucap Teo mengakhiri cerita singkatnya itu. Teo menoleh singkat kearah rekannya, lalu ia pun tersenyum penuh arti kepadanya "Seharusnya, kalian berterima kasih kepada Zack. Dia yang memerintahkan ku untuk memanggil Guru Theresa,"

"Oh benar! Dia juga yang menyelamatkan Nona Cattalina!"

"Benar!" Dalam sesaat mereka langsung mengelilingi Zack dan berterima kasih kepadanya.

Zack tidak dapat membalas ucapan mereka satu persatu karena begitu banyak murid yang mengerumuninya dan Teo hanya tertawa kecil melihatnya. Teo menghela nafas lega karena ia tidak terlibat terlalu dalam dengan perkelahian itu "Nona Cattalina?" Panggilnya saat ia menyadari kalau Tuannya itu terus menatapinya.

"Terima kasih," Ucap Cattalina sambil tersenyum kepadanya.

Teo terdiam sesaat melihat wajahnya yang tersenyum itu, ia dapat melihat genangan air mata di pelupuk matanya "Apa yang anda katakan, saya tidak melakukan apapun," Ucapnya lalu tersenyum lebar kepadanya.

Mereka menoleh kembali kearah kerumunan yang mengerumuni Zack. Wajah yang sebelumnya sangat murung itu berubah menjadi senyuman lebar, melihat mereka membuat Cattalina merasa begitu lega, meskipun ia merasa gagal.

"Umm … Teo," Panggil Zack dari kejauhan "Bisakah kau membebaskan ku juga? Rasanya sudah mulai dingin sekali disini, ahahaha,"

"Ah, maaf. Aku tidak bisa melakukannya, yang tadi itu bukan kemampuan pedang ku," Ucap Teo dengan sangat santai.

"Tunggu, maksudmu-."

"Pedang ku sebelumnya diberi sihir oleh Guru Theresa, beliau bilang hanya bisa digunakan satu kali … Jadi maaf," Ucap Teo sambil merapatkan kedua telapak tangannya dengan wajah tanpa rasa bersalah.

"Te-Teo, kau bercanda kan?"

"Aku serius,"

"Terus aku bagaimana!"

Setelah kepanikan Zack yang tidak bisa membebaskan dirinya dari es itu, akhirnya seorang murid memanggil Guru Theresa lagi untuk membebaskan Zack.

To be continue

Chương tiếp theo