Di dalam hutan, Lily dan Anna terduduk mencemaskan kondisi Herman yang kesadarannya sedang terpisah dari tubuhnya. Lalu dalam hitungan beberapa detik...
Lily yang menyadari suatu serangan menerjang segera mengambil inisiatif untuk menamengi Anna. Namun naas, sinar hitam hijau kebiru-biruan sang ular naga menerjang cepat dan berhasil menciptakan lubang di bahu Lily, memotong bahunya dan menjatuhkan lengan langsing itu.
Dengan sebelah lengan yang biasanya memegang payung itu telah terputus dan tak henti-hentinya mengeluarkan darah, Lily tetap bertahan untuk berdiri dan menangkis tembakan demi tembakan yang di berikan sang ular naga.
Herman yang kembali sadar segera bergegas menuju Lily dan mengalirkan darahnya ke luka Lily. Lalu Herman segera menutup luka di lengannya itu.
Tapi lengan yang telah terputus hingga ke bahu itu tak bisa Herman tumbuhkan kembali. Napas Lily pun sudah semakin berat, selagi terus merentangkan tangannya ke depan untuk mengumpulkan kupu-kupu apinya dalam bentuk perisai yang berputar.
"Lily, sudah hentikan! Kau akan mati kalau terus begini!!"
Wajah khawatir itu tak bisa Herman sembunyikan lagi, melihat wanita yang ia cinta berjuang mati-matian melindungi sang putri dari tembakan sinar hitam hijau kebiru-biruan sang naga.
"Nn. Lily sudah hentikan, ayo kita kabur dari sini kalau tidak kau bisa mati Nn.!!"
Anna terus menangisi Lily selagi memegang gaunnya dari belakang, namun Lily tak menggubrisnya dan terus memfokuskan diri untuk menciptakan tameng-tameng kupu-kupu api baru untuk menangkis tembakan sinar sang naga yang terus menghancurkan tameng kupu-kupu yang telah tercipta.
Herman terus berusaha menyembuhkannya dengan anugrah darahnya, namun itu semua tak cukup. Tembakan sang naga yang begitu kuat, sedikit demi sedikit mulai melubangi tubuh Lily yang terus berdiri.
Namun, dengan segenap tenaga ia terus mengangkat tangannya ke depan dan berjuang keras menangkis puluhan tembakan itu. Meski pandangannya tak lagi jelas dan mulai berkunang-kunang, dan darah mulai meluap dari mulutnya.
"Uhuk!! Bguahh..., Herman... kau kah itu?"
Kali ini air mata tak lagi dapat ia tahan, melihat kondisi wanita yang ia cinta itu memanggilnya.
"Hick... Hick..., tentu saja ini aku! Apa yang kau pikirkan hah? ayo kita segera lari dari sini, makhluk itu tak mungkin dapat kita kalahkan!!"
Lily yang terus berjuang menahan tembakan-tembakan itu kelihatannya kali ini sudah kehilangan delapan puluh persen pengelihatannya, dan hanya bisa mendengar suara di sekitarnya saja. Lily yang dalam keadaan seperti itu membersitkan senyum di bibirnya, membuat Herman bertanya-tanya apa maksud senyuman itu. Lalu ia mulai berkata...
"Herman, dengar! Bawalah putri lari dari sini selagi aku memperlambat gerak mereka"
"Bicara apa kau ini!! mana mungkin aku meninggalkan mu!!"
"Herman!!... kau bisa melihatnya kan, tidak mungkin kita dapat kabur dari sini kalau tak ada yang menghadang mereka. Dan kau, hanya kau yang dapat aku percayakan saat ini, jadi ku mohon... kalau saja putri bisa kabur dari sini... penjajahan VOC mungkin dapat di hentikan, perjanjian iblis mungkin dapat di putuskan... untuk itu ku mohon kali ini saja..."
Air mata Herman semakin deras mengalir, kata-kata tak mampu lagi ia keluarkan. Bimbang dan keputusasaan menghantuinya dengan hebat. Berat baginya, namun saat ia melihat Anna yang menangis luar biasa mengkhawatirkan Lily, jawaban yang tak ia suka itu menjadi bulat di hatinya. Tertunduk ia membalas permohonan Lily.
"Baik..., tapi asal kau tahu ... aku tak bisa hidup tanpa mu, tahu!"
Tangisan yang menyakitkan itu ia tahan, di punggung wanita yang ia cintai itu. Herman menahan tangisan hebat yang amat menyakitkan itu dengan gerit giginya.
Segera pun Herman menggendong Anna yang merontak tak terima untuk meninggalkan Lily. Lalu saat mereka hendak berlari suara manis terakhir Lily menghentikan langkah Herman.
"Herman..., aku juga mencintai mu."
Senyum terakhir itu, terhias di wajah Lily yang menoleh kebelakang untuk mengantar kepergian Herman dan Anna.
"NONA LILYYYY!!!!!!!"
Tangan Anna berusaha meraihnya, namun jarak antara mereka semakin jauh. Bersama dengan air mata yang tak berhenti menetes, berbagai kenangan indah mengalir di kepala Herman.
Saat ia pertama kali bertemu wanita berwajah datar dengan aura yang kelam itu, saat wanita itu pertama kali tertawa melihat kekonyolannya bersama Akno, saat ia menyatakan perasaannya pada wanita itu. Lalu saat-saat terakhir yang baru saja terjadi itu, satu senyum indah di ujung bibir Lily yang tak akan pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya itu.
Herman berlari dan terus berlari menahan hantaman kekecewaan dan rasa hendak kehilangan di dalam hatinya.
§
Lily menarik napasnya setelah melepas kepergian Herman yang harus menyelamatkan Anna sang putri esok. Lalu dengan membulatkan tekadnya, bibirnya mulai bergerak.
"Pacta..."
Seketika dua buah sayap kupu-kupu kuning kemerah-merahan mengembang dari punggung Lily. Juga pada iris matanya terlihat pola kupu-kupu api yang menyala seakan memberikan cahaya baru bagi mata Lily yang telah kehilangan cahaya untuk melihat itu.
Di seberang, sang ular naga yang mulai mencium bahwa targetnya mulai menjauh segera merubah pola serangannya. Selagi mulai merambat dengan ke empat kakinya, mulut sang ular naga itu terbuka dengan sangat lebar.
Lily yang membuka otoritas perjanjiannya kali ini bisa melihat lagi dengan merasakan suhu di sekitarnya. Namun kali ini sesuatu yang lebih dari panas segera terlihat di sensor matanya.
Ular naga yang merambat semakin dekat itu membuka mulutnya dan mulai mengumpulkan cahaya-cahaya hitam yang terlihat bersuhu amat tinggi. Namun, bukan dengan menembakannya seperti garis lurus, kali ini sang ular naga itu memusatkan energi itu pada satu titik hingga titik itu membesar seperti bola hitam.
Jarak mereka semakin dekat, ular naga itu bermaksud menghantamkan bola hitam itu bersamaan dengan dirinya. Namun Lily tak gentar, dengan segenap kekuatan-kekuatan ia teriakan seluruh dirinya.
"HYAAAAAAAAAA!!!!!"
Suaranya bukanlah tipe suara yang bulat ataupun berat yang terkesan maskulin bagi ukuran wanita, melainkan tipe suara manis dan anggun yang melambangkan seorang gadis yang lembut. Namun siapapun yang mendengar teriakannya malam itu pasti akan tahu, seberapa besar perjuangan yang sedang di keluarkan gadis itu.
Ribuan kupu-kupu api terus berkumpul menangkis bola hitam sang ular naga. Pepohonan disekitarnya pun mulai terkikis rata tak berbekas. Tangan Lily mulai bergetar, dan kakinya mulai mencapai batas, darahnya pun sudah hampir habis ia muntahkan.
Lalu tepat di saat-saat terakhir itu.
Seluruh tubuh Lily menguning terang bagaikan bara api yang menyala semakin terang, bersama ribuan kupu-kupu yang melingkupinya semakin kencang dengan terbang berputar.
Bhaam!!
Kupu-kupu kuning kemerah-merahan raksasa terlihat mengepakan sayapnya, mendorong sang ular naga dan menghempaskannya hingga ia terlempar ke tempat awalnya.
Cahaya dari kupu-kupu itu sangat menyilaukan, dan sesaat mengalihkan seluruh perhatian setiap insan yang tersinari olehnya.
Kupu-kupu yang bersinar paling terang dari antara bintang-bintang malam Batavia. Bersamaan dengan cahaya itu tubuh Lily lenyap membumbung, membara bersama api ribuan kupu-kupu yang menyala.
§
"Aaa...ah, mengecewakan... bagaimana bisa ular naga itu kalah dengan gadis sekarat hah? jawab Barbatos!"
"Haah!! Jangan tanya aku bodoh, kau yang lebih tahu bukan! Bisa-bisanya kau tanyakan itu pada ku, hah!!"
Mesphito masih melayang dan menahan para petarung dengan tekanan tak terlihatnya selagi menjatuhkan air mata dan menahan rasa berkabung di hati mereka. Namun dimata Mesphito, sebuah cahaya terang yang baru saja terjadi itu, sungguh tak berarti apa-apa bagi sang iblis.
Lalu, selagi mengembalikan fokusnya pada para petarung yang mengerang kesakitan, Mesphitopheles berkata dengan nada yang sedikit marah.
"Lakukan sesuatu Barbatos! Jangan biarkan gadis itu pergi dari si ular naga bayi itu!"
"Haaah, diam berengsek jangan seenaknya kau memerintahku, tak bisakah kau lihat!? Tak seperti mu yang memakai tubuh manusia, kali ini aku hanya mendapat tubuh kuda, berengsek!! Berengsek, berengsek, berengsek, berengsek!!"
Kendati marah, namun Barbatos yang terperangkap dalam tubuh kuda itu mulai berjalan dan kemudian segera berlari, seakan mematuhi perintah Mesphito meskipun mulutnya tak henti-henti menghujat selagi berlari mengejar Herman.
§
Selagi menahan rasa sesak di dadanya Herman terus memaksakan dirinya berlari. Sambil menggendong Anna yang masih meronta-ronta di lengannya Herman tak berhenti lari sejauh mungkin dari sang ular naga dan para iblis itu.
Satu hal telah dipercayakan padanya oleh sang wanita tercinta, itulah yang masih menguatkan kakinya untuk berlari. Tentang harapan yang tersembunyi dalam seorang gadis bernama Anna itu, sembari menahan isak tangisnya dalam dada, Herman kerahkan sisa-sisa kekuatannya untuk kabur sejauh mungkin, pergi sebisa mungkin.
Namun, segera ia mendengar suara sepatu kuda mengejarnya. Tak salah lagi itu sang iblis yang merasuk dalam tubuh seekor kuda tadi!
Tanpa berpaling memastikannya Herman segera mempercepat larinya, namun suara tapak sepatu kuda itu semakin dekat terdengar dan bersamaan dengan itu ronta Anna juga berubah menjadi teriakan histeris ketakutan, melihat sosok kuda ganas yang mengejarnya.
Semakin dekat-semakin dekat dan akhirnya.
"Mau lari kemana kau mangsa empuk, hiiieeee!!!"
Tawa khas kuda mengagetkan Herman tepat dari samping wajahnya.
Ctak! Clap!!
Serangan itu tak dapat Herman hindari, gigitan tajam sang kuda tepat pada betis Herman.
Berguling Herman dan Anna terjatuh, dibawah pohon rindang yang terhindar dari tembakan sinar hitam hijau kebiru-biruan sang ular naga, Herman merangkak mendekati Anna.
"Kress... Kress... Kresss... Blueh! Sialan, daging apa itu, sungguh berlendir, kenyal dan menjijikan!!"
Sang kuda memuntahkan betis Herman dari mulutnya dengan wajah seperti seorang gourmet yang kecewa dengan santapannya. Betis itu hancur tak berbentuk lagi, namun bagaikan sebuah jeli kenyal, darah merah Herman berusaha terus menyatukannya dan menariknya kembali ke tubuh utamanya bersama kaki bagian bawah yang juga terlepas akibat gigitan sang kuda.
"Hmm..., jadi ini anugrah darah yang katanya bisa membuat seseorang menghindari kematian secara terus-menerus?"
Sang kuda berjalan mendekati tubuh utama Herman selagi memperhatikan betis hancur yang kembali menyatu oleh darah-darah merah Herman.
"Akh!! uhk... ahrrrrrgh! Larilah ... putri ... larilah sejauh mungkin ... kumohon selamatkanlah diri mu, putri!!!"
Herman memohon selagi merangkak kesakitan di tanah, berusaha menggapai Anna yang terkapar di tanah tak sadarkan diri.
"Hm...? ini, aku punya ide menarik! ... bagaimana ... maukah kau mencobanya?"
Senyum menyeringai terlukis di wajah lonjong sang kuda, meninggalkan ingatan horor bagi Herman yang memandangnya sejenak sambil terbelalak.
"HIIIEEEE!!!"
Segera sang kuda mengangkat kedua kakinya dan menginjakannya tepat ke tengkorak Herman. Serpihan tulang dan berbagai organ lain tersebar kemana-mana. Tetapi, tak lama kemudian semuanya segera dikumpulkan lagi oleh darah merah kentalnya dan tepat saat organ itu terkumpul kembali dan hendak menyembuhkan diri, bersama teriakan khas sang kuda lagi-lagi kakinya ia injakan dan menghancurkan organ-organ itu.
Berkali-kali selagi terus berusaha menyembuhkan diri sang kuda menyiksanya dengan rasa sakit kematian yang tiada terkira. Tawa sang kuda membahana menikmati permainan yang ia mainkan selagi mengerahkan hantaman demi hantaman keseluruh anggota tubuh Herman.
Dan Anna terbangun...
Dimatanya terlihat sang kuda yang menyiksa Herman yang tak bisa mati, air matanya mengalir bersama teriak histerisnya.
"TIDAAAAAAAAAAAAAAAAK!!!!! HENTIKAN, HENTIKAN, TOLONG HENTIKAN INI!!!! KUMOHON HENTIKANLAH INI!!! TUAN HERMAAAAAAAN!!!!!"
Namun teriak histeris itu tak menghentikan sang kuda, siksaan itu terus terjadi tepat di depan mata Anna yang hanya bisa diam tergoncang di tempatnya.
Layaknya seseorang yang membuat adonan roti, sang kuda kegirangan menghancurkan tubuh Herman. Namun, itu semua tak mematahkan semangat juang Herman.
Perlahan gumpalan darah yang itu terus mengumpul dan berusaha berdiri, meskipun organ-organnya belum kembali dengan sempurna.Tak tahan Anna melihat itu, membuatnya jatuh pada keputusasaan.
"Hick... hick... sudah hentikan, hentikan Tn. Herman! Mengapa kau begitu berjuangnya, hanya demi seorang gadis seperti aku?..."
Mendengar itu sang kuda berhenti, lalu berjalan mendekati Anna.
"Heeeee...? Jadi, kau masih tak dapat mengingatnya? Jadi, mereka tak mengatakannya pada mu?"
"Hentikan, jangan dengar perkataan iblis itu putri!"
Mulut Herman yang baru saja kembali terbentuk berusaha keras menggapai Anna dengan suaranya.
"Haa...?"
Anna terdiam dari emosinya, matanya kaku mendengar kata-kata sang iblis.
"Sungguh??... Putri sang raja sunda kelapa, sang anak perempuan Pangeran Jaya Karta, Anna Ayu Pembayun?"
Benar-benar membeku Anna mendengarnya, identitas yang tak bisa ia ingat selama ini. Begitu saja dibuka oleh sang iblis yang notabene ancaman baginya. Namun itu belum berakhir, selagi berjalan santai sang iblis meneruskan penjelasannya.
"Sang putri yang dikorbankan untuk menerima kutukan, keluarga yang mati ditinggalkannya, ratusan rakyat yang mati dikorbankan karenanya, dan kerajaan yang hancur hanya demi memperpanjang sedikit kehidupannya..."
Entah harus terguncang dan hancur seperti apa lagi Anna saat mendengar semua itu, matanya benar-benar kosong dan pikirannya tak bisa berjalan lagi. Bagaikan dipukul tepat pada otak bagian belakangnya, seluruh tubuhnya lemas layaknya tak bernyawa lagi. Paru-parunya pun enggan memompa untuk kelangsungan hidupnya meskipun udara itu masih berembus di dadanya dengan pelan.
"TIDAK PUTRI, TIDAK SEMUA ITU BENAR! JANGAN PERCAYA HASUTAN IBLIS ITU!! PUTRIIII!!!"
Herman yang sudah berhasil mengembalikan kepalanya dan delapan puluh persen dari tubuhnya mencoba menggapai Anna lagi dengan teriakannya. Namun Anna tak lagi merespon, wajahnya hanya terdiam bagai tak bernyawa.
"Cih!! Masih saja gumpalan daging itu berbicara, namun itu tak penting lagi karena pemeran utama dalam panggung ini telah tiba!"
Berjarak hanya beberapa puluh meter, sang ular naga terlihat berlari kegirangan seperti seekor anjing yang mendapatkan tulangnya.
Lalu, sampailah sang ular naga di depan Anna, napasnya berhembus meniup wajah Anna. Namun Anna sudah tak ada respon lagi.
Sang naga pun tak membuang banyak waktu, dengan segera ia buka mulutnya lebar-lebar dan segera menerjang.
"PUTRIIII!!!!!"
Clap!!
§
Angin malam berembus meniup dedaunan yang rontok dari pepohonan yang tersapu tembakan sinar sang ular naga. Sang iblis masih berdiri dengan keempat kakinya, melihat sang ular naga yang telah mengatupkan gigitannya.
"Heiii! Apa lagi ini?"
Bukannya tubuh Anna, ular naga itu malahan menggigit tubuhnya sendiri dan berguling di tanah selagi berdarah-darah menggigit tubuhnya.
"HOI, MESPHITO!! KENAPA NAGA MELAKUKAN HAL ANEH??"
Teriak Barbatos pada sosok Mesphitopheles yang masih menahan kelima petarung pitung pada tembok besar Kastil Batavia. Mesphitopheles pun menoleh kearah Barbatos.
"HAAAAH, APA YANG KAU KATAKAN??"
"KUBILANG, KENAPA NAGA MU MELAKUKAN HAL AN..."
Slash! Twissst!!!
Pandangan Barbatos seketika berputar di udara, seakan dunia mengelilinginya pandangannya berputar dan menghantam tanah.
"Rupanya aku terlambat..."
Sesosok pria mengenakan baju batik khas kebesaran tanah jawa berjalan melewati pandangan Barbatos selagi menggenggam sebuah keris di tangannya.
Berhenti di depan Anna dan bersimpu pada salah satu lututnya, kemudia tangan sosok itu menyentuh lembut pipi Anna.
"Anna, tahukah kau kalau arti dari nama mu itu adalah 'harapan'?"
Seperti tersentak, mendengar kata-kata itu kesadaran Anna perlahan kembali sedikit demi sedikit seraya mendengar alunan kata-kata sang pria.
"Aku mengenal ayah mu, seorang raja yang gagah berani dan penuh kasih sayang Pangeran Jaya Karta. Dan bagi seorang raja yang gagah berani dan penuh kasih sayang itu, kau putrinya adalah harapan baginya dan juga bagi seluruh rakyatnya."
Cahaya kembali ke mata Anna, wajahnya yang tadi terguncang perlahan melembut mendengar perkataan sosok itu. Anna pun mulai mengangkat wajahnya dan ia bertanya.
"Siapakah gerangan dirimu Tuan?"
Pelan namun tegas sosok itu menjawab.
"Nama ku Rangsang, aku Raja Mataram"
Mesphito yang melihat munculnya sosok itu segera terperangah.
"Sial, kenapa Sultan Agung ada disini!! BARBATOS KITA MUNDUR!! JANGAN BANYAK BERTANYA DAN CEPATLAH MUNDUR!!"
"HAH?? cih...!!"
Seketika itu tubuh yang dipakai kedua iblis itu terbakar hangus, menghitam hingga lapuk seperti lumpur yang terbakar dan kedua iblis itu menghilang dari sana.
Kembali berdiri, sang sultan agung berjalan mendekati si ular naga yang menggeliat di tanah selagi menggigit tubuhnya hingga berdarah-darah.
"Hmm... para iblis itu tak menyadari rasa kasih yang tersisa di jiwa ini rupanya, mungkin masih ada cara untuk mengembalikannya?"
Kata-kata sultan itu tak dapat dipahami Anna, begitu juga Herman yang telah pulih total dan segera berlari mendekap Anna.
Sang sultan berbalik dan berjalan kembali ke tempat dimana Herman dan Anna bertumpu.
"Jadi kalian kah Pitung?"
Tanyanya setelah melihat kelima petarung yang berlari dengan kencang, setelah terlepas dari jerat tekanan tak terlihat sang iblis Mesphitopheles.
"Benar, Sultan"
Herman menjawab singkat.
"Kalau begitu biar ku titipkan Anna padamu, sementara ular naga ini akan ku bawa kembali untuk kami teliti"
Berbalik lagi ke tempat si ular naga, diancungkannya kerisnya.
Bersamaan dengan itu huruf kuno terlihat tergambar di tanah dengan menyinarkan cahaya terang dibawah tubuh sang ular naga yang masih menggeliat. Lalu, bersama dengan semakin terangnya cahaya sang sultan menolehkan wajahnya.
"Kutunggu kalian di Mataram, sampai jumpa!"
Swiisshh!!
Sang sultan menghilang bersama sang ular naga dalam udara kosong, meninggalkan Herman yang masih memeluk Anna dan dihapiri para petarung pitung yang lain di sana.
Lalu, terbersit senyum seorang pria yang menyaksikan seluruh kejadian itu dari ketinggian tembok besar Kastil Batavia. Pria yang membuat Bastion mengamuk tak terkendali dan melubangi tembok kastil itu selagi menghajar Akno. Pria yang sudah merencanakan semua kejadian itu dari bayang-bayang Kastil Batavia.
Kemudian, selagi berbalik ia menghilang dalam gelapnya malam bersama embusan angin malam Kota Megah Batavia.