webnovel

Lab Cellios

Kota Maria bukan pusat kemiliteran Nightroad Zero. Bekas asrama polisi-militer menjadi tempat mereka tinggal sementara selama di kota Maria. Sama seperti bangunan lainnya, terbuat dari material batu alam dengan deretan jendela berkusen kayu di setiap lantainya di mana hanya terdapat dua lantai. Halaman berkonblok batu kelabu dan gerbang yang memisahkan lingkungan asrama dengan pemukiman penduduk kota.

Bangunan kecil yang tidak sebanding luas dengan istana mestinya tidak membuat Axelia pusing sendiri saat melalui setiap jalannya. Dia memutuskan berhenti sejenak di tikungan jalur. Lagi, dia dihadapkan dengan lorong yang masing-masing berada di kanan dan kiri setelah sebelumnya terlalu bingung memilih jalur koridor. Axelia menimbang langkah kaki berikutnya.

Axelia yakin dirinya tersesat sekarang. Tidak tahu berada di mana. Beberapa saat lalu dia beranjak dari taman usai berbincang dengan kupu-kupu ditambah seekor kucing yang tiba-tiba duduk dipangkuannya. Niatnya ingin berkeliling saja untuk memenuhi rasa ingin tahu terhadap seluk beluk tempat ini. Tapi ternyata lorong bangunan dua lantai terasa sebanyak dari perkiraan. Memusingkan. Sejak datang di kota asing ini, dia jadi tidak punya kegiatan seperti sebelumnya: bercocok tanam, berburu di hutan, meramu hingga merajut baju.

"Nona Axelia?"

Seseorang memanggil. Gadis itu berbalik ke belakang. Bayangan manusia yang terlihat putih-buram dengan latar putih kosong di penglihatannya, membuat Axelia tidak langsung mengenali orang itu. Telinganya tidak buta ketika merasa pernah mendengar suara orang itu dalam rombongan Nightroad Zero. "Cellios?" sebut Axelia sedikit ragu.

"Ya. Ini aku. Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Cellios.

"Nngg, aku pikir aku tersesat. Kalau kau mau ke mana?"

"Aku mau ke laboratorium. Apa kau mau ikut denganku ke lab?" Cellios menawarkan.

***

Bau khas kimia langsung tercium begitu memasuki ruangan. Terletak di seberang asrama dalam, nuansa putih mendominasi ruang laboratorium dengan warna cokelat pada kayu lemari. Alat-alat laboratorium yang tersusun rapi di atas meja. Tabung kaca beragam bentuk tertata di lemari.

"Apa yang sedang kau kerjakan di sini?" Axelia bertanya. Berbeda dengan makhluk hidup, benda mati tidak dapat Axelia rasakan keberadaannya.

Jadi dia berjalan dengan sangat pelan dan hati-hati dari pintu. Takut-takut menyenggol peralatan sensitif di laboratorium. Bisa bahaya. Akhirnya dia memutuskan untuk berhenti di dekat pintu. Berdiri anggun dengan tak banyak gerak seraya memperhatikan siluet Cellios.

"Kemunculan Exval bagai mendorongku untuk menciptakan suatu terobosan obat yang belum pernah ada di dunia ini," kata Cellios saat memakai sarung tangan ketatnya di depan meja. "Yaitu membuat obat penetral Exval." Sepenggal kalimat Cellios terdengar seperti ide yang luar biasa. Sudah satu abad lebih sejak manusia dijajah oleh vampir, tetapi selama seratus tahun itu belum ada satu obat pun yang menjadi harta berharga manusia. Mungkin saja ada ilmuwan yang terpikirkan hal ini sebelum ajal menjemput maupun menyerah pada takdir. Tahu, bahwa menciptakan obat baru bukan perkara mudah. Butuh penelitian panjang. Berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Bisa saja menghabiskan separuh usia manusia untuk penelitian dengan fasilitas seadanya.

"Cellios, boleh kutahu, berapa usiamu saat ini?"

"Usiaku? Tiga puluh dua tahun."

Mengejutkan. Pemuda dengan tinggi kurang dari seratus tujuh puluh berwajah awet muda ternyata sudah berusia kepala tiga? Orang lain pasti akan mengira Cellios masih remaja lantaran tinggi badan dan babyface-nya yang membuat dia tidak terlihat menua. Tapi Axelia tidak mengetahui rupa lelaki itu. Hanya siluet jiwa Cellios yang tampak di mata jiwawinya.

"Kau... Melakukan semua ini sendiri?" Axelia pikir ada seorang guru yang turut mendampinginya dalam menciptakan obat tersebut.

"Beberapa anggota militer medis lain bekerja dibawahku," jawab Cellios sebelum menyuntikkan cairan bening ke tubuh seekor hewan kecil.

Ketika itu kening Axelia mengerut samar. Rungunya dapat menangkap suara dengan tajam. Ada suatu makhluk di dekat Cellios. "Dan... Kau menjadikan tikus yang sekarat itu sebagai bahan percobaan?" tebak Axelia.

Cellios mengerjap cepat. "Bagaimana kau bisa tahu? Padahal aku berdiri memunggungimu," heran Cellios.

"Telingaku tidak buta, dan aku mendengar detak sekarat tikus itu. Sepertinya tidak kau bunuh secara langsung, benar?"

Sekali lagi Cellios dibuat terpengarah oleh konklusi Axelia. Gadis ini bukan gadis buta biasa. Persis seperti yang mereka diskusikan sewaktu rapat. Membuat jiwa medis Cellios ingin meneliti tubuh gadis itu. Tapi cepat-cepat dia mengenyahkan hasrat gilanya. Ingat dengan komandan Vincent yang mengistimewakan gadis itu. Bisa-bisa dia dipenggal oleh pedang panjangnya lalu dijadikan makanan untuk makhluk karnivora, siapa lagi kalau bukan prajurit vampir. Oh, agaknya bayangan itu berlebihan.

"Wow," kagum Cellios pelan. "Kau tidak melihat, tidak juga menyentuhnya, kau sangat berbakat jadi detektif sejati. Bila kemampuanmu digunakan dengan baik, aku yakin kejahatan di negeri ini akan terungkap dengan mudah oleh dirimu," komentarnya memuji.

"Tidak seperti itu. Kau terlalu berlebihan. Aku hanya menyambungkan cerita dari kucing di taman yang curhat kalau ada seorang manusia mengambil tikus buruannya yang hendak dia makan," sanggah Axelia bicara fakta.

Cellios meringis. "Wah, kucing itu mengadu padamu," katanya. Tetap menanggapi meskipun ucapan Axelia kedengaran aneh baginya. Sesaat yang lalu dia tak sengaja melihat seekor kucing sedang merunduk di rerumputan. Cellios mendekatinya dan menemukan seekor tikus sedang sekarat di dagu kucing. Cellios mendapat ide dan langsung mengambil tikus kecil itu dengan sapu tangannya dari saku. Bukan merasa jijik jika menyentuh tikus liar yang mungkin sudah keluar masuk saluran air dengan tangan kosong. Cellios adalah seorang cendekiawan dan terpelajar, membuatnya sadar bahwa badan mungil itu sarang jutaan bakteri maupun virus yang akan berpindah seketika ke kulit jarinya hingga mengakibatkan timbul penyakit dari dalam tubuh sehatnya. Mungkin saja tikus itu membawa virus mematikan yang langsung menyebar ke pembuluh darahnya, bukan? Siapa yang tahu.

Dan peristiwa tersebut sangat tepat sebagai sahutan dari Axelia yang buta penglihatan. Terlebih gadis itu bilang, kucing itu bercerita kepadanya? Singkat kata, Axelia bisa memahami bahasa kucing? Cellios terheran. Berpikir bahwa Axelia mungkin sudah agak gila. Menurut akal sehatnya sebagai manusia normal, mana ada manusia yang dapat memahami bahasa hewan.

"Maaf, kau pasti aneh mendengar ucapanku tentang kucing itu," kata Axelia segera menyadari. Tidak ada yang percaya atau pun tahu kemampuannya dalam memahami bahasa hewan. Karena sampai sekarang, hanya Aiden lah yang percaya kemampuan ini, ditambah Vincent yang baru-baru ini menyatakan sendiri bahwa dia memercayai Axelia paham bahasa hewan.

Sesaat kemudian mereka mendengar seruan seseorang menyebut nama Cellios dengan nada mendayu manja dari kejauhan yang sedang mendekat. Langkah-langkah sepatu boots milik wanita itu melompat-lompat riang di lantai batu koridor yang sepi. Lalu berhenti diambang pintu laboratorium. "Celliooos! Aku membawakan data yang kau minta!" serunya bersemringah lebar tanpa menyadari keberadaan Axelia di dekat pintu dan kemudian tatapannya bergulir ketika dari sudut mata kirinya melihat eksistensi lain selain Cellios. "Axelia?" sebut Hannah dengan nada terkejut.

Kehadiran Axelia di ruang kerja Cellios tidak disangka sebelumnya. Apalagi saat memikirkan Axelia menemukan ruangan laboratorium ini yang berada bersebrangan dengan asrama dalam. Wajah kaget Hannah saat melihat Axelia di tempat ini menyimpan makna yang tak dapat diucapkan. Bukan kaget karena gadis itu berada di sini, berdua bersama Cellios bukan keadaan yang bagus untuk Axelia menurutnya. Jadi, setelah menaruh gulungan kertas berisi catatan tinta bulu angsa diletakkan di meja, Hannah merangkul pundak Axelia dengan muka cerianya menyeret keluar dari ruangan.

***

Chương tiếp theo